di dalam tulisannya berjudul “Risalah Fi Makna At-Thaghut”. Tulisan
tersebut sangat penting mengingat bahwa pesan abadi da’wah para Nabi dan
para Rasul Allah
ialah ajakan tauhid yang berisi keharusan untuk menghamba kepada Allah سبحانه و تعالى semata dan menjauhi thaghut.
Jadi, ada dua sisi dari perkara fundamental ini. Di satu sisi ada
keharusan untuk memfokuskan ibadah (pengabdian/penghambaan) kepada Allah
سبحانه و تعالى semata, dan di lain sisi ada keharusan untuk menjauhi
dan mengingkari segala bentuk thaghut. Ada kewajiban ber-
(menyerahkan kesetiaan/loyalitas) kepada Allah سبحانه و تعالى dan ada kewajiban untuk ber-
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
(QS. An-Nahl [16] : 36)
Dan tidak sah iman seorang muslim bila ia hanya sibuk menghamba
kepada Allah سبحانه و تعالى namun ia tidak bersedia menjauhi dan
mengingkari thaghut. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim
dikatakan ber-tauhid bilamana di satu sisi ia beribadah kepada Allah
سبحانه و تعالى namun di lain sisi ia mendekat bahkan bekerjasama dengan
thaghut?
Mengapa? Karena ibarat coin yang memiliki dua muka, tidak dapat
dikatakan coin jika hanya terdiri dari satu muka saja. Demikian pula
dengan iman tauhid seorang muslim. Tidak disebut tauhid jika hanya
mengandung ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى sedangkan menjauhi dan
mengingkari thaghut tidak ada. Hadirnya tauhid di dalam diri seseorang
ialah ketika ia beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى dan ia menjauhi
serta mengingkari berbagai jenis thaghut.
Masalahnya, dewasa ini banyak muslim yang tidak menjauhi dan
mengingkari thaghut. Sebab bagaimana mereka dapat menjauhi dan
mengingkari thaghut, sedangkan makna thaghut saja mereka tidak tahu? Di
sinilah pentingnya kita mengkaji buku “Risalah Fi Makna At-Thaghut”.
Karena di dalamnya kita dapatkan penjelasan cukup lengkap mengenai makna
thaghut.
Oleh karenanya, thaghut-thaghut itu banyak sekali dan ada lima di antaranya yang merupakan thaghut utama alias pentolan thaghut:
Inilah lima pentolan thaghut. Setiap orang yang mengaku muslim wajib
menjauhi dan mengingkari semua thaghut di atas. Jika tidak, berarti ia
telah mengingkari ikrar keimanannya atau tauhid-nya. Dan sah-tidaknya
iman seseorang bergantung kepada pengingkarannya kepada thaghut.
Bila ia
tidak mengingkari thaghut berarti imannya tidak sah. Walaupun ia rajin
sholat, puasa di bulan Ramadhan, bersedekah dan berbagai amal kebaikan
lainnya, namun bila ia mendekat apalagi bekerjasama dengan thaghut,
berarti apa yang ia kerjakan tidak mendapat penilaian di sisi Allah
سبحانه و تعالى .
Mengapa demikian? Karena orang yang tidak sah imannya alias tidak sah
tauhidnya, berarti ia telah syirik. Sebab lawannya tauhid adalah
syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Dan barangsiapa terlibat
di dalam dosa syirik, semua kebaikan yang pernah ia lakukan di dunia
akan terhapus dan tidak memperoleh penilaian apapun di sisi Allah سبحانه
و تعالى .
(QS. Az-Zumar [39] : 65)
Orang yang tidak diterima tauhidnya berarti ia tidak diterima
imannya. Dan jika iman tidak diterima, berarti ia dinilai Allah سبحانه و
تعالى sebagai seorang yang kafir. Dan orang kafir juga sama dengan
orang yang syirik, yaitu amal-perbuatan mereka tidak mendapat penilaian
apapun di sisi Allah سبحانه و تعالى .
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
(QS. An-Nur [24] : 39)
Maka jelaslah betapa pentingnya setiap muslim mendalami makna kalimat
tauhid yang diikrarkannya, terutama bagian pengingkaran akan thaghut.
Sebab pada umumnya sudah cukup ramai pembahasan mengenai keharusan
menghamba kepada Allah سبحانه و تعالى , namun pembahasan dan kajian
mengenai kewajiban menjauhi dan mengingkari thaghut masih sangat jarang.
Kembali kepada kajian di dalam tulisan “Risalah Fi Makna At-Thaghut” jenis pentolan
. Di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى berfirman:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
(QS. Yaasin [36] : 60)
Syaitan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Oleh karenanya tidak
dibenarkan bagi muslim manapun untuk berkompromi dengan syaitan,
apalagi berakrab-akrab dengannya. Sebab keakraban tidak mungkin muncul
di antara dua fihak yang sebenarnya bermusuhan. Keakraban hanya mungkin
muncul di antara dua fihak yang saling bersahabat.
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
(QS. Fathir [35] : 6)
Syaitan hanya mengajak manusia agar beribadah kepada selain Allah
سبحانه و تعالى . Jika manusia mau mengikuti ajakan mereka itu, maka ia
bakal dijebloskan ke dalam neraka bersama para syaitan tersebut di
akhirat kelak karena ia telah rela mengikuti ajakan syaitan agar
menghamba kepada selain Allah سبحانه و تعالى . Syaitan tidak hanya
mengganggu manusia awam, tetapi bahkan para Nabi-pun tidak luput dari
upaya tipu daya mereka. Syaitan ada dua macam, yaitu syaitan dari
kalangan jin dan syaitan dari kalangan manusia. Allah سبحانه و تعالى
berfirman:
(QS. Al-An’am [6] : 112)
(QS. An-Naas [114] : 5-6)
Orang yang mengajak untuk mempertahankan, melestarikan tradisi syirik
seperti tumbal, ruwatan dan sesajen, dia adalah syaitan manusia yang
mengajak ibadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى . Pemuka adat atau
pemuka agama yang mengajak minta-minta kepada orang yang sudah mati
adalah syaitan manusia dan dia adalah salah satu pentolan thaghut.
Orang
yang mengajak pada faham, ideologi dan sistem hidup non-tauhid (baca:
syirik) produk manusia seperti pluralisme, sekularisme, liberalisme,
kapitalisme, nasionalisme dan demokrasi sehingga menimbulkan keraguan
akan kesempurnaan ajaran/sistem Islam, adalah syaitan yang mengajak
ibadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى , dia berarti termasuk
thaghut. Orang yang mengajak menegakkan hukum perundang-undangan buatan
manusia sehingga meninggalkan hukum Allah سبحانه و تعالى , maka dia
adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah سبحانه و
تعالى. Sedangkan Allah سبحانه و تعالى berfirman:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
(QS. Yasin [36] : 60)
Makna beriman kepada Allah سبحانه و تعالى adalah bahwa engkau
meyakini bahwa Allah سبحانه و تعالى merupakan satu-satunya ilah yang
berhak untuk di ibadati, tidak yang lainnya, engkau memurnikan segala
macam ibadah hanya kepada-Nya dan engkau menafikan, mengingkari,
menjauhi segala macam yang di sembah selain-Nya.
(ahli Tauhid) dan loyal kepadanya, serta engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhinya. Inilah agama Nabiyullah Ibrahim
di mana orang yang benci akannya adalah orang yang telah memperbodoh
dirinya sendiri. Inilah suri tauladan yang telah Allah سبحانه و تعالى
kabarkan di dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي
إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُإِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ
مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَمِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُالْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى
تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
(QS. Al-Mumtahanah [60] : 4)
Orang yang berbaik-sangka kepada Allah سبحانه و تعالى pasti yakin
hanya dienullah Al-Islam sajalah yang bisa mengatasi berbagai masalah
kehidpan di dunia. Bukanlah berbaik-sangka kepada Allah سبحانه و تعالى
jika muslim masih ragu Islam dapat mengatasi segala urusan di dunia
sehingga dia masih menyisakan kepercayaan kepada berbagai faham
non-Tauhid (baca: syirik) produk manusia seperti demokrasi,
nasionalisme, sekularisme dan sejenisnya untuk mengatasi berbagai
persoalan pelik di dunia. Mari kita jujur, konsekuen dan tidak
sepotong-sepotong dalam berbaik-sangka kepada Allah سبحانه و تعالى .
Saudaraku, marilah kita berbaik-sangka kepada Allah سبحانه و تعالى
beserta hamba-hambaNya yang istiqomah, dan marilah kita berburuk sangka
kepada thaghut (syaitan) beserta para pembelanya. Sebab Allah سبحانه و
تعالى menjanjikan kebaikan bagi orang-orang yang mau dan istiqomah
bersikap demikian:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
(QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Thaghut-thaghut itu banyak sekali dan ada lima di antaranya yang merupakan thaghut utama alias pentolan thaghut:
- Syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى
- Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang mengklaim mengetahui hal yang Ghaib, padahal itu hak khusus Allah سبحانه و تعالى
- Segala sesuatu yang disembah selain Allah سبحانه و تعالى , sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut
Inilah lima pentolan thaghut. Setiap orang yang mengaku muslim wajib
menjauhi dan mengingkari semua thaghut di atas. Jika tidak, berarti ia
telah mengingkari ikrar keimanannya atau tauhid-nya. Dan sah-tidaknya
iman seseorang bergantung kepada pengingkarannya kepada thaghut. Bila ia
tidak mengingkari thaghut berarti imannya tidak sah.
Walaupun ia rajin
sholat, puasa di bulan Ramadhan, bersedekah dan berbagai amal kebaikan
lainnya, namun bila ia mendekat apalagi bekerjasama dengan thaghut,
berarti apa yang ia kerjakan tidak mendapat penilaian di sisi Allah
سبحانه و تعالى . Mengapa demikian? Karena orang yang tidak sah imannya
alias tidak sah tauhidnya, berarti ia telah syirik. Sebab lawannya
tauhid adalah syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Dan
barangsiapa terlibat di dalam dosa syirik, semua kebaikan yang pernah
ia lakukan di dunia akan terhapus dan tidak memperoleh penilaian apapun
di sisi Allah سبحانه و تعالى .
Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39] : 65)
Diatas telah dibahas Panglima thaghut yang pertama yaitu “syaitan yang
selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى”.
Panglima thaghut yang
kedua, yaitu “Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah
سبحانه و تعالى”. Sesungguhnya poin kedua ini sudah pernah kami singgung
dalam tulisan kami di Suara Langit beberapa waktu yang lalu dengan judul
“
Kewajiban Mengingkari Thaghut Penguasa Zalim”. Namun kami ingin menjelaskan beberapa hal tambahan.
Pentolan thaghut jenis kedua ini merupakan fihak yang memiliki
otoritas kepemimpinan atas suatu masyarakat namun enggan untuk
memberlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى sebagai pemutus perkara, baik
dalam urusan kecil maupun urusan besar. Inilah yang disebut dengan
thaghut berupa pemerintah yang zalim. Zalim dalam arti “tidak
menempatkan sesuatu (dalam hal ini hukum Allah سبحانه و تعالى ) pada
tempatnya”. Sedangkan syarat awal sebuah pemerintah dikatakan adil ialah
“menempatkan sesuatu (dalam hal ini hukum Allah سبحانه و تعالى ) pada
tempatnya”.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 45)
Pemerintah yang adil wajib meletakkan hukum Allah سبحانه و تعالى atau
hukum Al-Qur’an atau hukum Islam pada tempat tertinggi dimana segala
hukum, perundang-undangan dan peraturan lainnya merupakan “breakdown”
dari hukum Allah سبحانه و تعالى tersebut. Jika suatu pemerintah
meletakkan hukum selain hukum Allah سبحانه و تعالى pada posisi yang
tertinggi, seperti misalnya hukum produk manusia, maka itu berarti ia
telah mengajak masyarakat untuk berhukum kepada hukum thaghut padahal
Allah سبحانه و تعالى memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingkari
thaghut.
Demikian perintah Allah سبحانه و تعالى .
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ
آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ
أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)
Kisah pertentangan antara para
Nabiyullah ‘alaihimussalam
dengan jenis pentolan thaghut kedua inilah yang banyak mengisi lembaran
sejarah umat manusia dan diabadikan di dalam lembaran mushaf
Al-Qur’anul Karim.
Kisah pertentangan antara
Nabiyullah Nuh
‘alahissalam dengan para thaghut pemuka kafir kaumnya:
فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ
مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا
الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ
عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami
tidak melihat kamu (wahai Nuh) melainkan (sebagai) seorang manusia
(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti
kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas
percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa
pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang
dusta”. (QS. Hud [11] : 27)
Tentu kita semua juga sangat kenal dengan kisah pertentangan antara
Nabiyullah Ibrahim
‘alaihissalam dengan thaghut raja Babilonia bernama Namrud:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي
رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ
إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ
بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan (Namrud) orang yang mendebat
Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah سبحانه و تعالى telah
memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu
berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata,
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah
dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah [2] : 258)
Demikian pula pertentangan antara
Nabiyullah Musa
‘alaihissalam
dengan thaghut raja Mesir bernama Fir’aun. Bahkan thaghut yang satu ini
sedemikian melampaui batas dalam kesombongan kekuasaannya sehingga
memandang dirinya sebagai seorang supra-human (di atas rata-rata
manusia) lalu berkata di hadapan rakyat Mesir yang dipimpinnya:
فَكَذَّبَ وَعَصَى ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى فَحَشَرَ فَنَادَى فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى
Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling
seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan
(pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata,
"Akulah rabb-mu yang paling tinggi”. (QS. An-Nazi’at [79] : 21-24)
Dan di dalam Al-Qur’an jelas-jelas Allah سبحانه و تعالى menggambarkan
betapa khawatirnya thaghut Fir’aun terhadap gerakan yang dipimpin oleh
Nabiyullah Musa
‘alahissalam.
Fir’aun sangat khawatir bila dien (agama/sistem/jalan hidup/falsafah
hidup) rumusannya diganti oleh dien baru yang diusung oleh
Nabiyullah Musa
‘alahissalam. Padahal dien yang diusung oleh Musa
‘alahissalam justeru merupakan
dienullah (agama yang benar) Al-Islam yang semestinya Fir’aun-pun tunduk kepadanya bila ia punya
good-will
alias keinginan mewujudkan pemerintahan yang adil. Tapi semata-mata
karena ia memandang dirinya sebagai salah seorang “founding-fathers”
(pendiri utama) kerajaan digdaya Mesir, maka rakyat wajib mentaati
segala titah-perintahnya, termasuk menerima bulat-bulat agama, sistem,
jalan hidup atau falsafah hidup rumusan thagut Fir’aun. Inilah hakekat
thaghut.
Ia menginginkan manusia banyak menghamba kepada dirinya bukan
kepada Rabb alam semesta, Allah سبحانه و تعالى .
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى
وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُأَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ
يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ
Dan berkata Firaun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku
membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena
sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar dienmu (agamamu/pedoman
hidupmu/falsafah hidupmu/sistem hidupmu) atau menimbulkan kerusakan di
muka bumi”. (QS. Ghafir [40] : 26)
Thaghut zaman dulu sama dengan thaghut zaman kapanpun, termasuk di
era modern penuh fitnah ini. Tuduhan para thaghut-pun sama sepanjang
zaman terhadap para Nabi dan pewaris ajaran para Nabi yaitu penda’wah di
jalan Allah سبحانه و تعالى , pejuang dienullah serta pejuang kalimat
tauhid. Para thaghut senantiasa menuduh para Nabi dan para du’at di
jalan Allah سبحانه و تعالى sebagai fihak yang mengancam kestabilan
nasional dengan niat mengganti ajaran nenek moyang/
founding fathers
yang dianggap sudah mapan dan final, padahal sesat dan menyesatkan. Dan
para thaghut juga biasa menuduh para Nabi dan para du’at di jalan Allah
سبحانه و تعالى sebagai pembuat kerusakan di muka bumi, ekstrimis
bahkan teroris. Ini merupakan lagu klasik nyanyian para thaghut dan
jajaran pembela para thaghut sepanjang masa.
Demikian pula pertentangan antara Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم
dengan thaghut pemuka kota Mekkah yaitu Abu Lahab dan Abu Jahal.
Sedemikian rupa Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menghadapi
penganiayaan dari thaghut musyrikin Quraisy Mekkah sehingga Allah سبحانه
و تعالى seringkali menghibur beliau dengan ayat-ayat seperti ini:
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي
يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ
بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ
فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ
الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan
itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka
sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim
itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan
(pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap
pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai
datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat
merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah
datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS. Al-An’aam [6] : 33-34)
Demikianlah, pertentangan sepanjang masa antara para pembela ajaran
tauhid dengan pembela ajaran syirik mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى
. Para thaghut pemerintahan zalim senantiasa menjadi pembela utama
ajaran syirik karena mereka tidak ingin masyarakat menikmati kebebasan
hakiki dengan hanya bergantung kepada Allah سبحانه و تعالى .
Mereka
ingin masyarakat bergantung dan merasa butuh kepada diri para thaghut
dan ajaran, sistem hidup, falsafah hidup rumusan para thaghut itu.
Mereka sangat keras menghalangi masyarakat dari tunduk hanya kepada
ajaran dan dien yang datang dari Allah سبحانه و تعالى . Lalu dengan
kecanggihan retorika mereka mengelabui ummat Islam dengan mengatakan
bahwa para thaghut itu juga tetap memberikan tempat terhormat kepada
agama Allah سبحانه و تعالى padahal sebenarnya yang mereka lakukan adalah
upaya pengkerdilan peranan Islam dalam kehidupan ummat Islam.
Sebab
Allah سبحانه و تعالى tidak menyuruh kita untuk menerima ajaranNya
sepotong-sepotong. Allah سبحانه و تعالى menyuruh kaum beriman untuk
terima Islam sebagai suatu totalitas, bukan secara parsial atau
sektoral.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208)
Begitu seorang muslim rela pemberlakuan ajaran Islam secara parsial
atau sektoral berarti ia telah mengikuti langkah-langkah syaitan. Dan
itulah keadaan yang dialami kaum muslimin dewasa ini di bawah dominasi
Sistem Dajjal yang tidak saja hegemonik di masyarakat barat kafir tetapi
juga di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Para thaghut tidak
keberatan bila ummat Islam menjalankan Islam dalam urusan pribadi, tapi
jangan sekali-kali coba-coba menginginkan Islam diberlakukan pada
tataran kehidupan publik. Untuk urusan publik sudah ada ajaran, sistem
hidup, falsafah hidup yang dirumuskan para thaghut tersebut. Ajaran
tersebut sudah final dan karenanya tidak boleh diutak-atik lagi sebab
itu berarti sebuah upaya menimbulkan makar dan instabilitas nasional.
Oleh karenanya seorang
muwahhid (ahli tauhid) sejati sangat
sadar bahwa suatu pemerintahan hanya layak dipandang adil jika
pemimpinnya dengan jujur dan konsekuen meninggikan hukum Allah سبحانه و
تعالى di atas segenap hukum lainnya. Ia akan terus berjuang sehingga
cita-cita menjadikan
Al-Qur’anu Dustuurunaa (Al-Qur’an
Konstitusi kami) menjadi kenyataan. Sedetikpun ia tidak rela menyaksikan
hukum Allah سبحانه و تعالى Rabb langit dan bumi di setarakan dengan
hukum thaghut, apalagi diletakkan di bawahnya.
Bahwa sekarang hal itu
belum menjadi kenyataan adalah suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Tetapi itu bukan berarti sang
muwahhid rela akan situasi
abnormal tersebut. Yang pasti ia tidak ingin menjadi seperti orang-orang
yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى di dalam ayat di bawah ini. Yaitu
kalangan orang-orang munafiq yang secara formal disebut muslim namun
hakikatnya telah menjadi perpanjangan tangan dan kaki kaum kuffar:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ
صُدُودًا
Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada
hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu
lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya
dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisa [4] : 61)
Dewasa ini kita hidup di era badai fitnah. Badai fitnah telah
menyelimuti segenap aspek kehidupan ummat Islam. Sehingga tatkala muncul
wacana memeprjuangkan pemberlakuan hukum Allah سبحانه و تعالى dari
kalangan pejuang Islam, maka kaum kafir tinggal duduk santai. Karena
cukup sudah kaum munafiq yang berjuang “membela” kaum kafir tadi dengan
menghalangi wacana tersebut berkembang lebih jauh. Sungguh, kita wajib
waspada jangan-jangan ini semua pertanda kalau keluarnya puncak fitnah
sekaligus puncak thaghut pemerintahan zalim, yaitu Ad-Dajjal sudah tidak
lama lagi.
Sistem Dajjal yang secara global sedang hegemonik dewasa ini
sangat terlihat keseragaman nilai-nilai global yang ingin
diberlakukannya, yaitu memastikan manusia menghamba kepada sebagian
manusia lainnya yang berperan sebagai para thaghut pemerintah zalim
dengan menghalangi berlakunya hukum Allah سبحانه و تعالى dan memastikan
berlakunya hukum jahiliyah produk manusia, apapun nama hukumnya.
Sehingga Allah سبحانه و تعالى menantang mereka dengan pertanyaan
berikut:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (QS. Al-Maidah [5] : 50)
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan kaum yang yakin akan keadilan dan kebenaran hukumMu, bukan hukum yang selainnya.
Aamiin ya Rabb.
PanglimaThaghut: (3) Memutuskan Tidak Dengan Hukum Allah
Maka Panglima thaghut yang
ketiga, yaitu “Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan
diturunkan Allah سبحانه و تعالى”. Inilah thaghut yang sangat berpengaruh
di masa penuh fitnah dewasa ini. Dan ini adalah fihak yang tidak mau
merujuk kepada hukum Allah سبحانه و تعالى semata. Padahal Allah سبحانه و
تعالى jelas-jelas hanya menawarkan dua pilihan jenis hukum, yaitu hukum
Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah. Tidak ada hukum jenis yang
ketiga. Tidak ada “hukum Allah yang kejahiliyah-jahiliyahan”.
Sebagaimana tidak ditemukan pula “hukum jahiliyah yang
ke-Islam-Islaman”. Pilih salah satu: hukum Allah سبحانه و تعالى atau
hukum jahiliyah..!
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (QS. Al-Maidah [5] : 50)
Dan secara tegas Allah سبحانه و تعالى memvonis orang-orang yang tidak
mau memutuskan perkara berlandaskan wahyu yang datang dari Allah سبحانه
و تعالى sebagai kaum yang kafir. Artinya mereka dipandang tidak
beriman, sekalipun mereka mengaku diri sebagai seorang muslim.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5] : 44)
Oleh karena itu ulama tafsir Ibnu Katsir
rahimahullah menulis sebagai berikut:
“Siapa yang meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada
Muhammad Ibnu Abdillah صلى الله عليه و سلم penutup para Nabi dan dia
justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus),
maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum
Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad صلى
الله عليه و سلم maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah:
13/119)
Yang dimaksud dengan hukum Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Genghis
Khan yang berisi campuran hukum yang bersumber dari Taurat, Injil,
Al-Qur’an dan hukum adat bangsa Mongol. Barangkali Genghis Khan mengira
bila ia dapat mengkombinasikan hukum yang diberlakukan dengan mengambil
sebagian sumber hukum dari Taurat, Injil, Al-Qur’an serta adat Mongol,
maka ia dapat menghasilkan suatu hukum yang adil serta akomodatif
terhadap keaneka-ragaman aspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Padahal
dalam pandangan Islam, itu sama saja dengan mencampakkan hukum Allah
سبحانه و تعالى dan mengambil selainnya, walaupun di dalamnya terdapat
sebagian hukum Allah سبحانه و تعالى .
Termasuk di negeri ini. Alangkah anehnya bahwa selama 350 tahun
dijajah oleh kaum kafir Belanda telah banyak pejuang (baca: mujahidin)
yang berjihad mengusir mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka. Namun
setelah hampir 70 tahun mengaku merdeka, hukum kafir Belanda masih tetap
saja diberlakukan dan dilestarikan di Indonesia.
Pantas bila ada
seorang veteran anggota Hizbullah (organisasi tentara masa lalu sebelum
adanya TNI) yang sudah tua ketika ditanya pendapatnya soal kondisi
Indonesia, ia menjawab: “Semakin memburuk. Kami dahulu mengusir penjajah
Belanda dengan niat dan semangat ber-jihad fii sabilillah. Dan tujuan
kami hanya satu. Bila berhasil mengusir Belanda dari sini, kami akan
menghapus pemberlakuan hukum Belanda dan menegakkan hukum Allah سبحانه و
تعالى . Dan tujuan itu sampai hari ini belum terwujud...!”
Di zaman penuh fitnah dewasa ini, praktis tidak ada lagi negeri yang
memberlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى . Semua negara membanggakan
hukum bikinan manusia atau hukum adat setempat yang jelas bukan hukum
Allah سبحانه و تعالى . Sehingga urusan halal dan haram (baca: legal dan
ilegal) dapat ditentukan oleh manusia, tidak mesti oleh Allah سبحانه و
تعالى .
Celakanya lagi, tidak jarang kesepakatan halal-haram itu
diperoleh melalui voting sejumlah orang yang di tengah masyarakat telah
dipercaya untuk merumuskannya. Kalaupun ada peraturan-peraturan yang
mengacu kepada syariat Islam, maka peraturan itu bersifat sangat parsial
tidak komprehensif, sebab pemberlakuannya masih saja di dalam kerangka
sebuah konstitusi yang bukan berupa Al-Qur’an atau Al-Islam.
Dengan kata
lain peraturan-peraturan itu terbit sebagai hasil sebuah proses
tarik-menarik antara kaum Islamis dengan kaum sekularis. Padahal
semestinya kaum muslimin hidup dan tunduk kepada hukum Allah سبحانه و
تعالى dalam segenap urusan kehidupan mereka, baik urusan kecil maupun
besar, dan dengan ketundukan yang sepenuh hati. Sehingga Allah سبحانه و
تعالى berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا
مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 65)
Sungguh ironis jika ada yang menyangka bahwa sudah berlaku hukum
Islam di suatu masyarakat berpenduduk muslim padahal dalam
menerbitkannya diperlukan suatu proses tarik-menarik atau voting. Itupun
baru sebagian kecil saja dari hukum Islam yang diberlakukan. Sedangkan
jelas sekali Allah سبحانه و تعالى di dalam ayat di atas menyatakan bahwa
“belum bisa disebut beriman” selagi di dalam menjadikan Rasulullah صلى
الله عليه و سلم (ajaran Islam) sebagai hakim tetap masih merasa ada
keberatan di dalam hati terhadap putusan yang diberikan, dan tidak
menerima dengan sepenuhnya.
Bagaimana kiranya Allah سبحانه و تعالى memandang dan menilai
sekumpulan orang yang menyelenggarakn sebuah majelis untuk mem-voting
layak atau tidak layaknya pemberlakuan hukum Allah سبحانه و تعالى ?
Padahal Allah سبحانه و تعالى sesungguhnya merupakan pencipta langit dan
bumi serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mengapa manusia berani
mempertanyakan lalu menyelenggarakan voting untuk memberlakukan atau
tidak memberlakukan hukumNya? Pantas jika Allah سبحانه و تعالى
berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ
لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih.” (QS. Asy-Syuura [42] : 21)
Dalam ajaran Tauhid, seseorang lebih baik kehilangan jiwa dan
hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada selain hukum Allah
سبحانه و تعالى alias hukum thaghut. Sebab mengajukan perkara kepada
hukum thaghut berarti sudah terlibat di dalam kekafiran bahkan perbuatan
syirik. Allah سبحانه و تعالى berfirman:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah itu lebih bahaya dari pada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 191)
Penulis kitab tafsir Fathul Qadir menjelaskan ayat di atas dengan mengartikan bahwa kata
fitnah
di situ berarti (1) kembali kepada kekafiran alias murtad dan (2)
syirik sebagaimana keyakinan kaum musyrikin. Artinya, lebih baik
seseorang terbunuh dalam keimanan daripada ia tetap hidup namun kembali
kepada kekafiran sesudah beriman atau ia menjadi syirik sebagaimana kaum
musyrikin padahal ia mengaku dirinya muslim.
Di era penuh fitnah seperti sekarang hegemoni Sistem Dajjal di bidang
hukum sangat terasa. Sedemikian hebatnya hegemoni nilai-nilai kekafiran
di bidang hukum sehingga kita menyaksikan sendiri bagaimana kaum
muslimin dengan mudahnya masuk ke dalam perangkap meyakini bahwa selain
hukum Allah سبحانه و تعالى dapat menjamin keadilan dan kebenaran.
Padahal tidak ada sumber kebenaran dan keadilan kecuali dengan
menjadikan Kitabullah Al-Qur’an sebagai pemutus perkara yang timbul di
antara manusia.
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’aam [6] : 115)
Semua orang pasti mendambakan kebenaran dan keadilan. Tetapi tahukah
kita sebenarnya apa itu yang disebut dengan kebenaran dan keadilan? Yang
pasti, Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa kebenaran dan keadilan itu
hanya pada kalimat Allah سبحانه و تعالى yang sempurna, yakni
Al-Qur’anul Karim. Termasuk menegakkan hukum Al-Qur’an itulah yang
menjamin masyarakat berada di atas kebenaran dan menjamin hadirnya
keadilan, bukan yang lainnya.
Di era penuh fitnah dimana hukum thaghut
yang ditegakkan dimana-mana, maka hanya sedikit orang saja yang dapat
tetap konsisten meyakini hukum Allah سبحانه و تعالى sajalah yang
menjamin keadilan. Sedangkan yang kebanyakan berada di dalam posisi ikut
arus saja. Padahal dengan mengikuti arus hukum thaghut itu,
sesungguhnya mereka membiarkan diri berada di dalam kesesatan dan
kezaliman, bukan kebenaran apalagi keadilan.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا
يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah سبحانه و تعالى .
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’aam [6] : 116)
Kebenaran dan keadilan bukan ditentukan oleh ramai-sepinya
pendukungnya. Tetapi ia ditentukan oleh sesuai atau tidaknya dengan
petunjuk Allah سبحانه و تعالى. Walaupun sedikit pendukungnya, namun bila
mengikuti petunjuk Allah سبحانه و تعالى maka mereka itulah orang-orang
yang berada di atas kebenaran dan sejatinya memperjuangkan keadilan.
Sehingga Allah سبحانه و تعالى memerintahkan Nabi Muhammad صلى الله عليه و
سلم dan semua ummatnya untuk bersikap sebagai berikut:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلا وَالَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ
بِالْحَقِّ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah سبحانه و
تعالى , padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu
dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada
mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Rabbmu
dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang
ragu-ragu.” (QS. Al-An’aam [6] : 114)
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Ya (Allah) Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi No. 2066)
PanglimaThaghut: (4) Yang Mengaku Tahu Perkara Ghaib Selain Allah
Tauhid terdiri atas dua sisi yang mesti hadir secara simultan. Di
satu sisi ada keharusan untuk memfokuskan ibadah
(pengabdian/penghambaan) kepada Allah سبحانه و تعالى semata, dan di lain
sisi ada keharusan untuk menjauhi dan mengingkari segala bentuk
thaghut. Ada kewajiban ber-
wala (menyerahkan kesetiaan/loyalitas) kepada Allah سبحانه و تعالى dan ada kewajiban untuk ber-
baro
(melepaskan diri/disasiosiasi) dari segala macam dan bentuk thaghut.
Inilah pesan abadi para utusan Allah سبحانه و تعالى sepanjang zaman.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut
itu.” (QS. An-Nahl [16] : 36)
Tidak sah iman seorang muslim bila ia hanya sibuk menghamba kepada
Allah سبحانه و تعالى namun ia tidak bersedia menjauhi dan mengingkari
thaghut. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim dikatakan
ber-tauhid bilamana di satu sisi ia beribadah kepada Allah سبحانه و
تعالى namun di lain sisi ia mendekat bahkan bekerjasama dengan thaghut?
Tidak sah imannya! Bukan tidak sempurna imannya, tetapi tidak sah.
Mengapa? Karena ibarat coin yang memiliki dua muka, tidak dapat
dikatakan coin jika hanya terdiri dari satu muka saja. Demikian pula
dengan iman tauhid seorang muslim. Tidak disebut tauhid jika hanya
mengandung ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى sedangkan menjauhi dan
mengingkari thaghut tidak ada. Hadirnya tauhid di dalam diri seseorang
ialah ketika ia beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى seraya menjauhi
serta mengingkari berbagai jenis thaghut.
Thaghut-thaghut itu banyak sekali dan ada lima di antaranya yang merupakan thaghut utama alias pentolan thaghut:
- Syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى
- Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang mengklaim mengetahui hal yang Ghaib, padahal itu hak khusus Allah سبحانه و تعالى
- Segala sesuatu yang disembah selain Allah سبحانه و تعالى , sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut
Inilah lima pentolan thaghut. Setiap orang yang mengaku muslim wajib
menjauhi dan mengingkari semua thaghut di atas. Jika tidak, berarti ia
telah mengingkari ikrar keimanannya atau tauhid-nya. Dan sah-tidaknya
iman seseorang bergantung kepada pengingkarannya kepada thaghut. Bila ia
tidak mengingkari thaghut berarti imannya tidak sah.
Walaupun ia rajin
sholat, puasa di bulan Ramadhan, bersedekah dan berbagai amal kebaikan
lainnya, namun bila ia mendekat apalagi bekerjasama dengan thaghut,
berarti apa yang ia kerjakan tidak mendapat penilaian di sisi Allah
سبحانه و تعالى . Mengapa demikian?
Karena orang yang tidak sah imannya
alias tidak sah tauhidnya, berarti ia telah syirik. Sebab lawannya
tauhid adalah syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Dan
barangsiapa terlibat di dalam dosa syirik, semua kebaikan yang pernah ia
lakukan di dunia akan terhapus dan tidak memperoleh penilaian apapun di
sisi Allah سبحانه و تعالى .
Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39] : 65)
Maka Panglima thaghut yang
keempat, yaitu “Orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, padahal
itu hak khusus Allah سبحانه و تعالى ”.Inilah thaghut yang seringkali
disebut “orang pinter” atau para dukun.
Mereka mengaku dan sebagian
orang memperlakukannya sebagai orang yang mengetahui perkara yang ghaib,
seperti misalnya mereka dianggap tahu apa yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Atau mereka dapat meramal nasib seseorang. Atau mereka
dapat menentukan siapa jodoh seseorang . Atau mereka bahkan dapat
memberi tahu seseorang yang kecurian barang berharganya, dimana barang
berharganya itu, siapa yang telah mengambilnya dan bagaimana cara
mendapatkannya kembali.
Seringkali mereka juga dijuluki sebagai paranormal, tukang ramal,
tukang tenung. orang sakti, ahli nujum, klenik atau ahli mistik.
Celakanya, sebagian masyarakat terkadang menjuluki mereka dengan istilah
para “wali”. Seolah jika seseorang mengaku-ngaku bahwa ia dapat
menyampaikan berita-berita yang ghaib, maka ia serta merta dianggap
sebagai seorang yang dekat dengan Alah سبحانه و تعالى sehingga layak
disebut wali, dalam pengertian “wali Allah.”
Padahal Ibnu Taimiyah
rahimahullah
mangatakan bahwa di dalam Al-Qur’an ada dua jenis wali, yaitu Wali
Allah سبحانه و تعالى dan Wali Syaitan...! Di dalam mukaddimah bukunya
yang berjudul
“Al-Furqon Baina Auliyaaur-Rahmaan Wa Auliyaausy-Syaithan”, Ibnu Taimiyah menulis:
“Dan diperbuatnya pula batas demarkasi antara wali-wali
Allah dan musuh-musuh Allah. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa
Muhammad صلى الله عليه و سلم adalah waliyullah, pastilah ia
waliyur-Rahman sedangkan siapa saja yang bersaksi bahwa Muhammad صلى
الله عليه و سلم adalah musuh Allah, maka dia termasuk waliyusy-Syaithan,
musuh Allah. Maka inilah garis pemisah wali Allah dan wali Syaithan.
Sesungguhnya
Allah سبحانه و تعالى telah menjelaskan di dalam kitab Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah (Al-hadits), bahwa Allah mempunyai wali-wali yang
terdiri daripada manusia dan jin. Demikian pula syaithan memiliki
wali-wali pula. Oleh sebab itu selayaknya dimengerti garis pemisah
wali-wali Allah dan wali-wali syaithan tersebut. (“Wali Allah Menurut
Al-Qur’an” Ibnu Taimiyah; Penerbit Al-Ikhlas Surabaya, hlm. 14)
Dalil mengenai para wali Allah سبحانه و تعالى di antaranya sebagai berikut:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
لَهُمُالْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لا تَبْدِيلَ
لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka
berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di
akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.
Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus [10] : 62-64)
Sedangkan dalil mengenai wali syetan di antaranya sebagai berikut:
يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
(Ibrahim berkata), “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa
kamu akan ditimpa azab dari (Allah) Yang Maha Pemurah, maka kamu
menjadi wali syetan". (QS. Maryam [19] : 45)
Justeru orang yang mengaku tahu perkara yang ghaib dialah wali
syetan. Sebab seorang wali Allah سبحانه و تعالى adalah seorang manusia
beriman yang konsisten menghambakan dirinya hanya kepada Allah سبحانه و
تعالى semata dan menjauhi berbagai thaghut. Bagaimana mungkin seorang
wali Allah سبحانه و تعالى sejati yang menjauhi berbagai thaghut, lalu
malah rela menjadikan dirinya thaghut dengan meng-claim bahwa ia
mengetahui perkara yang ghaib padahal tidak bersumber dari Allah سبحانه و
تعالى maupun Rasulullah صلى الله عليه و سلم ? Sebab seorang mukmin
yakin dengan firman Allah سبحانه و تعالى berikut ini:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“(Dialah Allah) Yang Maha Mengetahui (perkara) yang ghaib, maka
Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu,
kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.” (QS. Al-Jin [72] : 26-27)
Artinya, kalaupun ada fihak selain Allah سبحانه و تعالى yang berhak
mengaku tahu perkara yang ghaib, maka dia adalah para rasul Allah yang
diridhaiNya. Sedangkan semenjak diutusnya Nabi Muhammad صلى الله عليه و
سلم limabelas abad yang lalu pintu keNabian dan keRasulan telah ditutup
oleh Allah سبحانه و تعالى . Berarti siapapun dewasa ini yang mengaku
tahu perkara yang ghaib, maka dia adalah seorang pendusta. Dia bukan
seorang wali Allah سبحانه و تعالى . Malah dia lebih pantas disebut
sebagai seorang wali syetan..!
Itulah sebabnya di dalam ajaran Islam segala pengetahuan mengenai
perkara yang ghaib haruslah bersumber hanya dari Allah سبحانه و تعالى
atau Rasulullah Muhammad صلى الله عليه و سلم . Atau berdasarkan ayat
Al-Qur’an serta hadits shahih. Misalnya, jika seorang da’i berbicara
mengenai alam kubur, tanda-tanda kiamat serta kehidupan di alam akhirat,
maka ia hanya boleh menjelaskannya jika berdasarkan ayat Al-Qur’an dan
hadits shahih.
Jika seorang ustadz berbicara mengenai hal-hal seperti
itu namun tidak berlandaskan ayat atau hadits, berarti ia telah
menempatkan dirinya sebagai salah satu pentolan thaghut. Dan orang yang
membenarkan ucapan-ucapan ustadz seperti itu berarti ia telah mengimani
thaghut. Dan mengimani thaghut berakibat kepada batalnya iman seseorang.
Sebab ia telah melepaskan diri dari kalimat tauhid yang merupakan buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan pernah putus.
Wa na’udzubillahi min dzaalika..!
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat (laa ilaaha illa Allah) yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2] : 257)
Di dalam sebuah hadits Rasulullah صلى الله عليه و سلم menyampaikan
ancaman serius terhadap seorang muslim yang datang ke seorang dukun lalu
membenarkan ramalannya:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, "Barangsiapa mendatangi
dukun lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka ia telah kafir dengan
wahyu yang diturunkan kepada Muhammad صلى الله عليه و سلم ." (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Majah No. 631)
Bayangkan, ancamannya ialah dianggap sama dengan seorang yang telah
kafir terhadap Al-Qur’an. Dan ini berarti ia terkena salah satu masalah
nawaqidh al-iman (pembatal keislaman). Sama dengan dianggap telah murtad sesudah beriman.
Na’udzubillahi min dzalika...!
Maka setiap muslim yang ingin menjadi seorang
muwahhid (ahli
tauhid) sejati sudah sepantasnya menjauhkan diri dari para thaghut jenis
yang satu ini. Jangan hendaknya kita menjadi seperti kaum musyrik yang
sangat berkeinginan kuat untuk mengetahui perkara-perkara yang ghaib.
Bagi seorang muwahhid sejati setiap orang yang mengaku-ngaku mampu
membeberkan perkara ghaib padahal tidak ada sumbernya dari Allah سبحانه و
تعالى atau Rasulullah صلى الله عليه و سلم maka orang tersebut lebih
pantas dipandang sebagai thaghut yang sepatutnya dijauhi. Jangan
mendekat kepadanya. Apalagi membenarkan berbagai ocehan-ocehannya.
Di zaman penuh fitnah dewasa ini cukup banyak orang yang terjatuh
menjadi murtad karena mendatangi para dukun/orang pinter/paranormal/ahli
nujum seperti ini. Lalu mereka membenarkan apa-apa yang mereka
ramalkan. Termasuk memenuhi segala syarat yang mereka minta apabila
ingin masalahnya dipecahkan.
Betapapun tidak masuk akalnya syarat-syarat
yang ditetapkan para dukun tersebut. Kadang terkait dengan keinginan
untuk sembuh dari penyakit menahun. Terkadang terkait dengan pejabat
yang ingin mendapat kepastian akan kelanggengan jabatannya. Terkadang
terkait dengan kehilangan barang berharga miliknya yang dicuri orang.
Terkadang terkait keinginan untuk merebut hati seorang yang ia cintai
namun bertepuk sebelah tangan. Terkadang terkait supaya bisnisnya
menjadi sukses dengan cepat. Terkadang terkait keinginan yang sudah lama
untuk mempunyai keturunan.
Sebenarnya ketergantungan kepada thaghut paranormal seringkali
disebabkan karena ketidak-sabaran masyarakat menghadapi kesulitan hidup.
Disertai lagi dengan ketidakyakinan mereka akan ke-Maha Kuasa-an Allah
سبحانه و تعالى . Mereka seringkali masih tetap berdoa dan memohon kepada
Allah سبحانه و تعالى agar masalahnya diatasi, tetapi pada saat yang
sama mereka juga datang kepada para dukun meminta penyelesaian masalah.
Di sinilah letak masalahnya.
Mereka di satu sisi memang beribadah kepada
Allah سبحانه و تعالى , namun di lain sisi mereka tidak rela menjauhi
para thaghut. Padahal jelas-tegas para Rasul yang diutus Allah سبحانه و
تعالى menyampaikan pesan abadi:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut
itu,” (QS. An-Nahl [16] : 36)
Panglima Thaghut: (5) Yang Diibadati Selain Allah dan Dia Rela dengan Peribadatan Itu
Panglima thaghut yang
kelima, yaitu “Orang yang diibadati selain Allah سبحانه و تعالى dan dia
rela dengan peribadatan itu”.Thaghut jenis ini seringkali tampil dalam
bentuk para pemuka agama.
Mengapa pemuka agama bisa menjadi thaghut?
Karena mereka merupakan fihak yang seringkali mendapat pernghormatan
dari masyarakat, jamaah, murid-murid, anak-buah, kader-kader di
sekeliling dirinya. Jika menyikapi penghormatan tersebut mereka tidak
sanggup menata hati dan fikirannya untuk tetap bersikap “tawadhu”
(rendah hati), niscaya ia akan berkembang menjadi melampaui batas.
Akhirnya pemuka agama itu menjadi lupa diri, kemudian mengeluarkan
pendapat atau fatwa yang tidak dilandasi oleh ayat Allah سبحانه و تعالى
(Al-Qur’an) atau Hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Seenaknya
saja ia mengeluarkan pendapat pribadinya tanpa mengacu kepada Allah
سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم sebab ia sudah terlalu
senang dan bangga akan sikap
tsiqoh (kepercayaan) serta
tho’ah
(ketaatan) dari jamaahnya yang selalu memandangnya sebagai Kyai,
Ajengan, Mursyid, Habib, Imam, Amir, Ustadz atau Qiyadah yang tidak
pernah salah, selalu benar dalam ucapan maupun perbuatan. Jiwa kritis
dari orang-orang di sekelilingnya menjadi mati.
Tradisi keilmuan diganti
dengan pola indoktrinasi. Keharusan memahami diganti dengan sikap
dogmatis dalam mempercayai dan mematuhi sang pemuka agama.
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ
ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ
يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةٌ { اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ } قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ
لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا
لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا
حَرَّمُوهُ
Adi bin Hatim ra berkata, “Aku mendatangi Nabi صلى الله عليه و سلم
dan di leherku ada salib emas, beliau bersabda, ‘Hai Adi, buanglah
patung ini darimu.’
Dan aku mendengar beliau membaca dalam surat
Al-Baraa`ah:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Rabb-Rabb selain Allah.” (QS At-Taubah [9] : 31) beliau
bersabda, ‘Ingat, sesungguhnya mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) tidak
menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, tapi bila para
pemuka agama itu menghalalkan sesuatu, mereka menghalalkannya dan bila
mengharamkan sesuatu, mereka mengharamkannya’." (Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi No. 3020)
Berdasarkan hadits di atas bila suatu kaum sedemikian mempercayai dan
mentaati para pemuka agama sampai memberikan hak menetapkan halal dan
haram kepada mereka, berarti itu merupakan suatu bentuk peribadatan.
Para pemuka agama tersebut telah menjadi Rabb-Rabb selain Allah سبحانه و
تعالى .
Tidak perlu umat itu bersujud atau menyembah di hadapan para
pemuka agama, cukup dengan menghalalkan apa-apa yang mereka halalkan
padahal Allah سبحانه و تعالى haramkan, atau mengharamkan apa-apa yang
mereka haramkan padahal Allah سبحانه و تعالى halalkan, maka itu berarti
para pemuka agama tersebut telah diibadati oleh umat, dan itu berarti
pemuka agama tadi telah berubah menjadi thaghut..!
Hak menetapkan
at-tahlil wat-tahrim (halal dan haram) merupakan hak khusus Allah سبحانه و تعالى . Sehingga Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.” (Hadits Shahih Riwayat Al-Bukhari No. 50)
Para thaghut jenis ini seringkali mengeluarkan pendapat berdasarkan
fikiran pribadi, tanpa menimbang bagaimana sebenarnya menurut Allah
سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم. Lalu karena tsiqoh dan
taat dari jamaahnya sudah tertanam sedemikian rupa, akhirnya mereka
tidak pernah dikritisi.
Bahkan jika ada di antara muridnya yang sedikit
saja menunjukkan keingintahuan yang di atas rata-rata murid lainnya,
lalu bertanya: “Ya Syaikh, atau pak Kyai, atau Pak Habib, kira-kira apa
yang tadi dijelaskan bisa kita rujuk ke surah berapa ayat berapa di
dalam Al-Qur’an? Atau di dalam hadits Nabi صلى الله عليه و سلم yang
mana?”
Maka pertanyaan seperti ini seringkali tidak perlu dijawab oleh
sang pemuka agama, sebab salah seorang muridnya akan segera
menghardiknya dengan mengatakan: “Hai fulan, kurang ajar sekali kamu
dengan Syaikh kita, atau pak Kyai, atau pak Habib...! Apakah kamu tidak
tsiqoh dengan beliau? Kamu mesti percaya donk dengan apa yang
dikatakannya...!
Sudahlah, kalaupun dijelaskan kamu juga tidak akan
cukup ilmu untuk memahaminya. Taat sajalah...!” Maka di dalam majelis
para pemuka agama yang telah menjadi thaghut ini biasanya atmosfir
keilmuan sudah redup. Yang ada hanyalah doktrin dan dogma yang mesti
dipatuhi. Jika tidak, maka si murid “nakal” tersebut akan dihukum bahkan
akan dicabut pengakuannya sebagai murid majelis sang pemuka agama yang
telah menjadi thaghut tersebut.
Oleh karenanya Allah سبحانه و تعالى mengkritik kaum Nasrani yang memperlakukan Nabiyullah Isa
alahis-salam berlebihan sehingga diyakini sebagai tuhan atau anak tuhan. Allah سبحانه و تعالى berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا
عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا
كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah سبحانه و تعالى
berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah سبحانه و تعالى ." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imran [3] : 79)
Nabiyullah Isa
alaihis-salam telah diberikan oleh Allah سبحانه
و تعالى Al-Kitab Injil, hikmah dan kenabian. Tidak mungkin beliau
kemudian malah menyuruh manusia untuk menyembah dirinya bukan menyembah
Allah سبحانه و تعالى . Jadi, adalah satu tuduhan keji bila kaum Nasrani
yang mengaku pengikut Nabi Isa
alaihis-salam mengatakan bahwa Isa
merupakan tuhan atau anak tuhan. Malah yang pantas dikatakan oleh
seorang berstatus seorang Nabi dan telah memperoleh wahyu dari Allah
سبحانه و تعالى ialah:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Artinya, seorang Nabi atau pemuka agama sejati adalah orang yang
senantiasa menghidup-suburkan budaya belajar dan mengajar di dalam
majelis yang dipimpinnya. Seorang pemuka agama sejati akan dengan senang
hati menuntun dan membimbing murid-muridnya menjadi orang-orang yang
cinta ilmu, gemar belajar dan senang mengajar. Sehingga tradisi bertanya
bukanlah suatu aib atau bentuk kekurangajaran, tetapi tradisi bertanya
merupakan bukti keberhasilan pemuka agama tersebut di dalam membentuk
murid-muridnya menjadi
Rabbaniyyiin.
Bila budaya bertanya segera
diartikan sebagai suatu ketidak-tsiqohan dan ketidak-taatan murid kepada
gurunya, berarti sangat besar kemungkinan sang Kyai, Ajengan, Mursyid,
Habib, Imam, Amir, Ustadz atau Qiyadah yang memimpin majelis, jamaah,
tarekat, perkumpulan, organisasi atau partai tersebut telah berkembang
menjadi seorang thaghut.
Wa na’udzu billaahi min dzaalika...!
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
”Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari
menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami meminta
ampun kepada-Mu terhadap apa yang kami tidak ketahui”. (HR. Ahmad No. 18781)*****