Jurnalis Independen: Islam mengenal hakikat keadilan
adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dan bila meletakkan sesuatu
tidak pada tempatnya, maka hal itu dikatakan sebuah kezaliman. Hal ini tidak
hanya berlaku pada satu hal, namun pada semua aspek kehidupan umat manusia.
Termasuk penggunaan bahasa.
Dalam ilmu bahasa dikenal ada
istilah “Eufimisme” atau yang secara harfiah bisa diartikan sebagai
“penghalusan bahasa”. Eufimisme pada hakikatnya sangat diperlukan oleh manusia
di dalam hubungan sosialnya, terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang dikenal
sebagai bangsa yang aslinya memiliki watak berbudi luhur dan penuh dengan
kesopan-santunan.
Sebab itu, dalam pergaulan
keseharian kita lebih suka menggunakan istilah “Kamar Kecil” untuk menyebut
tempat membuang hajat, kita lebih suka menggunakan istilah “Kurang Bagus” untuk
menyebut sesuatu hal yang jelek, mengunakan istilah “Kurang Pandai” untuk
seseorang yang “Bodoh”, istilah “Kurang Banyak” untuk “Sedikit”, dan
sebagainya.
Dalam ranah psikologi, eufimisme
sering digunakan untuk memotivasi seseorang. Eufimisme juga sering dimanfaatkan
di dalam kelas-kelas hubungan masyarakat, kelas etiket dan kepribadian, dan
lainnya. Namun di dunia ini segala sesuatu tentu ada sisi baik dan buruknya.
Istilah populernya, Man Behind The Gun. Tergantung siapa yang berada di
belakang segala sesuatunya.
Eufimisme yang awalnya digunakan
untuk hal-hal yang positif dalam artian menjaga hubungan antar manusia agar
menjadi lebih baik dan bijak, ketika diseret ke ranah politik menjadi sesuatu
hal yang jahat.
Politik adalah seni atau cara
untuk merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Di dalam
kekuasaan, terdapat berbagai keistimewaan yang tidak akan diperoleh seseorang
atau suatu kelompok jika dia tidak berkuasa. Sebab itu, kekuasaan seringkali
membuat lupa seseorang atau sekelompok orang. Jika seseorang atau sekelompok
orang telah berhasil meraih kekuasaan, maka dengan cara apa pun, tak perduli
halal atau haram, baik atau buruk, dengan sekuat tenaga mereka akan
mempertahankan kursi kekuasaan itu. Bahkan dengan menjual keyakinannya sekali
pun atau membunuh suara hati nuraninya sendiri.
Eufimisme Sebagai Alat Pelanggeng
Status Quo
Semakin media massa suatu negara
banyak menggunakan eufimisme atau penghalusan kata, maka semakin tiranik dan
koruplah sifat dari rezim yang berkuasa, bahkan bila penguasa tersebut menyebut
sistem kekuasaannya sebagai demokrasi, maka hal itu adalah demokrasi-demokrasian
alias pseudo-democration. Ini merupakan hukum besi sejarah.
Dalam ranah politik, eufimisme
lazim dimanfaatkan untuk menutupi kejahatan, kebobrokkan, dan kinerja penguasa,
dari rakyatnya sendiri. Dengan menggunakan eufimisme, rakyat dikelabui, ditipu,
oleh penguasa dengan istilah-istilah yang terdengar bagus.
Di Indonesia, rezim yang
mengawali pemanfaatan eufimisme untuk melanggengkan status quo kekuasaannya
adalah rezim Jenderal Harto. Kita tentu masih ingat bagaimana penguasa menyebut
“Sistem Ekonomi Pancasila” bagi sistem kapitalisme yang dianutnya. Lalu istilah
“diamankan” atau “disukabumikan”, sebagai istilah untuk menangkap dan membunuh
siapa pun yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan Jenderal Harto.
Kita tentu masih ingat bagaimana
“Utang Luar Negeri” disebut sebagai “Bantuan Luar Negeri”. Padahal dua hal ini
sangat berbeda. Bantuan tentu tidak perlu dikembalikan, sebagaimana halnya
Hibah. Namun Utang wajib dikembalikan berikut bunga dan syarat-syarat yang
sangat mengikat bagi negara yang berhutang. Rezim Jenderal Harto juga sering
mengistilahkan Kenaikan Harga sebagai “Penyesuaian Harga”. Lalu status
Indonesia sebagai “Negara Terkebelakang”, disebutnya dengan istilah “Negara
Berkembang”, dan banyak lagi yang lainnya.
Mei 1998 Jenderal Harto memang
lengser. Namun sistem kekuasaan yang dibangunnya ternyata diwarisi para
penguasa setelahnya. Bahkan kian hari kian gila dan konyol. Para penguasa tanpa
malu-malu—dan dengan sangat kreatif—membuat istilah-istilah baru yang terdengar
sangat indah di telinga namun pada hakikatnya adalah lagu lama.
“Suap” yang dulu sering disebut
sebagai “Uang Pelicin”, sekarang diberi istilah keren bernama “Gratifikasi”, bahkan ada yang tanpa malu
menyeretnya ke ranah pembenaran religius dengan menyebutnya sebagai “Mahar
Politik”. Padahal ya suap itu-itu juga. Entah, apakah dengan memberi
embel-embel bernuansa religi ini hati nurani bisa dibohongi? Padahal statusnya
tetap saja haram. Bangkai tetap saja akan mengeluarkan bau busuk walau disiram
dengan minyak wangi berkilo-kil liter banyaknya.
Lalu “Maling Uang Rakyat”
disebutnya sebagai “Koruptor”. Dan dukun yang dari dulu sampai sekarang akrab
dengan para petinggi negeri ini malah diberi nama yang keren, bukan lagi
disebut “Paranormal”, namun “Konsultan Metafisika”.
Dan adalah kenyataan jika istilah
“Wakil Rakyat” yang sekarang disandang para anggota DPR, sesungguhnya sudah
berkonotasi penipuan dan pembohongan publik, karena secara de facto mereka
setiap detiknya selalu bekerja demi kemashlahatan partai politik tempatnya
bernaung.
Menjadi anggota DPR sekarang ini
bagi kebanyakan orang bukanlah pengabdian, tapi tempat mencari nafkah, tempat
mengubah hidup dari miskin menjadi kaya raya, tempat pelarian dari karir yang
mentok, dan sebagainya. Ini bagi kebanyakan orang. Walau mungkin ada sedikit
sekali dari mereka yang mau menjadi anggota DPR hanya sebagai tempat
aktualisasi diri. Partai politik sekarang ini merupakan jembatan emas menuju
kekayaan. Ini secara de facto. Sebab itu, sebutan “Wakil Rakyat” seharusnya
diubah menjadi “Wakil Partai”. Ini baru benar.
Katakan Kebenaran Walau Pahit
Bagi orang yang terdidik,
eufimisme mungkin tidak terlalu menjadi soal, karena mereka bisa memahami
dengan baik jika “Gratifikasi” atau “Mahar Politik” itu hanyalah nama lain dari
“Suap” atau “Sogokan”. Dalam Islam tentu saja ini HARAM. Atau “Koruptor” itu
hanyalah nama lain dari “Maling Uang Rakyat”. Namun bagi orang-orang yang tidak
terdidik, apakah itu ada di kota maupun di kampung, istilah-istilah itu tentu
memiliki ‘suasana batin’ yang berbeda.
Sudah saatnya, media massa dan
para jurnalis mempergunakan kata atau istilah yang sesungguhnya. “Koruptor”
tulis saja sebagai “Maling Uang Rakyat”, “Gratifikasi” tulis saja sebagai
“Suap”, “Penyesuaian Harga” tulis saja sebagai “Kenaikan Harga”, dan istilah
“Wakil Rakyat” sudah seharusnya diganti menjadi “Wakil Partai”.
Umat harus dicerdaskan. Harus
dicerahkan. Buanglah semua eufimisme di dalam penulisan media massa, karena
eufimisme hanya akan menguntungkan kepentingan penguasa dan membunuh kekritisan
umat, padahal untuk bisa bekerja dan membangun negeri dibutuhkan umat yang
kritis dan cerdas, bukan yang taqlid muqoliddun, yang hanya berkata iya dan iya
sembari cengar-cengir tak tentu arah. Hanya kebenaranlah, al-haq, yang mampu
membangun negeri ini, bukan “kebeneran”. Wallahu’alam
1 komentar:
SAYA SANGAT BERSYUKUR ATAS REJEKI YANG DIBERIKAN KEPADA SAYA DAN INI TIDAK PERNAH TERBAYANKAN OLEH SAYA KALAU SAYA BISA SEPERTI INI,INI SEMUA BERKAT BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA YANG TELAH MEMBANTU SAYA MELALUI NOMOR TOGEL DAN DANA GHAIB,KINI SAYA SUDAH BISA MELUNASI SEMUA HUTANG-HUTANG SAYA BAHKAN SAYA JUGA SUDAH BISA MEMBANGUN HOTEL BERBINTANG DI DAERAH SOLO DAN INI SEMUA ATAS BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA,SAYA TIDAK AKAN PERNAH MELUPAKA JASA BELIAU DAN BAGI ANDA YANG INGIN DIBANTU OLEH RAWA GUMPALA MASALAH NOMOR ATAU DANA GHAIB SILAHKAN HUBUNGI SAJA BELIAU DI 085 316 106 111 SEKALI LAGI TERIMAKASIH YAA MBAH DAN PERLU ANDA KETAHUI KALAU MBAH RAWA GUMPALA HANYA MEMBANTU ORANG YANG BENAR-BANAR SERIUS,SAYA ATAS NAMA PAK JUNAIDI DARI SOLO DAN INI BENAR-BENAR KISAH NYATA DARI SAYA.BAGI YANG PUNYA RUM TERIMAKASIH ATAS TUMPANGANNYA.. DANA DANA GHAIB MBAH RAWA GUMPALA
Posting Komentar