Jurnalis Independen: Senin, 10 Desember 2012 lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, memberikan sebuah pengumuman yang memasukkan kelompok Jabhat Al-Nushra sebagai organisasi teroris.
Dia menyatakan bahwa kelompok tersebut bertanggung jawab atas 600 serangan di beberapa kota satu tahun belakangan ini. Menurutnya, “Al-Nusra berusaha memainkan peran sebagai kelompok oposisi resmi, padahal kenyataannya mereka adalah bagian dari usaha Al-Qaeda Irak untuk membajak perjuangan rakyat Suriah demi kepentingan jahat mereka sendiri.”
Pernyataan ini membuat bantuan yang diberikan seluruh warga AS untuk para pejuang Jabhat Al-Nushra, baik itu uang, pelatihan, maupun senjata menjadi illegal.
Menurut salah seorang aktivis dari The Syrian Observatory for Human Rights, kelompok oposisi Suriah yang berbasis di London, AS memutuskan untuk memasukkan Jabhat Al-Nushra dalam daftar teroris karena pendekatan mereka yang berbeda terhadap Suriah pasca Assad. Selama ini Jabhat Al-Nushra menegaskan bahwa mereka ingin menegakkan syariat Islam di Suriah, dan inilah yang bagi AS disebut sebagai “pendekatan berbeda” yang membuat mereka layak masuk daftar teroris versi AS.
Mem-blacklist Jabhat Al-Nushra bisa menjadi bumerang bagi AS. Kebijakan tersebut akan menempatkan mereka pada posisi melawan para pejuang terbaik Suriah. Meski sebagian kelompok pemberontak khawatir dengan semakin menguatnya kekuatan Jabhat Al-Nushra, namun sebagian besar kelompok yang lain bekerja dekat dengan mereka dan bahkan mengagumi mereka.
Para pimpinan FSA, kelompok pejuang terbesar di Suriah, menyatakan kejengkelannya pada AS, yang selama ini menolak untuk memberikan bantuan senjata kepada mereka dan kini justru mencap kelompok yang selama ini membantu mereka, berjuang dalam duka dan tawa bersama mereka, sebagai organisasi teroris.
“Jabhat Al-Nushra membela rakyat Suriah, sedangkan AS tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya diam dan menonton saja. Mereka melihat darah dan berbagai kejahatan, namun hanya melihatnya dengan penuh kesombongan dan bualan. Dan kemudian dengan seenaknya mereka mengatakan bahwa pejuang Jabhat Al-Nushra adalah teroris,” kata Mush’ab Abu Qatada, juru bicara kelompok pemberontak. “
Dia menambahkan, “Amerika hanya ingin dalih untuk melakukan intervensi dalam urusan Suriah pasca revolusi.”
Inilah yang dilakukan AS. Sekian lama memberikan sikap ngambang dan hanya menjadi penonton, tiba-tiba mereka meniup peluit. Di saat mereka melihat bahwa usia rezim Assad tidak lama lagi, secara oportunis mereka mulai mengarahkan “keberpihakan” pada kelompok oposisi. Namun tak mau kecolongan, mereka berusaha memfilter kelompok oposisi dari kelompok jihad. Naif, seorang pengamat yang tak pernah terjun ke lapangan dan tak acuh saat kelompok pemberontak berteriak meminta bantuan senjata, tiba-tiba berusaha mengintervensi dan mengatur permainan.
AS selama ini menolak untuk memberikan bantuan senjata kepada kelompok pejuang Suriah dengan alasan khawatir bahwa senjata-senjata tersebut akan jatuh ke tangan kelompok jihadis anti-Barat, sebagaimana yang terjadi pada senjata yang disupply oleh Qatar kepada pemberontak Libya. Kebijakan yang disisi lain menjadi bumerang dan memberikan peluang kepada kelompok Islam untuk memanfaatkannya. Mereka dengan sepenuh hati memberikan bantuan kepada para pejuang Suriah, melatih mereka, dan berjuang bersama mereka. Satu hal yang selama ini hanya sekadar lip service dan bualan dari AS. Dan inilah yang membuat simpati rakyat Suriah kepada Jabhat Al-Nushra semakin hari semakin bertambah.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di beberapa kota di Suriah membela perjuangan Jabhat Al-Nushra dengan meneriakkan slogan, “Tidak pada intervensi Amerika, karena kami semua adalah Jabhat Al-Nushra.”
Bahkan kelompok pejuang yang lain, yaitu Pasukan Sahabat di bumi Syam, memberikan selamat dengan penuh penghormatan kepada kelompok pejuang Jabhat Al-Nushra atas “penghargaan” label teroris yang diberikan oleh AS. Kritikan yang sama juga disampaikan oleh aktivis anti pemerintah yang sebenarnya khawatir dengan kelompok jihad, dengan menganggap kebijakan tersebut tidak efektif.
Ironisnya, kebijakan AS ini seolah mengamini apa yang dilakukan Assad. Bashar Assad selama ini menyebut para pemberontak sebagai teroris. Dewan Nasional Suriah, Organisasi Oposisi Utama Suriah di luar negeri, dengan tegas menyatakan “menolak segala tuduhan ekstrimis dan teroris pada seluruh kelompok yang berjuang melawan rezim Suriah.”
Tuduhan tersebut, menurut mereka, tak lebih dari usaha untuk memicu perpecahan di kalangan kelompok oposisi, dan antara rakyat Suriah dan kelompok pejuang.
“Terorisme adalah karakteristik yang hanya layak disematkan kepada rezim Assad,” kata mereka.
Komandan Brigade Shuquur Al-Syam, mengkritik kebijakan yang diambil AS tersebut. Ia mengatakan bahwa seharusnya komunitas internasional menyematkan dulu gelar itu kepada Bashar Assad, tentaranya, dan kelompok kriminalnya atas apa yang selama mereka lakukan kepada rakyat kami.”
Kelompok ini dengan tegas menolak untuk mengikuti segala tuduhan Barat atas seluruh kelompok perjuangan di Suriah dan menegaskan bahwa mereka akan terus mendukung sikap perjuangan Jabhat Al-Nushra dan kelompok lain dalam berjuang melawan rezim Assad.
Apakah layak seorang yang telah membantai anak-anak dan wanita, memaksa rakyatnya untuk menuhankannya, membakar masjid dan tempat tinggal mereka, menuduh orang yang telah membela kaum tertindas tersebut sebagai “gerombolan teroris”? Apakah layak seorang perampok menuduh pemilik rumah yang bertaruh nyawa bergelut dengan si perampok sebagai seorang teroris?
Cukup dengan jawaban dari salah satu komandan kelompok oposisi gabungan yang baru dibentuk, Abdul Qadir al-‘Uqaidi, “Mereka bertempur bersama FSA. Kami hanya melihat hal-hal baik dari mereka, dan mereka adalah pejuang yang baik.”
Rakyat Suriah merasa bahwa perjuangan kelompok Jabhat Al-Nushra telah banyak membantu mereka dalam perjuangan melawan kezaliman Assad. Peran dan citra mereka semakin hari semakin meningkat seiring dengan dedikasi para anggotanya dan kontribusi mereka untuk mengambil peran penting dalam situasi perang yang paling ganas sekalipun. Sedangkan kontribusi AS pada rakyat Suriah, selama ini tidak lebih dari sekadar pengamat dan komentator yang hanya bisa mengadu domba dan menumpahkan darah.(emi/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar