Jurnalis Independen: Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas mencatat sepanjang 2012 telah terjadi 551 kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi. Penyebabnya adalah disparitas harga yang tinggi sehingga masyarakat menimbun BBM dan menjualnya ke industri.
Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Someng, menjelaskan harga keekonomian BBM bersubsidi sebesar Rp9.200 per liter, sedangkan pemerintah menjual dengan harga Rp4.500 per liter. Dengan disparitas sebesar Rp4.700 menggoda masyarakat untuk membeli BBM bersubsidi lalu dijual kepada industri.
BPH Migas terus melakukan pengawasan pendistribusian BBM bersubsidi. "Catatan kami sepanjang 2012 sebanyak 551 kasus, jumlahnya mencapai 1,7 juta liter dengan nilai kerugian sebanyak Rp200 miliar. Mungkin di kepolisian punya data yang lebih besar lagi," katanya di Jakarta, Senin 10 Desember 2012.
Ia menjelaskan paling banyak penyalahgunaan BBM bersubsidi berada di Kalimantan dengan berbagai modus. Modus terbaru adalah truk berisikan tangki, lalu diatas tangki ditutupi oleh pupuk sehingga seolah-olah truk tersebut sedang membawa pupuk.
"Selama ada disparitas dan pendistribusian dengan sistem terbuka seperti sekarang maka penyelundupan akan terus terjadi," katanya.
BPH Migas, katanya, susah untuk mengendalikan BBM bersubsidi selama tidak ada dukungan dari masyarakat. Banyak masyarakat yang membeli BBM bersubsidi padahal mobil jenis tersebut tidak cocok untuk menggunakan premium ataupun solar.
"Kalau hal ini dipenuhi saja, maka penghematannya menjadi percuma, masyarakat harus diedukasi bahwa BBM bersubsidi harus hemat," katanya.
Andy menjelaskan pendistribusian BBM bersubsidi harus menggunakan sistem tertutup dengan menerapkan informasi teknologi. Ia mencontohkan setiap pembelian mobil baru akan tertera barcode di mesin, nantinya nozzle dispenser dapat membaca barcode tersebut dan muncul informasi apakah kendaraan tersebut diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi atau tidak.
"Rencana kami seperti itu, investasinya kewajiban badan usaha yang menyalurkan BBM bersubsidi dan Kementerian Keuangan," katanya.
Bila ingin lebih tepat lagi, yaitumenghilangkan program subsidi yang memiliki nilai Rp500 trilyun dan menggantinya dengan program Tunjangan Sosial, pasti beres pak menteri, pak pemerintah, jangan oon dong. (umi/mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar