“Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme (Keislaman).” -Koran De Locomotief, 1877-
Seratusan tahun lalu sejak kalimat tersebut dimuat di Koran Hindia Belanda De Locomotief (terbit pertama kali di semarang 1845), umat Islam di Indonesia pernah merasakan bagaimana momentum haji begitu berpengaruh dalam diri pribadi. Ditakuti oleh musuh-musuhNya, tapi dicari-cari oleh perindu tuntunanNya.
Tidak ada kisah jema’ah pulang haji menjadi pencuri. Tak ada pula mereka yang setiba dari Tanah Suci kemudian mendekam di bui karena kasus korupsi. Haji adalah momentum suci untuk membawa misi Islam ke dalam negeri.
Padahal pergi berhaji di masa lalu sangatlah sulit. Tiap-tiap jama’ah haji terpaksa merogoh kantong lebih dalam. Tidak jarang mereka menjual hasil apa saja. Baik dari hasil perkebunan, pertanian, maupun perdagangan. Sebab pada awal abad 20, ongkos haji sendiri berkisar antara 570 sampai 856 gulden.
Kendala biaya ternyata datang bersamaan dengan sulitnya transportasi menuju tanah haram. Pada sebelum tahun 1922 saja, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang. Dapat dibayangkan calon jama’ah haji dari Kalimantan mesti menuju Batavia dahulu sebelum berlayar menuju Jeddah.
Di Padang sendiri, embarkasi berada di Masjid Raya Ganting. Mesjid ini merupakan masjid tertua di Padang yang dibangun sekitar tahun 1700. Dari masjid inilah jama’ah haji dipersiapkan sebelum pergi berlayar menunaikan rukun Islam yang ke lima melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur).
Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda. Karenanya, selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain.
Syekh Nawawi Al Bantani adalah satu dari sekian ulama nusantara yang berhasil mencatatkan tinta emas selepas naik Haji. Orang-orang Mekkah juga mengenalnya dengan sebutan Nawawi al-Jawi. Sebab sebutan al-Jawi mengindikasikan seseorang yang bermuasal dari Jawah sebagai sapaan untuk para pendatang Nusantara. Nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang lebih menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Syekh Nawawi Al Bantani menunaikan haji tepat saat berusia 15 tahun. Ia kemudian memilih tinggal selama tiga tahun di Mekkah. Namun kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani. Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan.
Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.
Sebab Kedalaman ilmunya, beliau dijadikan sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan Syekh Nawawi memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”.
Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama.
Syekh Nawawi tidak hanya terkenal dalam bidang keilmuan, tapi juga pada gerakannya melawan kolonialime.
Snouck Hugronje pernah berkata, “Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur.”
Tak heran, banyak murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antaranya seperti Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang keIslaman ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.
Jauh sebelum Syekh Nawawi Al Bantani, kita juga memiliki ulama sekaligus pejuang hasil tempaan di Mekkah, yakni Syekh Yusuf Al Makassari (1626-1699 M). Tak jauh beda dengan Syekh Nawawi, Syekh Yusuf Al Makassari menunaikan haji di usia relatif muda: 18 tahun!
Syahdan, sekembali dari Mekah pada 1664, Syekh Yusuf Al-Makassari yaang waktu itu berusia 38 tahun tidak langsung pulang ke Gowa, tapi tinggal di Banten. Berbeda dari 15 tahun yang lalu ketika dia tinggalkan, Banten sekarang sudah ramai. Sahabat karibnya, Pangeran Surya, sudah menduduki tahta Kesultanan Banten dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah, atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kini, sahabat dan rakyat Banten tidak lagi memanggil dengan nama kecilnya Muhammad Yusuf. Ia dipandang sebagai ulama, dengan panggilan syekh.
Jemaah Haji dari Banten sudah menyaksikan kedudukan Yusuf di antara ulama-ulama di Mekkah dan memperkenalkan namanya pada rakyat Banten. Jadi, rakyat dan Sultan Banten sudah mengenalnya sebelum ia tiba di Banten dan sudah diduga Sultan Banten memesannya lebih dahulu untuk pulang ke tanah air guna memperkuat barisan dalam menghadapi Kompeni.
Seratusan tahun lalu sejak kalimat tersebut dimuat di Koran Hindia Belanda De Locomotief (terbit pertama kali di semarang 1845), umat Islam di Indonesia pernah merasakan bagaimana momentum haji begitu berpengaruh dalam diri pribadi. Ditakuti oleh musuh-musuhNya, tapi dicari-cari oleh perindu tuntunanNya.
Tidak ada kisah jema’ah pulang haji menjadi pencuri. Tak ada pula mereka yang setiba dari Tanah Suci kemudian mendekam di bui karena kasus korupsi. Haji adalah momentum suci untuk membawa misi Islam ke dalam negeri.
Padahal pergi berhaji di masa lalu sangatlah sulit. Tiap-tiap jama’ah haji terpaksa merogoh kantong lebih dalam. Tidak jarang mereka menjual hasil apa saja. Baik dari hasil perkebunan, pertanian, maupun perdagangan. Sebab pada awal abad 20, ongkos haji sendiri berkisar antara 570 sampai 856 gulden.
Kendala biaya ternyata datang bersamaan dengan sulitnya transportasi menuju tanah haram. Pada sebelum tahun 1922 saja, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang. Dapat dibayangkan calon jama’ah haji dari Kalimantan mesti menuju Batavia dahulu sebelum berlayar menuju Jeddah.
Di Padang sendiri, embarkasi berada di Masjid Raya Ganting. Mesjid ini merupakan masjid tertua di Padang yang dibangun sekitar tahun 1700. Dari masjid inilah jama’ah haji dipersiapkan sebelum pergi berlayar menunaikan rukun Islam yang ke lima melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur).
Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda. Karenanya, selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain.
Syekh Nawawi Al Bantani adalah satu dari sekian ulama nusantara yang berhasil mencatatkan tinta emas selepas naik Haji. Orang-orang Mekkah juga mengenalnya dengan sebutan Nawawi al-Jawi. Sebab sebutan al-Jawi mengindikasikan seseorang yang bermuasal dari Jawah sebagai sapaan untuk para pendatang Nusantara. Nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang lebih menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Syekh Nawawi Al Bantani menunaikan haji tepat saat berusia 15 tahun. Ia kemudian memilih tinggal selama tiga tahun di Mekkah. Namun kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani. Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan.
Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.
Sebab Kedalaman ilmunya, beliau dijadikan sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan Syekh Nawawi memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”.
Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama.
Syekh Nawawi tidak hanya terkenal dalam bidang keilmuan, tapi juga pada gerakannya melawan kolonialime.
Snouck Hugronje pernah berkata, “Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur.”
Tak heran, banyak murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antaranya seperti Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang keIslaman ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.
Jauh sebelum Syekh Nawawi Al Bantani, kita juga memiliki ulama sekaligus pejuang hasil tempaan di Mekkah, yakni Syekh Yusuf Al Makassari (1626-1699 M). Tak jauh beda dengan Syekh Nawawi, Syekh Yusuf Al Makassari menunaikan haji di usia relatif muda: 18 tahun!
Syahdan, sekembali dari Mekah pada 1664, Syekh Yusuf Al-Makassari yaang waktu itu berusia 38 tahun tidak langsung pulang ke Gowa, tapi tinggal di Banten. Berbeda dari 15 tahun yang lalu ketika dia tinggalkan, Banten sekarang sudah ramai. Sahabat karibnya, Pangeran Surya, sudah menduduki tahta Kesultanan Banten dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah, atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kini, sahabat dan rakyat Banten tidak lagi memanggil dengan nama kecilnya Muhammad Yusuf. Ia dipandang sebagai ulama, dengan panggilan syekh.
Jemaah Haji dari Banten sudah menyaksikan kedudukan Yusuf di antara ulama-ulama di Mekkah dan memperkenalkan namanya pada rakyat Banten. Jadi, rakyat dan Sultan Banten sudah mengenalnya sebelum ia tiba di Banten dan sudah diduga Sultan Banten memesannya lebih dahulu untuk pulang ke tanah air guna memperkuat barisan dalam menghadapi Kompeni.
Ada yang menarik dari para ulama nusantara yang berhaji ke Mekkah,
yakni kebiasaan mereka berhaji selagi muda. Jika Syekh Yusuf Al Makassar
berhaji pada umur 18 tahun, maka Muhammad Darwis alias KH. Ahmad Dahlan
menginjakkan kaki di Mekkah pada umur 15 tahun.
Lima tahun lamanya ulama kelahiran 1868 ini mengabiskan waktu di Mekkah. Disana KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini pula, KH. Ahmad Dahlan sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sepulang dari Mekkah, pendiri Muhammadiyah tersebut menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Namun kepulangannya ke tanah air untuk berdakwah tidak semudah yang dibayangkan.
Pemerintah kolonial kala itu menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Mekkah. Mereka menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, Akan tetapi KH. Ahmad Dahlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti majalah Al Urwah Al Wutsqa dan Al Manar melalui pelabuhan Tuban.
Maklum saja saat itu bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap “tabu” oleh Belanda. Gelar Haji identik dengan ajaran Pan Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al Afghani.
Selama periode 1850-1930, sebagian besar koran-koran Belanda sudah memprovokasi atas bahayanya para alumni Mekkah yang kembali ke tanah air. Mereka menulis bahwa semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dari kegiatan ibadah haji Muslim Indonesia ke Mekkah. Hal ini seperti ditulis oleh seorang analis di Koran Algemeen pada tahun 1859.
Ia mengatakan, “Opini publik mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi Eropa.”
Betul saja, sepulangnya dari Haji KH. Ahmad Dahlan mulai prihatin dengan tumbuh suburnya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi dari Belanda. Menurut Artawaijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, semua sekolah-sekolah ini selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat mendapat sokongan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh gerakan Kemasonan.
Keprihatinan itulah yang membuat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang secara tegas menonjolkan identitas keIslamannya. Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung Pemerintah Kolonial.
Dalam sejarahnya, Gerakan mengkristenkan pribumi itu dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dengan tokohnya Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Selain itu, salah satu tantangan dakwah di Tanah Air pada masa KH. Ahmad Dahlan datang dari Boedi Oetomo. Kelompok Ningrat Jawa yang dekat dengan kaum theosofi ini gencar melecehkan Islam sebagai agama.
KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah bergabung dengan Boedi Oetomo, akan tetapi keberadaannya di dalam organisasi primordialis itu berjalan tidak begitu lama karena inflitrasi Kemasonan dalam tubuh kelompok yang didirikan Dr. Soetomo sudah sangat kuat.
Selain KH. Ahmad Dahlan, tokoh lain yang patut dikaji dalam perlawanannya terhadap Belanda sepulan haji adalah H. Agus Salim. Tokoh Perjuangan Kemerdekaan ini adalah salah satu tokoh yang terkenal gigih melawan pemikiran orientalis seperti Snouck Hugronje. Islamisasi nusantara, menurut Haji Agus Salim, bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad SAW (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja.(M. Isa Anshory, Haji Agus Salim Menjawab Orientalis).
Selama kurang lebih enam tahun, H. Agus Salim berada di Arab Saudi. Di Jeddah, Agus Salim memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Agus Salim juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.
Akhirnya pada tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Pada tahun 1915, H.Agus Salim menjadi Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Pada Harian Neratja terbitan 25 September 1917, Agus Salim secara lantang menulis, "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Itu adalah sebuah bentuk kritikannya akan kuatnya pengaruh penjajahan belanda di bumi nusantara.
Jiwa perlawanan Agus Salim terhadap kolonialisme memang sudah tertanam sejak muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.
Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima!
Siapa tidak kenal Buya Hamka? Ulama Kharismatik Muhammadiyyah sekaligus pejuang perlawanan terhadap Imperialisme di Nusantara puluhan tahun silam. Orasi-orasinya di podium selalu membakar nyali umat untuk bangkit menjadikan diri ini merdeka.
Buya Hamka memang terkenal sebagai singa podium. Suaranya menggelegar. Retorikanya dinamis. Taujihnya membakar nyali untuk setia kepada nilai-nilai Islam. Di Masjid Al Azhar, ulama dari Minangkabau ini pernah mencecar kebijakan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Karena dianggap berbahaya, Hamka pun dipenjarakan oleh Presiden pertama RI itu di tahun 1964.
Namun kisah berkesan Buya Hamka menjadi Ulama di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman keIslaman yang selama ini beliau pupuk. Mekkah bisa dikata adalah Kota yang berpengaruh bagi perjalanan keilmuan Buya.
Pada tahun 1927 adalah kali pertama Buya Hamka menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Setengah tahun lamanya, Ulama kelahiran 1908 itu tinggal di Mekkah. Karena sedari ia awal, niatnya sudah tertancap untuk tidak saja menunaikan rujun haji, tetapi juga mengais sejumput ilmu.
Pengalaman Buya Hamka menuju Tanah Suci tidaklah semudah yang kita bayangkan. Wajar saja, zaman dahulu kala belum ada jalur udara atau maskapai penerbangan untuk mengeantar calon jema’at. Menurut penuturannya, Buya Hamka berjalan kaki dari Bayua Maninjau menuju Bukittinggi melewati ke¬okan 44. Kelokan 44 adalah jalur rawan kecelakaan dimana tiap kendaraan harus mendaki jalan penuh kelokan sebelum sampai tujuan.
Sesampainya di Bukittinggi, Buya harus kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini tujuannya adalah Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Dari sanalah, anak dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Siti Safiyah binti Gelanggar ini menumpang kapal tujuan Sibolga dan selanjutnya kembali menaiki kendaraan menuju pelabuhan Belawan Medan lewat Pematang Siantar.
Di pelabuhan inilah Buya kembali menumpangi kapal Karimata milik Stoomavart Maatschappij Nedherland dan selama 16 hari perjalanan menuju Jeddah, Saudi Arabia. Bekal Buya saat itu adalah uang sejumlah 500 Gulden. Demikian panjang dan beratnya perjalanan Buya Hamka untuk menunaikan ibadah haji pada awal-awal abad ke-20 ini.
Bila kita baca buku Di Bawah Lindungan Ka’bah karangan Buya Hamka atau ditonton filmnya yang sedang beredar sekarang ini, maka terlihat jelas bagaimana sulitnya dulu untuk mencapai Tanah Suci itu. Angkutan hanya dengan kapal yang memakan waktu sekitar tiga bulan.
Karena kapalnya belum secanggih sekarang maka banyak pula di antaranya yang rusak dan tenggelam dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang sakit di atas kapal atau sakit dan meninggal di Tanah Suci sehingga tidak bisa pulang lagi.
Sekembalinya ke Tanah Air, Buya Hamka bergelut dalam bidang dakwah. Dari mulai guru agama sampai pengurus Muhammadiyyah. Buya Hamka juga concern untuk membina para da’i sebagai ujung tombak dakwah. Karenanya tak heran, tahun 1929 beliau mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah.
Buya Hamka juga dikenal sebagai ulama yang demikian peduli terhadap akdiah umat. Ancaman penguasa sampai rongrongan kaum sekularis tidak menjadikan beliau gentar. Bagi hal yang sifatnya ushul dalam Islam, beliau tidak mengenal kata kompromi.
Awal dekade 70-an adalah dekade perlawanan Buya Hamka terhadap Ghazwul fikri. Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.
Rupanya prinsip mempertahankan akidah betul-betul dipegang oleh Buya Hamka. Menjelang pertengahan 1981 Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip daripada mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
Sebelumnya, sekitar tahun 1980-an para gubernur dari berbagai daerah meminta agar diadakan Natal bersama demi terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama. Tekanan tidak hanya datang dari para Gubernur, namun juga Menteri Agama. Alamsyah Ratuprawiranegara selaku menteri Buya Hamka mencabut Fatwa Haram Natal bersama untuk segera dicabut. Buya Hamka tetap keukeuh. Secara tegas beliau menolak mencabut fatwa haram itu. Karena tetap pada pendiriannya, akhirnya Buya Hamka diminta mundur.
Menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya`qub, sejak zaman Buya Hamka lah, MUI hingga kini tetap konsisten menolak natal bersama, “Fatwa haram itu masih berlaku. MUI hingga kini belum merubahnya,” tegasnya,” ujarnya.
Lima tahun lamanya ulama kelahiran 1868 ini mengabiskan waktu di Mekkah. Disana KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini pula, KH. Ahmad Dahlan sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sepulang dari Mekkah, pendiri Muhammadiyah tersebut menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Namun kepulangannya ke tanah air untuk berdakwah tidak semudah yang dibayangkan.
Pemerintah kolonial kala itu menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Mekkah. Mereka menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, Akan tetapi KH. Ahmad Dahlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti majalah Al Urwah Al Wutsqa dan Al Manar melalui pelabuhan Tuban.
Maklum saja saat itu bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap “tabu” oleh Belanda. Gelar Haji identik dengan ajaran Pan Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al Afghani.
Selama periode 1850-1930, sebagian besar koran-koran Belanda sudah memprovokasi atas bahayanya para alumni Mekkah yang kembali ke tanah air. Mereka menulis bahwa semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dari kegiatan ibadah haji Muslim Indonesia ke Mekkah. Hal ini seperti ditulis oleh seorang analis di Koran Algemeen pada tahun 1859.
Ia mengatakan, “Opini publik mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi Eropa.”
Betul saja, sepulangnya dari Haji KH. Ahmad Dahlan mulai prihatin dengan tumbuh suburnya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi dari Belanda. Menurut Artawaijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, semua sekolah-sekolah ini selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat mendapat sokongan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh gerakan Kemasonan.
Keprihatinan itulah yang membuat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang secara tegas menonjolkan identitas keIslamannya. Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung Pemerintah Kolonial.
Dalam sejarahnya, Gerakan mengkristenkan pribumi itu dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dengan tokohnya Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Selain itu, salah satu tantangan dakwah di Tanah Air pada masa KH. Ahmad Dahlan datang dari Boedi Oetomo. Kelompok Ningrat Jawa yang dekat dengan kaum theosofi ini gencar melecehkan Islam sebagai agama.
KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah bergabung dengan Boedi Oetomo, akan tetapi keberadaannya di dalam organisasi primordialis itu berjalan tidak begitu lama karena inflitrasi Kemasonan dalam tubuh kelompok yang didirikan Dr. Soetomo sudah sangat kuat.
Selain KH. Ahmad Dahlan, tokoh lain yang patut dikaji dalam perlawanannya terhadap Belanda sepulan haji adalah H. Agus Salim. Tokoh Perjuangan Kemerdekaan ini adalah salah satu tokoh yang terkenal gigih melawan pemikiran orientalis seperti Snouck Hugronje. Islamisasi nusantara, menurut Haji Agus Salim, bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad SAW (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja.(M. Isa Anshory, Haji Agus Salim Menjawab Orientalis).
Selama kurang lebih enam tahun, H. Agus Salim berada di Arab Saudi. Di Jeddah, Agus Salim memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Agus Salim juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.
Akhirnya pada tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Pada tahun 1915, H.Agus Salim menjadi Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Pada Harian Neratja terbitan 25 September 1917, Agus Salim secara lantang menulis, "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Itu adalah sebuah bentuk kritikannya akan kuatnya pengaruh penjajahan belanda di bumi nusantara.
Jiwa perlawanan Agus Salim terhadap kolonialisme memang sudah tertanam sejak muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.
Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima!
Siapa tidak kenal Buya Hamka? Ulama Kharismatik Muhammadiyyah sekaligus pejuang perlawanan terhadap Imperialisme di Nusantara puluhan tahun silam. Orasi-orasinya di podium selalu membakar nyali umat untuk bangkit menjadikan diri ini merdeka.
Buya Hamka memang terkenal sebagai singa podium. Suaranya menggelegar. Retorikanya dinamis. Taujihnya membakar nyali untuk setia kepada nilai-nilai Islam. Di Masjid Al Azhar, ulama dari Minangkabau ini pernah mencecar kebijakan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Karena dianggap berbahaya, Hamka pun dipenjarakan oleh Presiden pertama RI itu di tahun 1964.
Namun kisah berkesan Buya Hamka menjadi Ulama di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman keIslaman yang selama ini beliau pupuk. Mekkah bisa dikata adalah Kota yang berpengaruh bagi perjalanan keilmuan Buya.
Pada tahun 1927 adalah kali pertama Buya Hamka menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Setengah tahun lamanya, Ulama kelahiran 1908 itu tinggal di Mekkah. Karena sedari ia awal, niatnya sudah tertancap untuk tidak saja menunaikan rujun haji, tetapi juga mengais sejumput ilmu.
Pengalaman Buya Hamka menuju Tanah Suci tidaklah semudah yang kita bayangkan. Wajar saja, zaman dahulu kala belum ada jalur udara atau maskapai penerbangan untuk mengeantar calon jema’at. Menurut penuturannya, Buya Hamka berjalan kaki dari Bayua Maninjau menuju Bukittinggi melewati ke¬okan 44. Kelokan 44 adalah jalur rawan kecelakaan dimana tiap kendaraan harus mendaki jalan penuh kelokan sebelum sampai tujuan.
Sesampainya di Bukittinggi, Buya harus kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini tujuannya adalah Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Dari sanalah, anak dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Siti Safiyah binti Gelanggar ini menumpang kapal tujuan Sibolga dan selanjutnya kembali menaiki kendaraan menuju pelabuhan Belawan Medan lewat Pematang Siantar.
Di pelabuhan inilah Buya kembali menumpangi kapal Karimata milik Stoomavart Maatschappij Nedherland dan selama 16 hari perjalanan menuju Jeddah, Saudi Arabia. Bekal Buya saat itu adalah uang sejumlah 500 Gulden. Demikian panjang dan beratnya perjalanan Buya Hamka untuk menunaikan ibadah haji pada awal-awal abad ke-20 ini.
Bila kita baca buku Di Bawah Lindungan Ka’bah karangan Buya Hamka atau ditonton filmnya yang sedang beredar sekarang ini, maka terlihat jelas bagaimana sulitnya dulu untuk mencapai Tanah Suci itu. Angkutan hanya dengan kapal yang memakan waktu sekitar tiga bulan.
Karena kapalnya belum secanggih sekarang maka banyak pula di antaranya yang rusak dan tenggelam dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang sakit di atas kapal atau sakit dan meninggal di Tanah Suci sehingga tidak bisa pulang lagi.
Sekembalinya ke Tanah Air, Buya Hamka bergelut dalam bidang dakwah. Dari mulai guru agama sampai pengurus Muhammadiyyah. Buya Hamka juga concern untuk membina para da’i sebagai ujung tombak dakwah. Karenanya tak heran, tahun 1929 beliau mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah.
Buya Hamka juga dikenal sebagai ulama yang demikian peduli terhadap akdiah umat. Ancaman penguasa sampai rongrongan kaum sekularis tidak menjadikan beliau gentar. Bagi hal yang sifatnya ushul dalam Islam, beliau tidak mengenal kata kompromi.
Awal dekade 70-an adalah dekade perlawanan Buya Hamka terhadap Ghazwul fikri. Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.
Rupanya prinsip mempertahankan akidah betul-betul dipegang oleh Buya Hamka. Menjelang pertengahan 1981 Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip daripada mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
Sebelumnya, sekitar tahun 1980-an para gubernur dari berbagai daerah meminta agar diadakan Natal bersama demi terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama. Tekanan tidak hanya datang dari para Gubernur, namun juga Menteri Agama. Alamsyah Ratuprawiranegara selaku menteri Buya Hamka mencabut Fatwa Haram Natal bersama untuk segera dicabut. Buya Hamka tetap keukeuh. Secara tegas beliau menolak mencabut fatwa haram itu. Karena tetap pada pendiriannya, akhirnya Buya Hamka diminta mundur.
Menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya`qub, sejak zaman Buya Hamka lah, MUI hingga kini tetap konsisten menolak natal bersama, “Fatwa haram itu masih berlaku. MUI hingga kini belum merubahnya,” tegasnya,” ujarnya.
Dan tak lama berselang setelah Buya Hamka mengeluarkan fatwa
tersebut, Allah memanggilnya. Jum’at, 24 Juli 1981, beliau meninggalkan
kita semua. Selang empat bulan pasca beliau mengeluarkan fatwa yang
membuat kaum sekularis, pluralis, dan liberalis itu gigit jari. Ya,
hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar