Jurnalis Independen: Pertemuan APEC tahun ini
diselenggarakan di Bali 1-8 Oktober. KTT APEC ini mengusung tema “Resilient
Asia Pacific, Engine of Global Growth (Asia Pasifik yang Tangguh sebagai Mesin
Pertumbuhan Global)” dengan tiga prioritas: Pertama, attaining the Bogor Goals
yaitu perluasan perdagangan dan investasi, serta reformasi struktural. Kedua,
sustainable Growth with Equity, dengan fokus pada daya saing global UKM,
inklusi finansial, ketahanan pangan dan kesehatan. Ketiga, promoting
connectivity dengan fokus pada isu konektifitas fisik termasuk pengembangan dan
investasi infrastruktur dan konektifitas kelautan, konektifitas institusional
dan konektifitas antar orang.
Inti dari misi APEC adalah
mewujudkan secara penuh liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi
di kawasan Asia Pasifik. Misi itu sudah diusung selama 24 tahun sejak dibentuk
pada 1989.
Capaian Makro
Selama ikut APEC ekonomi
Indonesia juga tumbuh cukup tinggi. Ketika menyampaikan RAPBN 2014 (16/8/2013)
presiden SBY mengklaim sejumlah capaian ekonomi 2004-2013 (republika.co.id,
16/8/2013). Ekonomi Indonesia periode 2004-2009 rata-rata tumbuh 5,5 persen per
tahun. Pada periode 2009 sd Juni 2013, ekonomi tumbuh rata-rata 5,9 persen per
tahun.
PDB Indonesia meningkat dari US$
1.177 per kapita, pada 2004, menjadi US$ 2.299 per kapita pada 2009, dan naik
lagi menjadi US$ 3.592 per kapita pada 2012. Pada periode yang sama angka
pengangguran terbuka turun dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 5,92 persen pada
Maret 2013. Dan berikutnya angka kemiskinan pun turun dari 16,66 persen atau
37,2 juta orang pada 2004 menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret
2013.
Data BPS, pendapatan nasional
tiga tahun terakhir meningkat tajam, dari Rp 5.718,35 triliun tahun 2010, lalu
Rp 6.660,23 triliun tahun 2011 dan berikutnya Rp 7.544,15 triliun tahun 2012.
Pendapatan perkapita 2000-2012 naik drastis, yakni Rp 6,12 juta tahun 2000, Rp
9,16 juta tahun 2004, Rp 18,77 juta tahun 2008, Rp 23,76 juta tahun 2010 dan
naik menjadi 30,52 juta tahun 2012. Artinya, tahun 2012 tiap orang penduduk
berpenghasilan Rp 2,5 juta perbulan. Semua angka itu mengindikasikan rakyat
Indonesia makin makmur. Benarkah?
Capaian Semu
Nyatanya, angka-angka di atas
sekadar capaian makro yang lebih bersifat semu. Fakta dan data pada tataran
riil justru menunjukkan negeri ini lebih banyak buntungnya.
Faktanya masih ada 28,07 juta
lebih orang yang miskin, dengan kriteria pengeluaran kurang dari Rp 259.520 per
orang perbulan. Bahkan data lain lebih tinggi. Menurut data Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah koordinasi Wapres, jumlah
orang miskin di Indonesia tahun 2012-2013 mencapai angka 96 juta jiwa. Angka
ini naik signifikan dari angka 76,4 juta jiwa di tahun sebelumnya (lihat,
nasional.kontan.co.id, 17/01/2013). Sementara itu jumlah keluarga miskin yang
mendapat jatah raskin sebanyak 15,5 juta rumah tangga atau 62 juta orang
(asumsi, satu rumah tangga terdiri dari empat orang).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi
lebih banyak dinikmati kelompok kaya. Ekonomi tumbuh disertai naiknya
kesenjangan pendapatan. Hal ini bisa dilihat dari naiknya rasio gini (diukur
0-1, makin tinggi artinya kesenjangan pendapatan makin tinggi). Berdasarkan
data BPS, angka rasio gini terus naik dari 0,32 tahun 2002, 0,357 tahun 2009,
0,38 tahun 2010 dan tahun 2012 naik menjadi 0,41. Angka terakhir ini artinya,
40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 16,88 persen dari
total pendapatan, sementara 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi
justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan. Artinya separo dari total
pendapatan nasional hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk.
Lebih Banyak Buntung
Liberalisasi perdagangan
mengharuskan tarif impor berbagai komoditas diturunkan bahkan dinolkan.
Hambatan non tarif pun juga harus disingkirkan. Konsekuensinya barang dari luar
pun masuk mengalir deras membanjiri pasar dalam negeri. Ini ditunjukkan oleh
terus meningkatnya angka impor hingga menimbulkan defisit perdagangan. Bahkan
angka defisit perdagangan tahun 2012 menjadi tertinggi sejak 1961.
Lonjakan impor itu terjadi hampir
pada semua sektor, pertanian maupun industri. Menurut data Kementerian
Pertanian, nilai impor pertanian pada 2004 baru sekitar USD 5 miliar, lalu
menjadi USD 5,2 miliar pada 2005, lalu menjadi USD 8,6 miliar pada 2007, dan
melonjak menjadi USD 20,6 miliar pada 2011. Artinya selama 2004-2011 nilai
impor pertanian naik empat kali lipat.
Di sisi lain, liberalisasi
mengharuskan pengurangan bahkan pencabutan berbagai subsidi bagi petani. Para
petani dan produsen pertanian pun kedodoran dan kalah bersaing dengan produk
pertanian dari luar yang harganya murah. Impor pertanian pun terus membengkak
dan ketergantungan kepada pangan impor makin besar, seperti dalam kasus
kedelai, kacang merah, jagung, daging sapi, sayuran, produk hortikultura bahkan
singkong dan garam.
Dalam sektor industri, banyak
industri dalam negeri yang tidak bisa bersaing dengan produk luar yang terus
membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah. Akibatnya banyak
perusahaan terpaksa gulung tikar dan tutup. Menurut data BPS tentang Jumlah
Perusahaan Menurut Sub Sektor 2001-2010, dari tahun 2006-2010 jumlah perusahaan
makanan dan minuman turun dari 6.615 menjadi 5.579 (sebanyak 1.036 perusahaan
lenyap); perusahaan tembakau turun dari 1.286 tahun 2006 menjadi 978 tahun 2010
(308 perusahaan lenyap); perusahaan tekstil turun dari 2.809 tahun 2006 menjadi
2.585 tahun 2010 (224 perusahaan lenyap); perusahaan pakaian jadi turun dari
3.256 tahun 2006 menjadi 1.968 tahun 2010 (1.288 perusahaan lenyap). Dan secara
total sebanyak 6.123 bermacam perusahaan lenyap (29.468 perusahaan tahun 2006
menjadi 23.345 perusahaan tahun 2010). Lenyapnya 6.123 perusahaan, termasuk di
antaranya perusahaan padat karya seperti tembakau, makanan dan minuman,
tekstil, pakaian jadi, dsb, tentu mengakibatkan puluhan atau ratusan ribu
bahkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, dan berikutnya keluarga mereka jutaan
bahkan puluhan juta orang juga kesulitan.
Makin Dikuasai Asing
Liberalisasi investasi
mengharuskan pintu investasi asing dibuka selebar-lebarnya, kepemilikan asing
atas usaha di dalam negeri dan bidang usaha untuk investasi asing tidak boleh
dibatasi. Dalam UU Penanaman Modal No. 25/2007, modal asing dan modal dalam negeri
diperlakukan sama. UU ini memfasilitasi penguasaan lahan dalam bentuk Hak Guna
Usaha (HGU) hingga 95 tahun. Padahal zaman Agrariches Wet-nya kolonial Belanda
penggunaan tanah oleh swasta hanya dibolehkan hingga 75 tahun.
Sementara berdasarkan daftar negative
investasi yakni Perpres 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup
Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal,
hampir seluruh sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, migas, keuangan
dan perbankkan boleh dikuasai oleh modal asing secara mayoritas bahkan hingga
95 %.
Akibatnya, perekonomian negeri
ini sebagian besar dikuasai asing. Asing menguasai sebagian besar industri
migas, perbankan, manufaktur, dsb. Bahkan banyak perusahaan dalam negeri akhirnya
dikuasai asing.
Sebagian besar kebutuhan hidup di
negeri ini dikuasai asing. Mulai air minum dalam kemasan dari Pure Life Nestle
perusahaan Swiss dan Aqua yang dikuasai Danone Perancis; kecap Cap Bango dan
Teh Sariwangi dimiliki Unilever Inggris; Susu SGM milik Sari Husada 82%
sahamnya dikuasai Numico Belanda; sabun Lux, Pepsodent dan aneka shampo
dikuasai Unilever, Inggris. Beras impor dari Thailand dan Vietnam, gula impor
dari Meksiko dan India. Motor/mobil dari perusahaan Jepang, Cina, India, Eropa
atau Amerika. Segala macam peralatan elektronik, komputer, ponsel buatan
perusahaan Jepang, Korea, atau Cina. Operator telepon mayoritas dikuasai asing
baik Indosat, XL, Telkomsel. Belanja? Carrefour punya Perancis, Alfamart 75%
sahamnya punya Carrefour; Giant dan Hero dikuasai Dairy Farm International,
Circle K dari Amerika dan Lotte dari Korsel. Beberapa Bank (BCA, Danamon, BII,
dan Bank Niaga) sudah milik asing meski namanya masih Indonesia. Bangun rumah
pakai semen: Tiga Roda Indocement milik Heidelberg, Jerman (61,70%), Semen
Gresik milik Cemex Meksiko dan Semen Cibinong milik Holcim (Swiss).
Wahai Kaum Muslimin
Jalan semua itu dibuka lebar oleh
kebijakan liberalisasi ekonomi, perdagangan dan investasi yang diusung langsung
oleh forum APEC. Semua anggotanya harus mengikuti dan memenuhi semua yang
digariskan dalam forum APEC yang tentu lebih ditentukan oleh negara maju. Maka
secara langsung APEC adalah jalan penguasaan asing atas negeri ini khususnya di
bidang ekonomi. Tak terkecuali ajang APEC kali ini, disinyalir akan dilakukan
penandatanganan perpanjangan kontrak Freeport. Sekaligus APEC juga menjadi
pintu kontrol untuk mengarahkan kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya yang
terkait.
Maka APEC secara langsung
memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai negeri ini dan penduduknya
yang mayoritasnya muslim. Ini jelas perkara yang tidak dibenarkan, sebab Allah
SWT berfirman:
وَلَن
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman
(TQS an-Nisa’ [4]: 141)
Maka semua itu harus segera
diakhiri. Hal itu tidak bisa terwujud selama sistem kapitalisme yang melahirkan
dan memelihara APEC tetap dipertahankan. Karena itu, sistem kapitalisme ini
harus segera dicampakkan. Hal itu hanya akan terwujud melalui penerapan syariah
Islam secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar