Senin, 17 Desember 2012

Kasdi: Orang Kampung Kelas Sendal Jepit Tak Pantas Cari Keadilan di MA!


Jurnalis Independen: Kasdi, 52 tahun, tinggal di Demak, Jawa Tengah. Mata pencahariannya cuma menangkap ikan sepat atau betik di rawa. "Dari hasil menangkap ikan itu, saya paling besar dapat Rp50 ribu," ujar Kasdi di YLBHI, Jakarta, Kamis 13 November 2012.



Meski begitu, tekadnya mencari keadilan tak sekecil ukuran ikan betik yang biasa dia tangkap.
Anak sulung Kasdi, Sarmidi (24 tahun), saat ini dibui di LP Kedung Pane, Semarang. Kasdi hakulyakin anaknya itu sebetulnya cuma korban rekayasa seorang petugas polisi. Dia dijebak lalu dituduh jadi pengedar narkoba. Sarmidi ditangkap 12 Desember 2011 dan oleh hakim Pengadilan Negeri Semarang divonis lima tahun penjara.

Di mata Kasdi hukuman ini sangat tidak adil, karena menurut dia Sarmidi tak pernah melakukan kejahatan itu. Karena itulah, Kamis, 13 Desember lalu, setelah upayanya di Semarang kandas, dia nekat mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Malangnya, di lembaga hukum tertinggi ini, dia diusir petugas satuan keamanan. Alasannya, karena dia datang cuma pakai sandal jepit.

Berikut petikan wawancara nelayan lugu tapi gigih ini.

Bagaimana Sarmidi bisa terlibat kasus narkoba?
Awalnya, anak saya yang kerja di perusahaan pemotongan kayu itu kenalan sama Triyono. Mereka berkenalan di batas kota saat acara Tahun Baru Hijriah.
Di daerah saya itu (Demak) ada budaya kelurin, tumpengan kalau Tahun Baru Hijriah. Orang-orang dari kampung pada datang. Disitu lah Sarmidi kenalan sama Triyono alias Eblek.

Beberapa minggu kemudian, Sarmidi dikenalkan Triyono ke temannya yang lain yaitu AAN alias Ompong alias Kentos. Dia diajak bertemu di sebuah SPBU di Semarang.
Ternyata, AAN itu salah satu anggota polisi yang sering keluar masuk tahanan karena kasus narkoba. Waktu itu Sarmidi belum tahu bahwa AAN adalah polisi.

Setelah Sarmidi dan AAN ngobrol beberapa lama, Triyono meninggalkan mereka. Kemudian AAN menyuruh Sarmidi membeli ganja. Anak saya tidak mau. Sarmidi terus dipaksa sambil diberi uang Rp120 ribu. Akhirnya, ia mau juga dan mereka jalan ke suatu tempat untuk membeli ganja naik motor berboncengan.

Setelah ganja itu dibeli akhirnya mereka kembali ke tempat semula. Sampai di SPBU semula, Sarmidi memberikan ganja yang telah mereka beli ke AAN. Tapi, AAN tidak mau menerimanya, malah menyuruh menyimpannya berikut uang kembaliannya.

Karena takut dan melihat gelagat yang tidak baik, Sarmidi membuang ganja tersebut. Tak lama setelah ganja dia buang, tiba-tiba datang seorang polisi bernama AP. Sarmidi lalu dibawa ke kantor polisi dan langsung ditahan.

Selama penahanan dan persidangan Sarmidi, berapa uang yang sudah Anda habiskan?
Waktu itu saya bolak-balik ke kantor polisi dan pengadilan selama berbulan-bulan. Untuk ongkos dan makan saat menjalani persidangan saya menjual rumah seharga Rp9 juta ke tetangga saya. Itu juga karena tetangga saya kasihan kepada saya dan berniat membantu. Malahan, rumahnya masih saya tempati sampai sekarang.

Tapi, setelah anak saya divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang, saya tidak rela. Saya lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Saya menyewa advokat, namanya Arwani. Saya dibuatkan Memori Kasasi oleh Arwani. Saya bayar dia Rp100 ribu. Lalu, Memori Kasasi itu dikasih ke Pengadilan Tinggi tapi tidak ada tanggapan juga.

Saya merasa sangat kesal sekali, lalu saya dan keluarga mendatangi DPRD Semarang. Di sana saya ceritanya demo. Di DPRD saya bertemu wartawan, lalu saya diberitakan.

Setelah beberapa hari saya melakukan aksi itu dan diberitakan wartawan, tiba-tiba datang seorang advokat dari Universitas Gajah Mada. Namanya Joko Suwito. Dia berniat membantu saya, tanpa pamrih. Dia datang ke rumah saya dan mengobrol. Setelah itu saya dibuatkan Memori Kasasi oleh Pak Joko Suwito dan katanya mau dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Nah, maka dari itu saya datang ke Jakarta. Saya mau tanya ke Mahkamah Agung secara langsung apakah Memori Kasasi kasus anak saya ini sudah sampai belum? Saya mau minta keadilan, eh... baru sampai gerbang saja saya sudah diusir. Kata satpamnya, pakaian saya tidak layak dan cuma pakai sandal jepit.

Saat dilarang masuk Mahkamah Agung, bagaimana reaksi Anda?
Waktu ditolak di pintu MA, saya sangat drop. Saya bingung harus ke mana lagi... Saya sangat kecewa... Masa karena masalah pakaian dan sandal jepit saja saya tidak bisa menuntut keadilan? Saya tidak punya baju bagus. Baju saya sehari-hari ya ini. Sandal saya sehari-hari ya ini. Setiap hari saya bepakaian seperti ini. Saya orang kampung, saya tidak punya baju bagus...

Pekerjaan Anda sehari-hari menangkap ikan di rawa. Bisa bawa uang berapa sehari?
Hasil menangkap ikan itu paling besar saya dapat Rp50 ribu sehari. Kadang tidak dapat ikan sama sekali. Kalau pas dapat, rata-rata 5-10 kg. Tapi, seumur hidup saya, selama 10 tahun mencari ikan, pernah dapat 40 kg. Itu hanya sekali-sekalinya seumur hidup saya.

Ikan hasil tangkapan biasanya saya jual ke pengepul di pasar. Ikan yang saya tangkap banyak jenisnya, ada ikan betik, sepat, pokoknya ikan yang ada di rawa. Ikan betik hidup biasanya dihargai Rp7.000 per kilo. Kalau yang mati cuma Rp1.000. Saya harus beli es batu, biar ikannya tidak busuk.

Sebelum jadi pencari ikan, apa pekerjaan Anda?
Saya mulai bekerja mencari ikan sekitar tahun 2002. Dulunya saya bekerja di proyek bangunan. Tapi setelah anak saya yang kedua ini lahir (Novi Arian, 10 tahun), saya tidak berani meninggalkan keluarga saya jauh-jauh. Anak saya ini kalau suhu badannya panas suka kejang-kejang. Makanya saya khawatir dan alih profesi menangkap ikan di rawa saja. Biar penghasilannya tidak tetap, tapi saya tetap optimis...

Kalau pas tidak dapat ikan, bagaimana Anda menghidupi keluarga?
Kalau tidak dapat ikan, saya utang dulu ke warung. Nanti kalau saya dapat ikan banyak, saya bayar utangnya. Kalau ikan tidak laku, paling dimakan sendiri. Tapi biasanya pasti laku karena sudah ada pengepulnya di pasar

Anda pernah sekolah?
Saya tidak sekolah, Mas. Namanya juga orang kampung... Istri saya juga sama, tidak pernah sekolah. Kalau anak saya yang pertama, Sarmidi, sekolah sampai SD saja. Setelah lulus SD, dia bantu-bantu saya bekerja. Kalau anak saya yang kedua, Novi, sekarang baru kelas enam SD.

Anda bisa membaca dan menulis?
Kalau menulis saya tidak bisa sama sekali. Kalau baca saya bisa sedikit-sedikit, tapi tidak lancar. Namanya juga tidak pernah sekolah. Saya bisa baca diajari anak saya.

Buat apa sampai jauh-jauh ke Jakarta?
Niat saya ke Jakarta ini untuk meminta keadilan. Anak saya Sarmidi dijebak. Dia dituduh jadi pengedar narkoba. Sekarang dia divonis lima tahun penjara.

Ke Jakarta naik kereta?
Kami menumpang kereta ekonomi Tamang Jaya dari Semarang, turun di Stasiun Senen. Semula saya tidak tahu bagaimana caranya ke Mahkamah Agung. Mau naik apa, saya juga tidak tahu. Jadi, setelah sampai Stasiun Senen saya jalan kaki ke Mahkamah Agung. Dari Mahkamah Agung saya pergi ke kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), menumpang bajaj, dibayari wartawan.

Ongkos kereta dari mana?
Tiket kereta api ekonomi harganya Rp33.500 per orang. Jadi, untuk tiga orang Rp100 ribu lebih sekali jalan. Kebetulan, saya sudah membeli tiket untuk pulang juga. Kalau beli di Jakarta takut mahal dan takut tidak kebagian tiket.

Buat ongkos ke Jakarta, saya menjual delapan ekor ayam betina, dapat Rp200 ribu. Ayam-ayam itu dijual ke tetangga saya. Saya juga terpaksa menjual sepeda motor Yamaha saya, keluaran tahun 1981, dan sepeda onthel. Saya jual ke tukang besi rongsokan seharga Rp380 ribu.

Sebelumnya pernah ke Jakarta?
Memang bukan pertama kali ini saya ke Jakarta. Dulu sekitar tahun 1978, waktu masih bujangan, saya sempat kerja juga di Jakarta jadi buruh proyek. Saya dulu kerja di proyek pembangunan gedung Walikota, kalau tidak salah di Jalan S. Parman. Seingat saya, nama daerahnya Grogol. Tapi saya sudah lupa di mana persisnya tempatnya.

Terus yang kedua sebelum bulan puasa kemarin, sekitar bulan Juni 2012. Saya seminggu di Jakarta. Saya menginap di kantor YLBHI juga. (vi/kd)

Tidak ada komentar: