Minggu, 08 Maret 2015

Kemana Pahlawan Cyber Indonesia?

Jepang, Korea Selatan, Indonesia minta bantuan AS melawan ancaman cyber
Oleh Martin Sieff
Jurnalis Independen: Ketakutan akan ancaman cyber: pejabat pemerintah Jepang berpartisipasi dalam latihan keamanan cyber di Tokyo pada bulan Maret 2014 sementara Tokyo bersiap-siap menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2020. [AFP].

Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di seluruh Asia merasa khawatir dengan peretasan berkas-berkas rahasia milik Sony Corp. Sekarang ancaman cyber yang dirasakan dari Tiongkok dan Korea Utara mendorong kerja sama regional dan dengan Amerika Serikat.

“Konsep tradisional kedaulatan nasional telah dikalahkan oleh serangan cyber - dan saat ini sudah amat terlambat," kata Arnaud de Borchgrave, seorang ahli di bidang perang cyber dan direktur proyek untuk Ancaman Transnasional di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, DC kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF].

Pemerintah-pemerintah yang menghadapi ancaman selama ini bergantung pada masa lalu, kata de Borchgrave kepada APDF.

Tiongkok dan Korea Utara merupakan ancaman cyber besar terhadap negara-negara industri dari timur laut Asia. Jepang telah ketinggalan dalam mengembangkan kemampuan keamanan cybernya sendiri selama seperempat abad terakhir.

Industri-industri tetap rentan

Jepang danKorea Selatan memimpin dunia dalam industri yang lebih tua seperti pembuatan mobil, kapal dan peralatan baja. Tetapi mereka tetap rentan terhadap serangan cyber.

"Jepang telah menyaksikan perkembangan berita tentang serangan cyber terhadap Sony Pictures Entertainment dengan penuh perhatian dan mengalami syok tingkat tinggi," Motohiro Tsuchiya, seorang profesor di Universitas Keio, dan akademisi tamu di East-West Center, menulis dalam sebuah blog Dewan Hubungan Luar Negeri pada tanggal 24 Desember.

"Serangan itu ... paling cocok dibandingkan dengan insiden cyber yang mempengaruhi Mitsubishi Heavy Industries [MHI], kontraktor militer terbesar di Jepang, pada akhir 2011. Pelanggaran itu telah menyebabkan pencurian berskala besar informasi militer berteknologi tinggi," tulis Tsuchiya. "Sejak kasus MHI, banyak perusahaan Jepang telah menjadi peka terhadap kemungkinan dampak dari serangan cyber, terutama karena negara-negara telah mulai menargetkan perusahaan swasta.

Tsuchiya mengatakan Korea Utara [Republik Demokratik Rakyat Korea atau DPRK] dapat menjadi "lebih bergantung pada peralatan cyber daripada serangan kinetik dalam rangka meningkatkan kepentingan-kepentingannya."

"Meskipun retorika mereka keras, kepemimpinan DPRK cenderung berhati-hati dalam memperhitungkan dampak dari tindakan mereka jika mereka menyerang atau mengkritik negara-negara asing. ... Kemungkinan tinggi untuk menyangkal serangan cyber dan penggunaan proxy merupakan alternatif yang ideal untuk Pyongyang," tulisnya.

Pada bulan November 2014, Parlemen Jepang mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan cyber ketika Diet Nasional meloloskan Undang-Undang Prinsip Dasar Keamanan Cyber. Undang-undang ini memasukkan komponen internasional.

"Pasal 23 mengharuskan Jepang berkontribusi dalam pengaturan internasional yang meningkatkan keamanan cyber-nya. Jepang telah mengadakan serangkaian pertemuan keamanan cyber dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dan mengadakan pertemuan pertama dengan Uni Eropa pada bulan Oktober 2014," tulis Tsuchiya.

"Peretasan Sony terjadi pada saat yang tepat dan akan menguji tanggung jawab baru Jepang," katanya. "Amerika Serikat dan Jepang harus bekerja sama untuk menjaga keseimbangan dan untuk memastikan Pyongyang tidak membuka ruang di antara posisi mereka."

Dia menunjukkan bahwa Tokyo, sebagai tuan rumah Olimpiade pada tahun 2020, harus memperhatikan potensi serangan cyber Korea Utara menjelang dan selama Olimpiade.

Korea Selatan bereaksi terhadap serangan cyber

Korea Selatan juga memandang serangan cyber Sony sebagai saat yang menggugah kesadaran untuk memutakhirkan keamanan mereka sendiri dan kerja sama internasional.

Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan keamanan cyber menyusul kebocoran data pembangkit listrik tenaga nuklir, British Broadcasting Corp melaporkan pada tanggal 23 Desember.

Kantor berita resmi Yonhap di Korea Selatan mengatakan peretas memposting empat arsip rahasia reaktor ke Twitter minggu sebelumnya.

Park mengatakan peretasan nuklir itu mengungkapkan situasi suram yang tidak dapat diterima. Korea Selatan mencari kerja sama internasional dan terutama kerja sama keamanan lebih dekat dengan Amerika Serikat.

Para pejabat meminta Biro Investigasi Federal AS untuk membantu menemukan si peretas setelah menemukan bahwa alamat IP di beberapa lokasi termasuk Korea Selatan, AS dan Jepang telah digunakan, menurut The Korea Times.

Indonesia memandang serius ancaman itu

Indonesia, dengan jumlah penduduk 250 juta, juga memandang serius ancaman cyber itu.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah memperingatkan bahwa Indonesia berada di ambang perang cyber dan harus mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk bertahan hidup, The Jakarta Post melaporkan pada tanggal 30 Desember.

Kementerian Pertahanan mengklaim bahwa serangan cyber, di sampingterorisme, penyakit dan narkotika, merupakan bahaya terbesar bagi Indonesia, Jakarta Post melaporkan.

Brigjen Jan Pieter Ate, pemimpin Pusat Manajemen Pertahanan kementerian itu, mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa Indonesia sangat lemah dalam pertahanan cyber.

"Ada banyak hal yang harus dikerjakan, termasuk penguatan organisasi, peningkatan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur, jika tidak kita tidak akan siap untuk menangani jenis perang ini," kata Jan.

Indonesia meluncurkan Pusat Operasi Cyber [COC] pertamanya pada bulan Mei di bawah mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Jepang, Korea Selatan, Indonesia mencari keahlian AS

Brigade Perlindungan Cyber Tentara Amerika yang pertama sudah aktif, StrategyPage.com melaporkan pada bulan September.

"Brigade baru ini merupakan bagian dari tentara dan Komando Cyber [USCYBERCOM] baru AS. Di sana mereka akan bergabung dengan tim cyber ofensif baru, yang mulai terbentuk pada tahun 2013. Sedikitnya akan ada 40 tim pada tahun 2015. Pada tahun 2016 tentara juga mengharapkan untuk memiliki sedikitnya tiga Brigade Perlindungan Cyber," lapor situs web itu.

"Komando Cyber mulai beroperasi pada akhir 2010," kata StrategyPage.com. "Sekitar 21.000 tentara ditarik dari berbagai kesatuan sinyal dan intelijen untuk membentuk ARFORCYBER [Komando Cyber Angkatan Darat]. Komando ini mulai beroperasi penuh pada tahun 2012.

"Pada tahun 2009 Angkatan Laut Amerika Serikat membentuk sebuah ‘Korps Dominasi Informasi,’ dalam bentuk markas baru [Armada ke-10], dengan lebih dari 40.000 orang dipindahkan untuk mengawakinya," tambah situs web itu.

"Polanya jelas," kata Ralph Winnie, wakil presiden Koalisi Bisnis Eurasia di Washington, DC, kepada APDF. "Amerika Serikat tetap menjadi bangsa yang sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kami terus memiliki dan mengembangkan kemampuan pertahanan yang tidak bisa dilakukan oleh negara lain."

Langkah apa yang bisa diambil oleh negara-negara Asia untuk membendung ancaman cyber dari Tiongkok, Korea Utara, dan kelompok teroris? Bagi pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.

Tidak ada komentar: