Jurnalis Independen: Maraknya vonis bebas terdakwa kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) di sejumlah pengadilan Tipikor di daerah disebabkan kualitas hakim yang rendah? Itu adalah sebuah pertanyaan kuno!
Kasus Korupsi di negeri ini akan berakhir dengan "kemenangan" tersangka koruptor dengan terhukum ringan bahkan seringkali bebas. Hal itu bisa terjadi lantaran adanya kongkalikong dengan Hakim, Jaksa dan pejabat hukum lainnya.
Karenanya, Setara Institute menilai Mahkamah Agung (MA) bertanggungjawab untuk mengganti dan meningkatkan kualitas moral hakim tersebut. "Ini bermula dari rekrutmen hakim-hakim yang tidak kredibel," jelas Kepala Setara Institute, Hendardi, dalam pesan singkatnya, Selasa (7/11).
Dia mengatakan hakim seperti itu kemudian menjalankan mekanisme yang tidak akuntabel. Hendardi menilai kualitas hakim tipikor di daerah jauh di bawah standar. "MA harus membekukan atau paling tidak menata ulang Pengadilan Tipikor ini. MA juga harus bersikap dan melakukan evaluasi internal terhadap jajarannya," pintanya.
Selain MA, Komisi Yudisial (KY) juga mendapat kritikan Setara, lembaga ini dituntut membentuk tim kajian khusus untuk mengevaluasi praktik peradilan tipikor di daerah. Lalu memeriksa para hakim yang dianggap melakukan pelanggaran etik. Sementara DPR-RI harus memanggil MA dan KY untuk melakukan evaluasi dan identifikasi intervensi legislatif yang dibenarkan oleh Undang-Undang.
Hendardi menyatakan persidangan kasus korupsi di daerah lebih baik dibawa ke Jakarta saja. Namun demikian, pihaknya menyatakan pengawasan adalah yang paling utama. "Selama ini pengawasan pengadilan lemah," ujarnya.
Sementara itu, menurut ICW (Indonesia Koruption Watch) sejak berdirinya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) di daerah kini berubah wajah. Semangat berdirinya PTPK dengan maksud membuat jera koruptor, kini justru menyejukkan mereka. Belum dua tahun berdiri, sudah 40 terdakwa kasus korupsi dibebaskan. Selain itu PTPK menjadi lahan "subur" bagi penegak keadilan tipikor.
"Penilaian ini terjadi akibat maraknya vonis bebas yang terjadi di sejumlah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah," ujar Pengelola Informasi dan Dokumentasi Indonesia Corruption Watch, Lais Abid .
ICW mencatat kurang dari dua tahun pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor, 40 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas. Masing-masing terjadi di Pengadilan Tipikor Samarinda 14 orang, Pengadilan Tipikor Semarang 1 orang, Pengadilan Tipikor Surabaya 21 orang, dan di Pengadilan Tipikor Bandung 4 orang.
"Vonis bebas terdakwa korupsi yang dinilai kontroversial dan mafia peradilan dikhawatirkan menjadi wabah “penyakit” yang akan menyebar ke seluruh Pengadilan Tipikor di daerah," terang Lais. Bisa dibayangkan jika Mahkamah Agung menargetkan Pengadilan Tipikor di 33 provinsi.
Karenanya, penguatan fungsi pengawasan semua pihak dan proses seleksi hakim tipikor secara ketat dengan memprioritaskan kualitas dan integritas mutlak dilakukan. Jika tidak, penyakit bawaan berupa vonis bebas bagi koruptor dan mafia peradilan akan menyebar.
"Dan ini akan menjadi malapetaka bagi pengadilan tipikor dan membuat pemberantasan korupsi menjadi sia-sia," katanya lagi. Agar mafia peradilan tak menjalar ke semua pengadilan tipikor, perlu evaluasi keberadaan hakim-hakim tipikor baik karir dan adhoc di seluruh pengadilan tipikor di daerah.
Dikatakan Lais, tak dipungkiri lagi, akibat vonis bebas, banyak pihak mulai meragukan integritas dan kualitas pengadil kasus-kasus korupsi. Keraguan ini dapat dilihat misalnya dari figur Hakim Ad, Ramlan Comel Hakim Adhoc Pengadilan Tipikor yang telah membebaskan dua terdakwa Mochtar Muhammad (Walikota Bekasi) dan Eep Hidayat (Bupati Subang).
Ramlan pernah menjadi terdakwa kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako Rp 1,8 miliar. Pada 2005 di Pengadilan Negeri Pekan Baru, Comel divonis dua tahun penjara, meski akhirnya bebas di tingkat Pengadilan Tinggi Riau di tahun yang sama dan MA pada 2006 (Putusan Nomor 153K/PID/2006).
Sekedar mengingat kasus mencolok yang dilakukan oleh pengadilan tipikor, yaitu bebasnya Ketua DPRD Kutai Kartanegara.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor kembali membebaskan terdakwa korupsi. Hakim Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (1/11), memvonis bebas Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif, Salehuddin.
Ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda Dehel K. Sandan dan dua hakim ad hoc, Medan Parulian Nababan dan Abdul Gani, memberikan vonis bebas setelah menyatakan terdakwa Salehuddin tidak bersalah. Perbuatan terdakwa dianggap tidak bertentangan dengan hukum meski terbukti menerima dana anggaran daerah (APBD) untuk operasional pimpinan DPRD sesuai dengan dakwaan.
Kasus korupsi ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada anggaran operasional DPRD Kutai Kartanegara senilai Rp 2,98 miliar yang diduga disalahgunakan 40 anggota Dewan setempat periode 2004-2009.
Usai sidang pembacaan vonis Salehuddin, hakim Pengadilan Tipikor juga membebaskan dua terdakwa anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif, yakni Abu Bakar Has dan Abdul Sani.
Sehari sebelumnya, pengadilan yang sama juga membebaskan empat terdakwa lainnya dalam perkara korupsi. Berarti, kini sudah tujuh dari 15 terdakwa korupsi kasus DPRD Kutai Kartanegara yang divonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor Samarinda.
Bila kita mau memperhatikan akhir hayat para penegak hukum di negeri ini, terutama para hakim dan jaksa, tentu para penegak hukum itu tidak akan mau melakukan kongkalikong dan menyelewengkan jabatannya. Sebab mereka mati secara perlahan dengan tubuh digerogoti penyakit kutukan dan azab Tuhan. Namun sayang, banyak diantara mereka yang bebal dan tidak memperhatikannya lantaran tertutup mata hatinya oleh syetan yang terkutuk. (rep/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar