Jurnalis Independen: Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar memberikan pandangannya saat menerima kunjungan dari Badan Pengawas
Pemilu dan beberapa tokoh nasional di Gedung MK, Jakarta, Selasa (24/9/2013).
Akil Mochtar adalah Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK). Dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra 3 No 7, Jakarta Selatan, Rabu
(2/10/2013) malam. Diduga, dia menerima suap terkait pelaksanaan pemilu kepala
daerah di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah.
Akil ditangkap saat baru dalam
hitungan bulan terpilih menjadi Ketua MK pada April 2013. Dia menggantikan
Mahfud MD yang memasuki masa pensiun. Sebelumnya, Akil merupakan salah satu
Wakil Ketua MK yang menjabat sejak 2009. Namun, siapakah Akil sebelum menjadi
hakim konstitusi?
Lahir pada 18 Oktober 1960 di
Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Akil
menyelesaikan sekolah dasar di tempat kelahirannya itu. Sempat menempuh
pendidikan di SMP Negeri 1 Putussibau, dia berpindah ke SMP Negeri 2 Singkawang
dan kemudian ke SMP Muhammadiyah Pontianak.
Saat SMA, Akil bersekolah di SMA
Muhammadiyah I Pontianak. Ketika inilah, Akil menunjukkan ketertarikannya dalam
berorganisasi. Tercatat dia pernah menjabat ketua sejumlah organisasi di
sekolahnya, mulai dari Ketua OSIS, Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah, hingga
Ketua Pelajar Islam Indonesia.
Setamat SMA, Akil melanjutkan
pendidikannya dengan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti (UPB)
Pontianak. Di masa kuliah, Akil kembali aktif berorganisasi dengan mengemban
sejumlah jabatan, di antaranya menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UPB
dan Komandan Resimen Mahasiswa UPB.
Lulus kuliah, Akil masih terus
aktif berorganisasi, mulai dari Ketua Alumni SMA Muhammadiyah Pontianak hingga
Ketua Alumni UPB. Dia melanjutkan pendidikan master di Magister Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat. Di kampus yang sama dia
mendapatkan gelar doktor Ilmu Hukum.
Setelah itu, Akil meniti karier
sebagai pengacara selama kurun 1984-1999. Saat menjadi pengacara, Akil masih
aktif menggeluti dunia organisasi dengan memegang jabatan sebagai Ketua Ikatan
Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Kalbar, Sekretaris Ikatan Advokat Indonesia
(Ikadin) Pontianak, serta anggota sejumlah organisasi seperti Pemuda Pancasila
dan KNPI.
Pada 1999, Akil terpilih menjadi
anggota DPR dari Partai Golkar. Dia menjadi anggota DPR untuk dua periode,
berakhir pada 2009. Selama menjadi anggota legislatif, dia tercatat pernah
menjadi ketua panitia kerja dan panitia khusus untuk sejumlah rancangan undang-undang.
Di antara UU yang pernah ikut dibidaninya adalah UU Yayasan, UU Notaris, dan UU
Perseroan Terbatas.
Di luar kesibukannya sebagai
anggota parlemen, Akil pernah menjadi Ketua Umum Federasi Panjat Tebing
Indonesia (FPTI) Kalbar, Ketua Umum Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia
(FOMI) Kalbar, Ketua Pengurus Pusat Angkatan Muda Partai Golkar, dan Anggota
Lembaga Hikmah Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Pada 2007, Akil sempat maju
sebagai calon gubernur Kalimantan Barat. Namun, saat itu dia maju bukan diusung
Partai Golkar, melainkan oleh koalisi partai gurem. Hasil suara yang didapatnya
pun hanya berada di peringkat empat dari empat pasangan calon yang berlaga.
Meski tak menampik tak mendapat
dukungan dari partai tempatnya berpayung, Akil mengatakan tak bakal "ganti
baju" partai. Alasannya, bukan karena terlalu loyal pada Partai Golkar.
Dia mengatakan tetap memilih berbaju "partai kuning" karena tak mau
membuat bingung para konstituen yang dia akui banyak berada di pedalaman.
Kalaupun tak bisa lagi berkarier
di dunia politik, Akil jauh-jauh hari mengatakan bidang yang sesuai dengan
latar belakang keilmuannya adalah langkah yang akan dia pilih. Ketika ada
"lowongan" untuk menjadi hakim konstitusi pada 2009, dia melamar dan
lolos.
Apakah seluruh rekam jejak Akil
akan tersapu oleh penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini? ini adalah kenyataan hukum dan penegak hukum di Indonesia. Baru menjabat Makamah Konstitusi selama 6 bulan sudah menyalahgunakan jabatannya. Padahal MK merupakan lembaga tertinggi dalam bidang hukum dan keadilan terkait jabatan politik mulai Bupati/walikota hingga Presiden. Pemilinya sudah bobrok, karenanya hasil pemilunya bisa dikatakan bobrok juga.
Jadi negara ini dipimpin oleh para pemimpin bobrok dan demokrasi hanya menelorkan pejabat bobrok. Dus, sisitem, demokrasi sama dengan sistem pembobrokan.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar