Jumat, 19 Desember 2014

Gara-Gara Kisah Cinta Lastri Si Gerwani

Jurnalis Independen: Aktivitas di bekas sebuah pabrik gula di daerah Solo, pada minggu ke tiga bulan November, membuat gusar Forum Pembela Islam (FPI) setempat. Kegusaran itu, terpicu oleh kegiatan Eros Djarot yang sedang menggarap sebuah film drama percintaan. Aktivitas seniman asal Jakarta itu, seolah mengusik dan membuat rasa takut sebagian ummat islam seperti FPI.


Bahkan pembuatan film itu, tidak hanya menciptakan kegusaran. Tetapi hampir-hampir menimbulkan ketegangan. Sehingga aparat harus turun tangan untuk melerai kedua kelompok yang berbeda pandangan itu. Demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka pihak kepolisian setempat, menghentikan kegiatan pengambilan gambar film yang disutradarai oleh pemimpin salah satu partai politik di negeri ini. Sebelum dihentikan oleh pihak keamanan, sempat terjadi dialog antara kru film yang dikomandoi Eros dengan pihak FPI.

Pihak FPI ngotot dan berusaha menghentikan kegiatan itu, bukan tanpa dasar. FPI Solo, menghawatirkan pembuatan film drama percintaan tersebut akan menggugah dan memunculkan kembali kekuatan Partai terlarang Komunis di negeri ini (PKI). Sebab, film yang sedang melakukan pengambilan gambar di lokasi tersebut, adalah sebuah film yang berlatar belakang sebuah kejadian yang berujung dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI).

Eros Djarot menyangga kekhawatiran FPI Solo. Bahwa dirinya tidak akan membangkitkan faham PKI di negeri ini. Sebab menurutnya, dirinya hanya ingin menyajikan sebuah film drama percintaan dengan mengambil sebuah simpul kejadian yang memang bersinggungan dengan sisi kehidupan seorang Gerwani. Kita tahu memang, bahwa Gerwani merupakan sebuah wadah wanita komunis.

Totoh wanita yang akan diangkat menjadi tokoh sentral film percintaan Eros tersebut bernama Lastri. Lastri adalah salah satu tokoh gerakan wanita PKI yang akhirnya mati dibantai di sebuah lokasi pabrik gula oleh warga Solo.

Entah apa yang menjadi latar belakang sang sutradara Eros, hingga mau memfilmkan kisah cinta wanita PKI ini. Apakah film percintaan yang dibalut politik? Atau sebaliknya, film bermuatan politik yang disamarkan dengan kisah cinta! Seharusnya, si seneas tahu, ada resiko tinggi bila dirinya memaksakan kehendak.

Padahal, Eros si sutradara adalah anak seorang kyai. Tentu ia sangat memahami kebersinggungan ummat islam dengan segala sesuatu yang berbau komunis di negeri ini.

Apakah karena ia seorang seniman sehingga dengan mengatasnamakan seni, mengaburkan fakta sejarah pahit negeri ini? Apakah boleh seseorang mengatasnamakan kebudayaan, kebebasan, demokrasi, hak azasi maupun adat istiadat. Kemudian menguak dan menciptakan rasa sakit dan ketidaknyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara? Apakah seniman yang juga politikus ini tidak menyadari, bahwa belakangan ini, generasi anak-anak PKI seolah bangga dengan predikat yang disandang diri dan keluarganya? Bukankah sang seniman film ini juga tahu bahwa ada anak-anak PKI yang telah mewarnai legeslatif kita? Dan bukankah hanya kelompok islam saja yang mengkhawatirkan akan munculnya kembali kekuatan anti tuhan dan berusaha menguasai seluruh rana kehidupan negeri ini?

Disisi lain, ketakutan berlebihan FPI khususnya, islam pada umumnya di negeri ini, pada kembalinya embrio PKI hanya mengada-ada? Tetapi bila melihat tak kunjung muncul “soliditas” kekuatan islam yang mayortitas di negeri ini, seolah menyiratkan kepada kita bahwa islam dianggap tak pernah ada!

Padahal, mungkin FPI hanya ingin mengatakan, jangan beri jalan pada kelompok masyarakat yang anti tuhan memimpin negeri ini. Jangan beri mereka alasan untuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini. Atau mungkin, FPI khususnya, ummat islam umumnya, tidak menginginkan sejengkal tanah sekalipun, lepas dari genggangaman Republik ini? Yang mungkin bisa terjadi atas hendak disuguhkannya film Lastri tersebut.



Dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Ridwan Saidi yang sejarahwan, seolah menyiratkan kepada sang sineas Eros Djarot. Bahwa sang sineas hendaknya menyadari bahwa kekuatan komunis masih menjadi ancaman serius bagi negeri ini. Dengan di “pendetani” oleh RRC, komunis layak di waspadai kemunculannya kembali di negeri ini. Dan menciptakan neraka bagi rakyat yang berketuhanan Yang Maha Esa ini.

Janganlah merasa aktivitas seni dan sejenisnya dibatasi di negeri ini. Apalagi oleh FPI yang terkesan garang, suka melarang, bertindak terlalu dini. Bahkan terkesan, melebihi aparat. Semuanya dilarang oleh FPI!

Lebih baik mengalah dan membuat film lain saja. Sebagai saran, Batalkan percintaan Lastri. Untuk apa mengatasnamakan seni dan segala macamnya. Bila nantinya hanya berakibat tumpahnya darah saudara sebangsa.

Jangan meminta sangat banyak kepada islam, tetapi berbuatlah sedikit untuk islam. Itu akan lebih adil dan bijaksana. Sebab negeri ini telah terlalu banyak meminta kepada islam. Sebaliknya, sedikit sekali memberi kepada islam.

Ingatlah! Siapa yang menolak UU Pornografi dengan berbagai dalih? Siapakah yang hendak memisahkan diri dari NKRI? Siapakah yang berjuang untuk negeri hingga hari ini? Siapa yang membawa lari kekayaan negeri ini? Siapakah yang selalu hidup di bui bahkan mati demi negeri ini? Dan siapakah yang selalu memprovokasi? Pak Eros, jangan tumpahkan darah untuk kesekian kali gara-gara kisah cinta Lastri Si Gerwani……..!!!!???? (suarabaru) 23nov2008

Tidak ada komentar: