Senin, 03 Desember 2012

Mengenang Eksentriktisme Dakwah Gus Miek Diantara Berjuta Waliyullah


Jurnalis Independen: Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.


Gus Miek dianggap oleh banyak kalangan, memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan berbagai pamrih.

Diantara kalangan awam yang datang kepada beliau ada yang ingin mendapatkan banyak rezeki, naik pangkat, menyembuhkan penyakit yang dideritanya, sampai hajat untuk memperoleh nama pada jabang bayi yang hendak dilahirkannya.

Semuanya dipercaya oleh para pengagumnya bisa terkabul dan daya guna positif jika dibantu oleh Gus Miek. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah eskatologi pesantren, dinamakan khariqul `adah. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu mukjizat jika bukan sebuah keanehan.

Di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Miek terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang beragama atau berkepercayaan.

Sebagai contoh, Gus Miek bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang yang muslim.

Kenyentrikan lain kiai yang memiliki citra rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu baik dan buruk di mata kebanyakan manusia. Oleh karenanya, bagi Gus Miek, tidak segan melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam di diskotek, klub malam, bar, maupun coffee shop.

Ibarat kata, di mata Gus Miek, seorang bajingan dan seorang suci adalah sama-sama manusianya.  Karenanya, setiap manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri yang sama pula.

“Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek memiliki tingkat supranatural yang luar biasa,” kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.

NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti “di luar kebiasaan”. K.H. Abdurrahman Wahid, bekas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memakai istilah khariqul `adah untuk dua pengertian, yaitu secara substantif dan secara permukaan (kulit).

Gus Dur, begitu panggilan akrab kiai yang pernah menduduki kursi kepresidenan itu, pernah memakai istilah tersebut untuk menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Miek (Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso, Kediri.

Kiai-kiai yang nyentrik dengan dua pengertian itu memang bertebaran bukan hanya di NU bahkan dimungkinkan di negeri ini yang tidak ter “publikasi”. Kalangan keagamaan seperti NU, cukup memaklumi keberadaan golongan kiai seperti Gus Mik. Tapi, tak pelak, cerita yang harum beredar di masyarakat adalah kenyentrikan yang bersifat permukaan. Bisa jadi karena hal permukaan itu yang memang mudah dilihat dan karenanya menjadi cerita eksotis bagi orang kebanyakan.

Cerita-cerita supranatural itu banyak beredar dari mulut ke mulut, sementara kearifan para kiai nyentrik kurang memperoleh catatan yang memadai. Bisa jadi karena tradisi penulisan sejarah kurang memberikan pendekatan dari sisi substansi. Atau, bisa jadi karena para kiai nyentrik itu cenderung hidup di luar pagar resmi organisasi.
Para kiai yang mengundang pesona eksotisme itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad Kholil (1835-1925), pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di Desa Kademangan, Bangkalan, misalnya. Kiai yang dianggap moyang para kiai supanatural itu memiliki kisah mistis-simbolis berkaitan dengan sejarah pembentukan NU.

Guru para kiai besar di Jawa itulah yang menjadi penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat pada tahun 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada K.H. Hasyim Asy’ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai pendiri NU.

Kenyentrikan Kiai Kholil tampak sejak muda. Ketika belajar di Pesantren Langitan. Tuban, Kholil pernah membuat terpana Kiai Muhammad Noer, gurunya.

Suatu hari Kholil ikut salat berjamaah yang diimami Kiai Noer. Di tengah salat, Kholil tertawa terbahak-bahak, suatu perbuatan yang dianggap membatalkan salat. Usai salat, Kiai Noer menanyakan alasan Kholil tertawa. “Maaf, kiai. Ketika salat tadi, saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul. Karena itu saya tertawa,” kata Kholil seperti ditulis dalam buku Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan terbitan Pustaka Ciganjur, 1999. Santri muda itu tampaknya bisa membaca pikiran orang. Seperti yang diakui Kiai Noer, memang ketika salat, beliau merasa sangat lapar dan terbayang terus nasi di benaknya.

K.H. Abdul Wahab Abdullah (1888-1971), murid Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, juga ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu mempunyai andil dalam pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan spiritual. Konon, sebelum penentuan pilihan dari sejumlah nama, Kiai Wahab melakukan istikharah, salat untuk menentukan pilihan. Dalam suatu penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu Sunan Ampel, seorang wali Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam bergagang panjang. Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab, anaknya, dalam penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk menamakan organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.

Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki macan oleh Kiai Kholil, Bangkalan, itu dalam sejarahnya selain jago berdebat politik juga dikenal sebagai pendekar silat. Ada cerita, suatu waktu di Desa Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua jago silat di Jawa Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya, Djojo Rebo, dikenal kebal. Ketika hampir semua pendekar takluk, Djojo Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab hanya sebagai penonton. Padahal, Gus Dul, begitu panggilan akrab Kiai Wahab, dikenal jago silat.

Djojo Rebo pun menantangnya. “Gus Dul, ayo turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah. Ayo kita bertarung,” kata Djojo Rebo. Kiai Wahab, yang baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama, itu tak bisa menolak tantangan. Akhirnya Kiai Wahab turun juga. Tapi jurusnya unik: ia hanya berdiri mematung dengan sorot mata memandang ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh Djojo Rebo terempas dan melayang bagai kapas hingga jatuh ke tanah.

Kelebihan Gus Mik terasa lebih hidup karena masih banyak kesaksian segar yang bisa dikumpulkan, termasuk dari anak-anaknya. Gus Sabut Pranoto Projo menyimpan kisah tentang kemampuan pecah diri (bi-lokasi) Gus Mik. Ketika Kiai Romly, pendiri Pesantren Darul Ulum, Jombang, dan seorang mursyid tarekat meninggal dunia, keluarga Kiai Akhmad Jazuli, ayah Gus Mik, datang melayat. Menjelang berangkat, Gus Mik kecil menolak ajakan untuk melayat ke Jombang dan memilih tinggal di rumah. Tapi, setelah keluarga itu tiba di rumah duka, Gus Mik telah berada di tempat yang sama. Lebih mengherankan lagi, keluarga Kiai Romly menyaksikan bahwa Gus Mik telah menemani almarhum sejak seminggu sebelum Kiai Romly wafat.


Kisah-kisah supranatural bertebaran di kalangan NU. Salah satu faktornya karena sebagian kiai nahdliyin menjalankan tradisi sufisme. Di lingkungan NU, seperti kata doktor sejarah dan kebudayan Andree Fellard dalam buku NU vis-à-vis Negara, para kiai yang tergabung dalam tarekat memiliki pengaruh yang paling kokoh terhadap masyarakat luas di pesantren ataupun di luar wilayah desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang dari kepercayaan masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai: sebagai penyembuh, pengusir makhluk halus, dan sebagai penasihat rumah tangga. Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas ulama dan ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.

Kiai dengan kelebihan supranatural masih hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31 tahun, adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa kini. Pamor lulusan Universitas Ainus Syams, Saudi Arabia, itu amat kondang di Situbondo. Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As’ad Syamsul `Arifin, ayahanda dan pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, tetapi dia sendiri memiliki aura kewibawaan. Berbadan ceking, selalu bersarung dengan surban putih, pengasuh Pesantren Walisongo, Situbondo, itu berhasil “menaklukkan” ribuan anak jalanan (preman) pada awal 1990-an.

K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap orang (lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib Luthfi, seorang ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal. Menyikapi kenyentrikan kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik: mengagumi yang substansi daripada yang permukaan.

KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940, beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Siapa Gus Miek?
KH. Hamim Tohari Jazuli atau Gus Miek adalah seorang hafizh (hapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat pengaduan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan atau membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan. Beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh. Ladang da’wah Gus Miek dilakukan di tempat kerumunan orang melakukan maksiat. Contohnya seperti di diskotik maupun club malam. Gus Miek juga seorang kiai yang tidak memiliki pondok pesantren dan tidak mengajarkan kitab kuning.

Hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah Suluk Jalan Terabas atau dalam bahasa indonesianya Pemikiran Jalan Pintas.

Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras. Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulutnya. Ternyata salah satu dari peminum itu mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.

”Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama?” Lalu Gus Miek Menjawab, “aku tidak meminumnya …..!! Aku hanya membuang minuman itu kelaut”, tegas Gus Miek. Hal itu tentu saja membuat mereka bertanya-tanya. Padahal sudah jelas tadi, Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Melihat raut wajah para peminum penuh tanda tanya, Gus Miek angkat bicara, “sampeyan semua nggak percaya kalau saya tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut?”

Lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat, kaget. Tak dinyana, ternyata   didalam Mulut Gus Miek terlihat oleh mereka lautan yang sedang bergelombang. Dan saat itu juga, mereka diberi Hidayah oleh Allah SWT. Akhirnya mereka bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewalian yang diberikan Allah kepada Gus Miek.

Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam. Hal itu dilakukan lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akhirat kelak.

Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya di NIAC Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun warga keturunan. Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan. Sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.

Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal. Beberapa saat kemudian, Gus Miek menuju waitres (pelayan minuman). Beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya. Perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus Miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan itu. Perempuan itu mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Pertanyaannya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun, dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja. Jadi jalan untuk syahwat tidak ada”, jawab Gus Miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid adalah tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tam. ”Jika aku bertemu orang dijalan atau tamu, aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menangisi nasib mereka“, jawab Gus Miek.

Sistem Dakwah yang dilakukan Gus Miek tidak bisa di contoh begitu saja, sebab resikonya sangat besar dan berat bagi mereka yang Alim sekalipun. Orang alim sekaliber KH.Abdul Hamid dari Pasuruan, mengaku tidak sanggup melakukan da’wah seperti yang dilakukan oleh Gus Miek, padahal KH.Abdul Hamid juga seorang waliyullah.

Gus Miek Bertemu KH. Mas’ud
Saat berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali Allah. Gus Ud juga sering dikunjungi oleh sejumlah ulama untuk meminta doa beliau. Di rumah Gus Ud, untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Ketika itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq pada Gus Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Anehnya, kali ini, Gus Ud menolak membacakannya. Gus Ud justru menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah untuk membacakan do’a bagi Kiai Ahmad Siddiq. Akhirnya, Gus Miek membacakan Al Fatehah dengan sedikit keterpaksaan.

KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.

“Mbah, saya sowan karena ingin tahu siapa sebenarnya Gus Miek itu? Kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar”, jawab Gus Ud.

Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.

Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekretaris daerah Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah dengan ikutnya Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).

Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan. Tiba-tiba, dari sebuah kampung terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.

“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak berapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santrinya.

“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek. Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud.

Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang mabok, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus Miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alami. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya.

“Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mempersilahkan tamunya dengan penuh hormat. Jika dilihat menurut derajat kepangkatan, bisa jadi bahwa tamunya lebih tinggi pangkat dan derajatnya”, kata Sunyoto kepada Mulyadi.

Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Binatang Buaspun Takluk
Ketika Gus Miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan lupa jika bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya mendapati Gus Miek kecil sedang duduk berhadap-hadapan dengan sang harimau yang sedang menjilati kuku-kukunya seolah mengancam siapa saja yang hendak mendekati dan menyakiti calon Kyai Nyentrik ini.

Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing. Saat dirinya menonton orang sedang memancing, saat itu banjir besar datang, Gus Miek tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. Hingga beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya.

Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong. Hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek terlihat timbul kembali atau mungkin tersangkut dahan pohon. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga dilihatnya, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.

Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya, memasukkan ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. Beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya sang pengasuh berani datang kembali ke pondok untuk melanjutkan menimbah ilmu.

Kisah lain, suatu malam di Ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai yang terletak di sebelah timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tetapi beliau membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air Sungai Brantas telah meluap.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri sambil memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek ternyata terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Gus Miek Kini Telah Pergi
Kini Gus Miek telah tinggal nama dan mungkin kisah keyentrikannya dengan berbagai hikmah. Tentu saja bagi mereka yang mau mengambil hikmah dibalik “suri tauladan” semasa hidupnya.Tepat, Gus Miek telah meninggalkan kita pada tanggal 5 juni tahun 1993. Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kiai nyeleneh dan unik ini akhirnya meninggalkan dunia, bertemu dengan yang Maha dirindukannya serta hidup abadi di sisi Nya. Adakah kita telah mengambil hikmah, ibroh dari seorang Gus Miek atau Kiai Hamim Tohari Jazuli?.*****

Tidak ada komentar: