Senin, 10 Desember 2012

Politik Pembangunan Jokowi


Jurnalis Independen: Apa yang dapat dipelajari dari pendekatan Jokowi yang dianggap berhasil dalam membuat Kota Solo yang lebih menyejahterakan? Keberhasilan Jokowi meliputi banyak bidang: kesehatan gratis bagi warga miskin, penataan pedagang kaki lima dan ruang kota, merubah status Solo menjadi kota yang positif list bagi investor,  membangun kota budaya, mengontrol jaringan minimarket yang penguasannya berada di tingkat lain, dan perbaikan pelayanan publik. Jokowi merubah kota yang tadinya memiliki problem yang umum ditemui di kota-kota di Indonesia.
Selama ini banyak orang menyorot kelebihan Jokowi dalam melakukan pendekatan terhadap kelompok masyarakat. Ia dianggap jujur, sederhana, dan membumi. Sebagian orang juga melihat strategi Jokowi yang tidak mau berhutang budi pada pihak manapun untuk dapat mengantarkannya pada posisi wali kota.

Namun yang dilakukan Jokowi lebih dari itu. Ia merupakan contoh dari suatu pendekatan politik yang jarang dibahas di Indonesia. Politik ini saya namakan politik teknokratis partisipatoris.

Dalam pengelolaan negara, pendekatan teknokratis murni adalah bahwa tujuan dan cara dalam kebijakan negara didasarkan pada ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, beberapa negara di Eropa mengambil kebijakan pembangunan yang mempertahankan kelestarian alam berdasarkan perhitungan ilmuwan bidang energi dan lingkungan. Tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ini  juga dilakukan berdasarkan perhitungan ilmu pengetahuan.

Pendekatan teknokratis menepis pengaruh sebisanya pertimbangan ekonomi untung rugi, politik (kekuasaan), dan sosial (identitas, solidaritas sosial). Namun tentu saja secara konseptual pertimbangan sosialpun bisa mendapat justifikasi keilmuan. Persoalannya adalah kredibilitas dari ilmu sosial sendiri dimana sering dianggap tidak bisa sepenuhnya sistematik logis untuk banyak variabel. Selain itu juga sukarnya menyatukan berbagai bidang ilmu, sehingga terbuka ruang persaingan pengaruh antar bidang.

Jokowi tidak sepenuhnya mengambil politik teknokratis, yang kemungkinan absurd untuk dilakukan dalam konteks Indonesia. Keberpihakan pada orang miskin dan marjinal merupakan keputusan berdasarkan pertimbangan moral. Namun Jokowi banyak mengambil pendekatan teknokratis dalam arti melakukan apa yang secara sistem harus dilakukan. Kebijakan Jokowi yang penting didasarkan pada pendataan yang baik, perhitungan sumber daya yang hati-hati, dan perhitungan daya jangkau. Beberapa proyek disayembarakan untuk tidak hanya untuk menutup peluang KKN, tapi juga untuk mendapatkan skema yang terbaik.

Kekuatan Jokowi juga terletak pada pendekatannya yang partisipatif dan inklusif. Banyak pemimpin lokal yang mengalami ketidakberhasilan pembangunan meskipun menggunakan pendekatan partisipatif. Bisa saja persoalannya terletak pada ketidaktepatan mekanisme partisipasi itu sendiri. Namun persoalan yang lebih mendasar adalah pendekatan partisipatif tidak mudah diletakan pada struktur politik administratif otonomi daerah di Indonesia. Sebagai contoh adalah sangat terbatasnya keberhasilan forum partisipasi Musrenbang maupun forum warga lainnya, antara lain karena persoalan pengalokasian sumber daya yang sudah terpola.

Selain itu pendekatan partisipatoris tidak mudah justru karena kultur kewarganegaraan masyarakat sipil sendiri. Partisipasi dalam konteks ini bisa memakan waktu lama dan ada risiko politisasi oleh lawan politik atau petualang politik.

Politik partisipasi Jokowi yang berhasil justru karena menggabungkan pendekatan partisipasi dengan pendekatan teknokratis. Suatu program distudi dulu untuk mendapat fakta obyektif. Dengan adanya data obyektif, tuntutan oleh anggota masyarakat tidak menjadi liar dan melebar. Negosiasi dilakukan berdasarkan perhitungan kapasitas pemerintah daerah dalam memenuhi tuntutan. Jika sumber daya lokal tidak cukup, dicari sumber daya dari pusat atau dengan melakukan penghematan di bidang-bidang lain.

Artinya, pendekatan teknokratis juga sering harus ditopang oleh kemampuan melakukan aksi tertentu yang akan menggoncang pola alokasi yang selama ini ada. Banyak kepala daerah yang tidak sanggup melakukan hal ini karena keterikatan hutang budinya dan afiliasinya pada kelompok-kelompok tertentu.

Bagaimana trajektori penggunaan pendekatan teknokratis partisipatoris untuk Jakarta yang jauh lebih kompleks dan penuh kontestasi? Tidak mungkin Jokowi melakukan hal yang sama seperti pada saat berkomunikasi dengan para pedagang kaki lima Solo yang akan direlokasi. Kondisi Jakarta, dalam istilah seorang jurnalis harian berbahasa Inggris, “ungovernable”  (amat sukar diatur bagi siapapun).

Akan merugikan jika Jokowi memberi signal yang salah akan dapat menyelesaikan begitu banyak hal. Lebih baik fokus pada kebijakan yang sudah ada mekanismenya, seperti perbaikan pelayanan publik dan fasilitas umum. Kebijakan kesejahteraan untuk orang miskin juga mungkin dilakukan mengingat selama ini pendapatan kota banyak mengalir ke tempat yang tidak seharusnya.

Pendekatan partisipatif yang digerakan oleh pemerintah seperti yang Jokowi lakukan di Solo tidak banyak relevansinya. Pendekatan partisipatif hanya bisa berjalan jika ada keaktifan dari masyarakat sipil sendiri yang melihat manfaat dari kebijakan pemerintah kota. Untuk itu pemerintah kota harus dapat mengajak dan memanfaatkan kelompok-kelompok yang ada, misalnya asosiasi, dan perkumpulan rukun tetangga. Cara seperti ini diperlukan dalam masalah pengaturan tempat umum seperti pasar dan masalah keamanan.

Mungkin sekali masalah banjir tidak akan banyak terselesaikan karena masalah struktural, yaitu daya dukung kota dan fasilitasnya. Selain itu masalah banjir juga menyangkut masalah kultural dan sosial penduduk Jakarta. Banyak wilayah ditempati oleh penduduk yang tidak mempunyai keterikatan sosial, sehingga masa bodoh (ignorant) dengan kepentingan umum.

Yang terlupakan setelah Jakarta ‘mendapat’ Jokowi dan Ahok adalah kompetensi organisasi masyarakat sipilnya dalam merancang skema kemaslahatan umum.  Pemerintah kota dapat mendorong tindakan kolektif dengan perbaikan fasilitasnya (misalnya rantai pembuangan sampah kota) dan menawarkan desain-desain keterlibatan warga. Dalam hal ini kemampuan teknokratis pemerintah kota sangat diperlukan. (Penulis berterima kasih pada peneliti Wahidah R. Bulan yang data lapangannya banyak digunakan untuk analisa pada tulisan ini)Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog organisasi dan mengajar di Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar: