Dipulangkan Turki, 12 WNI Akan Langsung Diperiksa
Otoritas Turki akhirnya memutuskan mendeportasi 12 dari 16 warga negara Indonesia yang hendak menyeberang ke Suriah. Setibanya di Tanah Air, mereka akan langsung diperiksa secara intensif oleh Polri.
"Informasinya dalam waktu dekat akan dideportasi sejumlah 12 WNI yang di Turki kemudian kita siapkan handing over untuk kita lakukan pemeriksaan," kata Wakapolri Komjen Badrodin Haiti usai membuka acara Rakornis Fungsi Lantas Polri 2015 di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (23/3/2015).
Menurut Badrodin, jika dalam pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran pidana terkait pelanggaran Undang-Undang Antiteror maupun aturan imigrasi, mereka akan dipulangkan ke daerah masing-masing.
Terkait aset ke-12 WNI yang diduga telah dijual untuk biaya ke Turki, Polri akan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk mencari pihak keluarga sebelum dipulangkan.
"Masalahnya kalau memang benar mereka juga asetnya sudah dijual, kami cari keluarganya. Kami kerja sama dengan pemerintah daerah masing-masing wilayah, agar mereka dicarikan jalan keluar," jelas Badrodin.
16 WNI ditangkap di perbatasan Suriah dan Turki pada 29 Januari lalu. Tepatnya di Kota Gizantep, 60 kilometer dari perbatasan Turki dengan Suriah. Mereka terdiri dari satu pria, empat wanita, tiga anak perempuan, dan delapan anak laki-laki.
12 orang di antaranya akan dideportasi dalam waktu dekat ini. Sementara, empat orang lainnya dikabarkan tengah hamil dan menunggu persalinan sebelum dipulangkan ke Tanah Air.
Mabes Polri menduga warga negara Indonesia bergabung dengan kelompok ISIS karena motif ekonomi. ISIS menawarkan bayaran cukup tinggi kepada mereka yang ingin bergabung.
Menurut Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Anton Charliyan, ISIS berani membayar puluhan, bahkan hingga ratusan juta bagi yang ingin bergabung dengan kelompok radikal itu.
"Informasinya, orang Indonesia masuk ke sana karena motif ekonomi sebagai tentara bayaran, dari Rp20 juta sampai Rp150 juta per bulan," kata Anton, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/3/2015).
Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Rikwanto, menambahkan informasi terkait ISIS melalui internet disebut tidak memiliki pengaruh besar untuk mengajak setiap orang bergabung sebagai tentara.
Menurut Rikwanto, publik tidak memahami secara rinci mengenai pergerakan dan organisasi ISIS. Iming-iming dapat berjihad sebagai amal dan faktor ekonomi yang mendorong mereka mau bergabung dengan ISIS.
"Kemungkinan dari mereka sudah dicuci otak untuk bisa mendapatkan kehidupan yang layak, berjihad, melakukan ibadah Islam secara kaffah, sehingga mereka mau eksodus ke sana dan tidak mau kembali," terang Rikwanto.
ISIS Targetkan Kuasai Indonesia
Indonesia masuk dalam target ISIS untuk dikuasai. Sistem kebebasan pada arus globalisasi yang dianut Indonesia menjadi penyebab utama mudahnya aliran keras masuk ke dalam negeri.
Tokoh Nahdatul Ulama, As'ad Said Ali mengatakan, dalam waktu lima tahun, negara yang menjadi target kekuasaan ISIS mencapai Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara (Asean), tak terkecuali Indonesia. ISIS mampu menarik anak-anak dalam kegiatannya untuk dilatih dan dicuci otaknya dalam berjihad.
“Pengaruh ISIS telah sampai ke Indonesia, beberapa warga negara Indonesia (WNI) dikabarkan sudah bergabung. Belum lagi, muncul buku pelajaran yang mengajarkan radikalisme,” kata As’ad dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (21/3/2015).
Menurutnya, ISIS akan mengganggu stabilitas negara. Banyak masyarakat yang sudah resah dengan pergerakan ISIS yang semakin menyebar di Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah tegas, agar gerakan yang diklaim jihad itu tidak semakin meluas.
"Pemerintah wajib memastikan agar kebebasan jangan diberikan pada yang anti demokrasi," ujarnya.
Sa'ad menilai, negara harus mendorong penuntasan radikalisme dengan memperbaiki undang-undang anti-teror. Upaya tersebut merupakan langkah pertama pemerintah untuk membatasi penyebaran ISIS di Indonesia.
"UU anti-teror diperbaiki, harus mampu digunakan untuk medeteksi sejak teror itu direncanakan. Percuma, melakukan langkah apapun kalau tidak ada aturan yang jelas, nanti disebut melanggar HAM," ujarnya.
Menurutnya, pemeritah tidak melakukan tindakan nyata mengantisipasi penyebaran ISIS, hingga paham radikal itu masuk ke Indonesia. “Ini adalah momen bagi Pemerintah untuk memerangi radikalisme dan terorisme dengan mengajak banyak pihak, bukan hanya militer. Peran ulama juga dibutuhkan. Kopasus, Densus, memang bisa menindak terorisme. Tapi untuk menangani radikalisme kelompok masyarakat, ulama itu diperlukan, radikalisme itu perang pikiran, tidak bisa diperangi dengan senjata," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar