Catatan Kaki Jodhi Yudono
Sedemikian hebat dan istimewanya sebuah kursi ketua umum partai, sehingga nyaris semua anggota partai berkeinginan mendudukinya, bagaimana pun jalannya. Menjadi ketua umum partai adalah sebuah kemewahan bagi anggota partai. Jabatan itu bukan saja membuat sang ketua dihormati oleh para anggota, melainkan juga disegani oleh partai politik lainnya serta kalangan pemerintahan.
Lantaran kedudukannya yang mentereng itulah, mereka yang berambisi dan berkeinginan menjadi ketua partai rela menempuh berbagai jalan, termasuk jalan yang tidak terhormat. Tentu saja, lantaran posisinya yang mentereng itu, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan kursi ketua menjadi sedemikian mahal.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum didakwa mengeluarkan dana untuk pencalonan sebagai Ketum pada Kongres Partai Demokrat tahun 2010 di Bandung, Jawa Barat. Sebesar US$ 30,9 ribu untuk biaya posko tim relawan pemenangan Anas di Apartemen Senayan City Residence, dan sebesar US$ 5,17 ribu untuk biaya posko II di Ritz Carlton Jakarta Pacific Place.
Selain itu, Anas juga disebut mengeluarkan biaya-biaya untuk pertemuan dengan 513 DPC dan DPD pada Januari 2010, pertemuan dengan 430 DPC pada Februari 2010, dan biaya mengumpulkan 446 DPC pada Maret 2010.
Apa yang dilakukan oleh Anas hanyalah salah satu contoh mengenai praktik mendapatkan kursi ketua yang membutuhkan ongkos besar. Ongkos mahal ini juga sebangun dengan mereka yang memburu kekuasaan sebagai anggota DPR, Bupati/walikota, Gubernur, hingga presiden dan wakilnya.
Harian Kompas mencatat, biaya politik, terutama untuk kampanye pemilu dan pilkada serta di partai politik, saat ini diperkirakan naik 10 kali lipat daripada lima tahun lalu. Perkiraan tersebut disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam diskusi ”Political Branding: Saatnya Kampanye Hemat, Cerdas, dan Bermartabat” di Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Jusuf Kalla, dalam waktu lima tahun, biaya kampanye politik di Indonesia melonjak tinggi. Saat dia maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2004, misalnya, biaya kampanye masih sekitar Rp 120 miliar.
Namun, saat dia maju sebagai calon presiden dalam kampanye Pemilu 2009, biaya tersebut naik sekitar 10 kali lipat. ”Perasaan saya seperti itu, dengan melihat jumlah dana yang dikeluarkan untuk iklan dan dana ini-itu untuk kampanye,” kata Kalla.
Sementara untuk maju menjadi gubernur saja dibutuhkan dana kampanye sekitar Rp 30 miliar. Untuk merebut jabatan wali kota, dibutuhkan dana kampanye Rp 9 miliar.
Sebenarnya apa yang akan diperoleh jika seseorang menjadi ketua umum sebuah partai politik di negeri ini? Melalui figur para ketua partai politik yang kita kenal, masyarakat awam pun tahu bahwa banyak hal yang bisa didapat dan dikerjakan oleh seorang ketua partai politik.
Secara formal, ketua umum mempunyai hak prerogatif untuk mempertahankan: Eksistensi Partai, Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara operasional, ketua umum adalah ikon sebuah partai yang kedudukannya bisa membuat merah-hitam partainya, dan juga nasib anggota partai. Lantaran kedudukannya itulah, seorang ketua partai bisa digambarkan laiknya "dewa" yang bisa menentukan anggota partai untuk benderang karierrnya, atau nyungsep nasibnya. Dari sinilah akan lahir para loyalis yang membela mati-matian sang ketua. Namun dari situasi itu pula, bisa lahir musuh-musuh
dalam selimut yang akan menikam sang ketua dari muka atau belakang.
Sebagai ikon sebuah partai, ketua umum juga memiliki harga istimewa dengan pihak di luar partai. Seorang ketua umum bisa menentukan harga tawar dengan pihak lain untuk beberapa kedudukan di pemerintahan maupun di parlemen.
Maka tak heran bukan, jika nilai jabatan ketua umum di sebuah partai selalu diperebutkan oleh para anggota partai sampai sedemikian rupa, hingga menimbulkan huru-hara.
Huru-hara paling aktual adalah yang terjadi di Partai Golkar. Persaingan calon Ketua Umum Golkar menuju Musyawarah Nasional begitu membara, sampai-sampai menimbulkan adu laga para anggota partai. Kabarnya ini bermula dari kecurigaan karena ada upaya dari DPP partai Golkar untuk mempercepat Munas agar memuluskan langkah ARB jadi ketum Golkar lagi. Percepatan munas akan memotong garis konsolidasi calon-calon lain untuk memperoleh dukungan dari kader-kader di daerah.
Ratusan orang dengan memakai baju loreng kuning cokelat bertuliskan Angkatan Muda Partai Golkar tiba-tiba merangsek masuk ke dalam ruangan rapat pleno DPP Golkar. Kisruh ini berujung pemecatan Ical dan Idrus Marham dari jabatan ketua umum dan sekjen. Selanjutnya, para petinggi Golkar membentuk presidium.
Ketua Mahkamah Partai Golkar, Muladi, menilai pengambilalihan jabatan Ketua Umum Partai Golkar oleh presidium sudah sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai.
Menurut Muladi pemberhentian Aburizal sah lantaran diputuskan dalam rapat pleno yang dihadiri mayoritas pengurus. Selain itu Muladi menyebutkan situasi di internal Golkar saat ini sudah tak kondusif lantaran adanya perpecahan (baca Kubu Ical: Golkar Tak Mengenal Presidium).
Pernyataan Muladi pun langsung ditentang oleh Ketua Panitia Pelaksana Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya Ahmadi Noor Supit yang menolak tegas keberadaan Presidium Penyelamatan Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono. Posisi Presidium tak diakui dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Golkar.
Situasi serupa juga pernah dialami oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang panas oleh konflik di tingkat elit antara kubu Suryadharma Ali (SDA) di satu sisi, dan Romahurmuziy di pihak lain. Konflik yang disertai pendudukan kantor oleh kubu SDA ini pun berujung pada Muktamar ke-VIII PPP di Surabaya yang memilih Romahurmuziy (Romi) sebagai Ketua Umum PPP.
Tak terima dengan pelaksanaan Muktamar versi Romi, kubu SDA Suryadharma menggelar muktamar pada 30 Oktober 2014.
M Romahurmuziy, menilai, muktamar yang digelar kelompok pendukung Suryadharma Ali di Jakarta tidak sah secara politik maupun yuridis. Secara politik, mukmatar tersebut tidak memenuhi kuorum, yakni dihadiri lebih dari setengah dewan pimpinan wilayah (DPW) dan dewan pimpinan cabang (DPC).
Romahurmuziy di Jakarta, Sabtu (1/11/2014) menyatakan, secara yuridis sebenarnya persoalan sudah selesai dengan Kemenkum HAM. Secara politik kubu SDA tidak dihadiri oleh lebih dari separuh DPW dan DPC sehingga yuridis dan politis muktamar di (Hotel) Sahid ini tidak memiliki landasan. Romy mengatakan bahwa 28 DPW yang hadir dalam muktamar di Jakarta itu hanyalah data yang diklaim panitia. Ia menyatakan bahwa DPW dan DPC yang secara penuh menghadiri mukmatar tersebut jumlahnya hanya lima, yakni Yogyakarta, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.
Huru-hara yang menimpa dua partai di atas hanyalah contoh kecil dari peristiwa lain yang terjadi berulang kali. Publik tentu masih ingat dengan gonjang-ganjing di tubuh Partai Demorasi Indonesia yang akhirnya terbelah dan memunculkan PDI Perjuangan yang hingga kini dipimpin oleh Megawati.
Dalam waktu dekat, peristiwa serupa tak menutup kemungkinan akan terjadi di tubuh Partai Demokrat. Para pendiri Partai Demokrat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) menyebut kondisi partai berlambang Mercy kini sudah berada diambang kerapuhan. Para pendiri itu menuding bobroknya Partai Demokrat karena dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Salah satu anggota FKPD Etty di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (24/11) menyatakan, kondisi Partai Demokrat sekarang amat kontras dibanding saat didirikan. Etty mengatakan, partai ini dibuat sampai berdara-darah, sementara sekarang sudah menjadi rumahnya pelacur politk. Partai tersebut dibangun dengan semangat anti korupsi, tapi di tengah jalan justru banyak yang tersangkut korupsi.
Laman merdeka.com neulis, Kebobrokan lainnya karena partai yang didominasi dengan warna tua itu didominasi lingkaran keluarga SBY. Menurut dia, dalam sebuah organisasi sistem kekerabatan itu tidak bagus.
Etty pun menyayangkan hal itu. Dia menilai hancurnya Partai Demokrat dalam 10 tahun ini karena dibawah kepemimpinan SBY.
Etty menambahkan, sejumlah nama kerabat maupun keluarga SBY berada di lingkaran Demokrat, antara lain, Edhie Baskoro Yudhoyono (anak SBY), Sartono Hutomo, Hartanto Edhi Wibowo, Agus Hermanto, Nurcahyo Anggorojati, Lintang Pramesti (anak Agus Hermanto).
Selain itu ada Putri Permatasari (keponakan Agus Hermanto), Dwi Astuti Wulandari (anak Hadi Utomo) Dapil DKI Jakarta I, Mexicana Leo Hartanto (keponakan SBY), Decky Hardijanto (keponakan Hadi Utomo), Indri Sulistiyowati (keponakan Hadi Utomo), Sumardani (suami Indri Sulistiyowati), Agung Budi Santoso (keluarga Hadi Utomo), Sri Hidayati (adik ipar Agung Budi), Putut Wijanarko (suami Sri Hidayati).
Pernyataan Etty yang mewakili FKPD hingga saat ini belum mendapat jawaban dari kubu Susilo Bambang Yudhoyono. Maka seperti yang galib terjadi, "pantun" yang dilontarkan Etty dari FKPD tentu akan berbalas, entah kapan.
Karena memang demikianlah praktik perpolitikan di negeri ini, dan mungkin juga di belahan bumi lainnya. Apalagi jika menyangkut suksesi pergantian ketua umum, tentulah akan membangkitkan syahwat politik para anggota parpol untuk tetap bertahan menduduki pucuk pimpinan partai, maupun mereka yang berhasrat duduk sebagai pimpinan.
Cuma ya itu..., kalau gontok-gontokan jangan sampai merusak "kandang", apalagi sampai mengganggu kepentingan umum. Selain membuat bising, memalukan, juga merugikan orang lain.
@JodhiY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar