Rabu, 18 Maret 2015

Yusuf Merukh

Jurnalis Independen: Pemilik PT Pukuafu Indah
Ranking no 76 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia
PENGUASA TAMBANG EMAS SELAIN BUSANG


Berkat HPH, Jusuf Merukh membeli 500 kuasa pertambangan dan menguasai
sejumlah tambang emas.

Perjalanan Jusuf Merukh dalam meraih sukses tergolong mulus. Sepulang dari
Texas, ia disambut bukan cuma oleh PNI, tapi juga pemerintah. Hebat. Waktu
muda sudah kaya raya, setelah tua makin kaya. Dengan 500 kuasa tambangnya,
Jusuf menguasai sejumlah tambang emas.

—————————-
Eddy Suprapto, Christiantoko
—————————-

Bak bola salju, perebutan megatambang emas Busang terus bergulir. Makin lama makin besar. Dan, pihak-pihak yang muncul di babak awal tak lagi tampak, lantaran tertutup lapisan salju baru. Itulah amsal yang pas untuk posisi Jusuf Merukh, tokoh PDI yang mengklaim sebagai pemilik 40% saham
di pertambangan yang konon memiliki deposit 57 juta ounces emas itu.

Diajang perebutan Busang, namanya kini jarang disebut lagi. Padahal, dialah orang pertama yang memegang kontrak karya atas lahan tersebut. Tapi, tenggelamnya nama Jusuf tidak berarti perannya di Busang telah habis. Lelaki kelahiran Pulau Rote, 61 tahun lalu ini, kini tengah melakukan
beberapa gerakan di permukaan sekaligus di bawah tanah.

Di permukaan, Jusuf tengah memproses beberapa gugatan pada pihak yang diangap telah
merugikannya. Sementara itu, ia juga diam-diam melakukan lobi kiri kanan
agar haknya tak sampai direbut orang. Tak jelas benar, gerakan apa yang
dilakukannya diam-diam itu. Yang pasti, kendati namanya sering muncul di
media massa, sebagai tokoh politik terutama, tak banyak orang tahu siapa
sebenarnya lelaki beranak lima ini. Orang cuma tahu, Jusuf adalah bekas
tok oh PNI yang kemudian jadi tokoh PDI, dan ditendang DPP. Padahal, jika
diurut ke belakang, ia termasuk orang yang dekat dengan kekuasaan Orde
Lama sekaligus Orde Baru. Di masa Bung Karno, misalnya. Jusuf termasuk
salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung
Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan
negara. Tapi juga kepentingan keluarga Presiden. Sebagai Ketua PNI Ja
karta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur
dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno
ingin membuat sertifikat tanahnya. Ibu negara ini tak segan-segan meminta
bantuan Jusuf. Bukan cuma untuk mengurus sertifikat, karena Jusuf menjabat
sebagai Pembantu Utama Kementerian Agraria. Lebih dari itu, Ibu Dewi juga
meminta agar mobilnya dijualkan untuk biaya pembuatan sertifikat tersebut.
Saking seringnya dipanggil Presiden, sampai-sampai banyak orang menduga
saya ini mau dijadikan menteri ke-101, katanya mengenang.

Sialnya selalu ketemu emas

Dengan bermodal gelar insinyur, kalau mau, Jusuf sebenarnya bisa menjadi
pejabat setingkat menteri. Itu terlihat dari lonjakan kariernya ketika di
Kementerian Agraria. Ketika itu, hanya dalam waktu dua tahun, ia mengalami
kenaikan golongan sampai empat k ali, sehingga di awal tahun 1965 ia sudah
mengantungi surat pengangkatan untuk golongan F6. Itu bisa dimaklumi,
karena pada waktu itu (zaman Orla) yang namanya insinyur pertanian baru
ada tiga orang. Kalau sekarang, golongan itu sama dengan pangkat Jaksa
Agung. Sebab gubernur saja golongannya cuma F5, kata bekas Ketua Pemuda
Demokrat Sulawesi itu. Tapi, rupanya, dorongan untuk menjadi pekerja
politik lebih besar ketimbang naluri jadi pegawai negeri. Maka, ketika
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menyuruhnya memilih, jadi pegawai negeri
atau anggota partai politik, Jusuf lebih suka tetap menjadi ang gota PNI.
Ia rela mengorbankan masa depannya tanpa mendapatkan uang pensiun seperser
pun. Maklum, masa kerjanya belum sampai 10 tahun. Perhitungan Jusuf
ketika itu, kendati ke luar dari pegawai negeri ia tetap akan hidup
berkecukupan. Soalnya, ketika menjadi pejabat, ada seorang pengusaha yang
berjanji akan memberi jatah usaha. Begini ceritanya. Suatu hari, ia
dipanggil Ali Sastroamidjojo. Tokoh PNI ini meminta agar Jusuf membantu
perizinan usaha perkebunan yang akan dibuka oleh seorang pengusaha Arab
bernama Jusuf Bahrun, di Aceh. Ia membantu bukan cuma karena si Bahrun ini
get ol membantu keuangan partai, tapi juga menjanjikan saham sebanyak 30%.
Pokoknya kalau Bapak pensiun, saham ini boleh diambil, kata Bahrun kepada
Merukh. Makanya, selepas dari pegawai negeri, Merukh bersama istrinya
menemui Bahrun di Medan. Tapi entah kenapa, selama dua pekan tinggal di
sana, pengurusan saham yang dijanjikan di notaris tak kunjung tuntas.
Akhirnya, Merukh disarankan pulang ke Jakarta denga n janji akan dipanggil
lagi jika urusan pembagian saham di notaris selesai. Tapi apa yang
terjadi? Saham belum dibagi, pengusaha keturunan Arab itu keburu tewas
lantaran pesawat helikopter yang ditumpanginya jatuh. Akibatnya, Ya, saya
jadi tidak dapat apa -apa, ujar Jusuf.

Tak habis akal, Jusuf pun menghadap Menteri Kehutanan, yang ketika itu
dijabat Sudjarwo. Dari departemen inilah ia mem-peroleh ratusan ribu
hektare HPH di Kalimantan, Halmahera, dan Sulawesi. Ia bisa dengan mudah
memperoleh konsesi. Sebab, dulunya, sebaga i kepala kabinet menteri, Jusuf
terhitung bos Sudjarwo.

Menurut pengakuannya, dari sinilah ia menjadi kaya raya. HPH-nya
dikontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Jusuf sendiri
ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti. Kalau you ketemu saya waktu itu,
you bisa lihat betapa kayanya saya, katanya mengenang. Pendapatan dari HPH
itu sebagian ditabung Jusuf di sebuah Bank Hongkong.

Sampai pada suatu hari, tahun 1970, datang ajakan dari Tony Branco
(temannya dari Amerika) untuk terjun ke bisnis pertambangan. Dengan modal
tabungan sebanyak US$ 5 juta, Jusuf membeli tak kurang dari 500 hak kuasa
pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu , mencari chrom. Tapi sial, yang
ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya:
US$ 100 per ounces alias US$ 10 di bawah biaya produksi. Kendati
ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan
penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangaan dari Pulau
Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertama saya dari
pertambangan, katanya. Saking tertariknya p ada pertambangan, ia tak
bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi
investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri
Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya
menyetujui usulan Merukh. Bahkan, bekas Ketua DPRD DKI ini ikut menyusun
aturan main yang harus dipenuhi kontrak karya (KK) yang melibatkan
investasi asing. Salah satu dari aturan main itu: pengalihan saham asing
harus d ilakukan sepengetahuan Pemerintah Indonesia dan mitra lokal. Nah,
itulah sebabnya, kenapa Merukh tidak mengakui kepemilikan Bre-X di Busang.
Dan ia tetap menganggap Westralian Atan Minerals sebagai mitranya.

Gagal di Bogor sukses di Texas

Akankah Busang kembali ke pangkuannya? Kita lihat buktinya nanti. Yang
jelas, jalan yang dilalui Jusuf untuk mencapai sukses terbilang mulus.
Selepas SMP di Makasar, sesuai dengan saran ayahnya yang menjadi asisten
wedana, ia melanjutkan ke Midel Baren La nd an Bosh School (setingkat
dengan sekolah menengah pertanian). Ayahanda E.E Mangindaan (Gubernur
Sulawesi Utara se-karang) itu guru matematika saya, ujarnya. Kendati baru
SLTA, bakat Jusuf berorganisasi sekaligus berpolitik sudah tampak. Ketika
baru duduk di kelas satu, misalnya, ia sudah diangkat menjadi Ketua
Persatuan Sekolah-sekolah Kristen-Sulawesi dan Ketua Ikatan Pelajar
Indonesia. Ia menjadi sangat sib uk ketika diangkat menjadi Ketua Pelajar
Sekolah Pertanian se-Indonesia. Sampai-sampai saya dimarahi guru, lantaran
sering keliling ke Bogor, Medan, dan Malang, katanya. Dengan kata lain,
akibat kegiatan organisasinya, Jusuf sering bolos. Tapi, anehnya, ia bisa
lulus masuk peringkat satu. Beres dari sekolah pertanian, ia berangkat ke
Bogor untuk ikut tes di Institut Pertanian. Gagal. Mungkin, tingkat
pendidikan di Makasar lebih rendah dari di Jawa. Sehingga, meskipun
peringkat satu, saya tak bisa masuk, katanya. Untung, tak lama kemudian
ada tawaran bea siswa dari Interna-tional Corporation
Administrtion-Amerika (ICA). Berkat bahasa Ing-grisnya yang lumayan, Jusuf
diterima untuk kuliah di Texas Agricultural and Mechanical University. Di
Amerika Serikat, ia bukan hanya berhasil menggondol gelar in-sinyur, tapi
juga seorang putri Solo yang kini menjadi ibu lima anaknya. Habis, karena
tergolong kulit berwarna, saya jadi tidak bisa dapat noni bule ha..ha..,
ujarnya mengenang. Nah, sepulang dari Amerika inilah ia disambut oleh
banyak kalangan. PNI, misalnya, langsung mengangkat Jusuf menjadi ketua di
Jakarta Selatan. Begitupun sambutan dari pemerintah. Ia menjadi insinyur
(gelar yang masih langka) yang sangat dimanjakan. Buktin ya, baru
menginjak Jakarta, Jusuf sudah disediai sedan Mercedez, lengkap dengan
sopir. Jabatan yang disandang Jusuf pun cukup beraneka. Mulai dari Kepala
Biro Perkebunan Seluruh Indonesia hingga Presdir Gabungan Penggilingan
Padi Seluruh Indonesia, yang berada di bawah naungan Dewan Bahan Makanan.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Dan Jusuf tinggal bersiap-siap
menyiapkan warisan bagi anak-anaknya. Selain usaha pertambangan, ia juga
telah melakukan diversifikasi usaha ke bidang perkebunan kelapa. Ada lahan
seluas 70.000 hektare di Sulawesi Utara ya ng dikuasainya sekarang.

Tidak ada komentar: