Jumat, 20 Maret 2015

Remisi bagi Koruptor

Oleh: Victor Silaen
Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan mendapat tanggapan keras.


Pasalnya, di balik itu ada pula rencana pemerintah untuk memberikan remisi kepada terpidana korupsi. Itu dianggap sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Remisi mestinya tidak diobral, tetapi diberikan secara selektif dengan standar akuntabilitas yang tinggi. “Hak warga telah dirampas koruptor. Wajar jika hak koruptor dicabut karena daya rusak korupsi sangat tinggi,” kata Direktur Setara Institute Hendardi (14/3).

Sementara Direktur Human Rights Working Group(HRWG) Indonesia Khoirul Anam mengatakan, rencana Yasonna Laoly sangat jauh dari pedoman Nawacita Presiden Jokowi yang bertekad memberantas korupsi. Sejujurnya, bukankah kita muak mengamati praktik korupsi yang merajalela di negara hukum ini? Jika demikian maka kita sepatutnya bergerak bersama demi menyuarakan penolakan atas rencana Menteri Laoly tersebut.

Sebaliknya, kita harus mendorong pemerintah untuk menghapus pemberian remisi tersebut, entah dengan kebijakan “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan tersebut: demi semakin menggentarkan para koruptor maupun calon koruptor, agar tak mudah melaksanakan niat busuknya.

Kita berharap, dengan adanya kebijakan itu, mereka berpikir seribu kali sebelum berbuat korupsi. Jadi, janganlah merasa iba kepada para koruptor sebab korupsi di sini sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa. Atas dasar itu, bukankah koruptornya layak disebut penjahat luar biasa?

Karena perbuatan merekalah perlahanlahan negara ini bangkrut dan rakyat makin sengsara. Terkait itu, layakkah koruptor mendapatkan diskon masa tahanan? Pantaskah negara berbelas kasihan kepada mereka dan lalu mengurangi masa tahanan yang harus mereka jalani?

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan menghapus remisi bagi koruptor sudah dilaksanakan oleh Menkumham Amir Syamsuddin melalui PP Nomor 99 Tahun 2012 itu. Amir menegaskan dirinya menolak pemberian remisi kepada koruptor. Namun, pemberian remisi merupakan bentuk keadilan bagi terpidana yang mematuhi segala peraturan. “Kami ingin menjadi pembina, bukan penghukum,” ujarnya.

Dalam rapat evaluasi kinerja di Kompleks Parlemen, Senayan, 28 Agustus 2014, Amir mengakui masih banyak kekurangan dalam PP tersebut. Namun, menurut dia, sepanjang diterapkan secara selektif dan benar, PP tersebut masih bisa diterapkan.

Terbukti, memang, pada perayaan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2014, terpidana mafia pajak Gayus Tambunan mendapat remisi lima bulan. Sedangkan mantan jaksa Urip Tri Gunawan, yang terlibat kasus suap dari pengusaha Artalita, yang mendapat potongan hukuman enam bulan.

Kebijakan Menteri Amir waktu itu mendapat kritikan dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan HAM, sebab mendiskriminasi narapidana. Terkait itu saya ingin mengajukan pertanyaan ini: sebaik apakah pemahaman kita tentang HAM? Mengertikah kita tentang bedanya hak asasi dan hak (tanpa “asasi”)?

Siapa sajakah yang mempunyai hak(baik tanpa “asasi” maupun dengan “asasi”) itu? Manusia (persona ) sajakah atau lembaga (non-persona) juga? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, mengingat Indonesia sudah berkali-kali terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB.

Sebagai konsekuensinya, Indonesia tentu harus menghargai dan menegakkan aturan main soal HAM. Terkait itulah maka pemahaman kita perihal HAM itu pun harus betul-betul jelas. Sebab, beberapa tahun silam, Prof Sri Edi Swasono pernah mengatakan bahwa “Indonesia tidak menganut hak asasi individual”.

Menurut dia, Indonesia berbeda dengan dunia Barat yang menganut HAM sebagai hak asasi individual. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hak-hak asasi warga negara lain. HAM di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang sebebas-bebasnya.

Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual. Karena itu, di Indonesia kepentingan masyarakatlah yang utama. Pemikiran seperti ini jelas patut dikritisi. Pertama, setiap manusia di seluruh dunia sama dalam hakikatnya: sama-sama merupakan makhluk sosial. Itu berarti setiap manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkawan dengan sesamanya sehingga karena perkawanan itulah selanjutnya terbentuk perkumpulan-perkumpulan, baik yang kecil maupun besar, baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomis, politis, dan lainnya.

Kedua , setiap manusia telah diberikan Tuhan hak-hak yang tak dapat dicabut oleh pihak manapun juga (inalienable rights ). Itulah yang disebut hak asasi. Hanya manusialah yang menerima hak-hak seperti itu, dan bukan makhluk lainnya, karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Jadi, apa yang disebut HAM itu bersifat given (terberi) dari Tuhan.

Karena itu, hanya Tuhan jualah yang boleh mencabutnya, sedangkan pihak lain tidak boleh termasuk negara. Itulah hak asasi, yang berbeda dengan hak (tanpa “asasi”). Barang milik saya, itu adalah hak saya. Orang lain tak boleh mengambilnya, kecuali dengan seizin saya. Tapi selekas barang itu saya jual, maka hilanglah hak saya atas barang itu.

Itulah hak (tanpa “asasi”), yang dapat saja dicabut atau terlepas dari diri manusia karena sebab atau alasan yang bermacam-macam (alienable rights). Ketiga, pendekatan partikularistik yang memandang HAM di Indonesia berbeda dengan HAM di negara-negara Barat sudah seharusnya diusangkan.

Apalagi ini era globalisasi, yang membuat berbagai pandangan, sikap, dan nilainilai antarbangsa kian lama kian mirip satu sama lain. Salah satunya adalah pemaknaan atas HAM itu tadi: bahwa HAM bersifat universal, yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada semua manusia sebagai makhluk ciptaan-Nyayangsecitra dengan- Nya. Jadi selain bersifat ilahi, HAM itu juga bersifat individual atau tak terbagi (in-divere, asal kata individu).

Demi tercapainya kehidupan manusia yang sungguhsungguh bermartabatlah, negara harus menjamin pemenuhan HAM bagi setiap warga negaranya. Untuk itulah negara membuat hukum sebagai landasannya. Dengan adanya hukum maka tak mungkin kebebasan sebagai HAM menjadi “liar”. Apalagi kita tak hidup di ruang hampa yang tak ada hukum maupun pedoman budayanya.

Kita hidup di ruangruang bersama yang memiliki sejumlah peraturan demi terwujudnya ketertiban hidup bersama. Kondisi-kondisi itulah yang membuat HAM dalam pemenuhannya juga harus diimbangi dengan kewajibankewajiban. Jadi, menghormati HAM orang lain merupakan keniscayaan sebagaimana orang lain pun harus menghormati HAM yang kita miliki, sehingga baik kepentingan individual maupun kepentingan masyarakat sama-sama pentingnya.

HAM juga bersifat dapat diatur (regulable) sekaligus dapat dibatasi (limitable). Bahkan ada juga HAM yang bersifat derogable (dapat ditangguhkan pemenuhannya) karena kondisi-kondisi tertentu, dan sebaliknya nonderogable (tak dapat ditangguhkan pemenuhannya) tak hirau dalam kondisi apapun(Gromme, 2001).

Lantas, bagaimana dengan narapidana? Bahwa mereka terpenjara karena dipenjarakan secara paksa, itu berarti hak asasi mereka (kebebasan) telah dibatasi oleh negara. Itulah kewenangan negara: menghukum orang-orang yang bersalah. Kalau di kemudian hari negara memberi remisi bagi seorang napi, itu sesungguhnya bukan hak si napi melainkan kebijakan negara sendiri.

Jadi terpulang kepada negara, mau mengubah kebijakan pemberian remisi itu atau tidak. Namun, mengingat hari-hari ini sorotan publik dan media pada isu korupsi begitu gencarnya, selayaknyakah Menteri Laoly berpikir seribu kali.

Victor Silaen
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Tidak ada komentar: