Oleh : Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Jurnalis Independen: Teroris di tanah Papua didikan Amerika Serikat dan Auastralia selalu mencari tumbal. Siapa saja rakyat negeri ini
tentu telah merasa bahwa apa yang terjadi di Papua ada yang menggerakkan.
Penggerak
kekacauan dunia sudah bisa dipastikan adalah para penyamun yang ada di negeri
adidaya. Yaitu Amerika Serikat dan konco-konconya. Mereka menjadi penggerak para teroris di Papua, sementara di tempat lain, mereka menggempur masyarakat sipil islam yang dituduh sebagai teroris. Memang negara-negara Eropa kini telah menjadi dukun. Yang setiap omongannya selalu dipercaya pemimpin dan media dunia. Sayangnya, rakyat Papua adalah rakyat yang
bodoh dan mudah dibodohi oleh para penjajah modsel baru seperti AS, Australia, dan
kapitalis dunia lainnya.
Kejadian tewasnya 8 anggota TNI
meski ini menyakitkan bagi TNI dan seluruh anak bangsa, namun kita harus
berkepala dingin menangani ini. Ini hanya babakan awal dari yang pernah saya
tulis di buku Tangan Tangan Amerika(Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan
Dunia) terbitan 2010, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui
rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 7 wilayah, yang mana
salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini adalah bagian
dari BALKANISASI NUSANTARA.
Maka, kejadian tewasnya 8 anggota
TNI, jangan dibaca semata sebagai konsekwensi Perang antara TNI dan OPM, tapi
lebih dari itu, untuk membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang
nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.
Skema dan kebijakan strategis
pemerintahan Obama pasca Bush ini harus dicermati secara seksama. Dengan jargon
demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh
dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Apalagi sebuah badan riset dan
pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang dikenal sering
melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon)
dan atas dukungan dana dari Pentagon, internasionalisasi Aceh ternyata masih
merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario
building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan
bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi
Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan
pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat
sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan
sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup
beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh
Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary
masih berkuasa.
Apa yang diinginkan oleh Pentagon
dari skenario Rand Corporation Clinton..? itu Artinya, skenario ”Balkanisasi
Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk diterapkan oleh Departemen Luar Negeri
Amerika di era Obama dan Hillary Clinton.
Dalam skenario Balkanisasi ini,
akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu
Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthana Habibie. Lalu Aceh,
sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara”
MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu
2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan
sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang
sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini
akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik
Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan
skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi
dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Irian Jaya, akan dipandang oleh
Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa
memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU
Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan
Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien
Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang
sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai
mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia
dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama
dari skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya
yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Motivasi para penentu kebijakan
luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya
daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite
daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang
ini.
Dorongan untuk memperoleh daerah
pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada
hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.
Baik Bush maupun Obama agaknya
menyadari bahwa konstalasi negara-negara di kawasan Amerika Latin yang notabene
merupakan daerah halaman belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk
dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara musuh Amerika.
Perkembangan terkini adalah
menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan sosialis Mauricio Funes.
Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael Correa seorang sosialis
yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Brazil sejak masa kepresidenan
Luis Inacio Lula memprioritaskan pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia
yang menekankan programnya pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan
kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan
warga Indian, dan sebagainya.
Beberapa presiden Amerika Latin
yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden
Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang
belakangan perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika
dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.
Perkembangan beruntun di Amerika
Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika, meski sebagai negara kecil tidak
perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut
tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini
sangatlah mengganggu.
Apalagi ketika hal itu kemudian
memicu kedekatan negara-negara latin tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara,
Iran dan lain sebagainya.
Skenario Kosovo untuk Papua
Merdeka
Ini bukan rumor ini bukan gosip.
Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha
intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada
Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua
secara bertahap.
Menarik juga informasi ini jika
benar. Karena dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan
Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan
Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia.
Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya
agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi
angin.
Beberapa fakta lapangan mendukung
informasi sumber kami di Departemen Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam
dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar
DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT
(FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
Undang-Undang Foreign Relation
Authorization Act (FRAA) Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka
Kalau RUU FRAA ini lolos di
kongres Amerika, maka Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui
serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah
meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan
adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada
warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Skenario semacam ini jelasnya
sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen.
Padahal, skema di balik dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru
diplomasi dan intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington
untuk menggolkan kemerdekaan Papua.
Karena itu, kita harus mewaspadai
beberapa kasus kerusuhan yang meletus di Papua, bahkan ketika pemilihan
presiden 8 Juli 2009 lalu sedang berlangsung.
Mari kita kilas balik barang
sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi paling dramatis, ketika beberapa elemen
OPM menguasai lapangan terbang perintis Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh
disertir tentara, Decky Embiri. Meski demikian, berkat kesigapan aparat TNI,
pada 20 Juni 2009 berhasil dipukul mundur.
Namun provokasi OPM nampaknya
tidak sampai di situ saja. 24 Juni 2009, OPM menyerang konvoi kendaraan polisi
menuju Pos Polisi Tingginambut. Konvoi diserang di kampung Kanoba, Puncak
Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini
hanya 50 meter dari pos milik TNI.
Dalam kejadian di Tingginambut ini,
seorang anggota Brimob Polda Papua tewas tertembak. Singkat cerita, inilah
sekelumit kisah bagaimana sepanjang tahun 2009 ini OPM telah melakukan
penyerangan di kawasan Tingginambut hingga tujuh kali serangan.
Jika kita cermati melalui manuver
politik politisi Demokrat menggolkan RUU FRAA di Washington dengan kejadian
kerusuhan berantai di Papua, bisa dipastikan kedua kejadian tersebut berkaitan
satu sama lain.
Dalam teori operasi intelijen,
serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri,
maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya
polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang
kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya
bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden
Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan
bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton
mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas
politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang
dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM
asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap
ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM.
Tapi sebenarnya ini skenario kuno
yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu
hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai
Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.
Isu-isu HAM, memang menjadi
”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu
pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal
konflik di Papua.
Di sinilah sisi rawan UU FRAA
jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam salah satu klausulnya, mengharuskan
Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait
pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.
Bisa jadi inilah salah satu
kesepakatan diam-diam antara Obama dan LSM-LSM pro OPM ketika pri alumni
Fakultas Hukum Universitas Harvard ini masih menjadi calon presiden. Jika
memang benar, Obama berada dalam tekanan kuat untuk mendukung agenda ini lolos di
kongres.
Pelanggaran HAM memang harus
diakui menjadi isu sentral yang diangkat beberapa LSM pro OPM. Misalnya saja
West Papua People’s Representative and OPM. Kelompok ini selain mengembangkan
website wpik.org, menurut berbagai sumber juga mendapat dana dari sejumlah
perusahaan asing.
Meski OPM belum sekuat GAM Aceh
dalam menancapkan pengaruh-pengaruhnya di kalangan elit dan kelompok-kelompok
basis di Papua, namun lobi-lobi OPM dengan dukungan beberapa LSM asing memang
tidak sekali-kali untuk diremehkan.
20 Juli 2005 lalu misalnya,
berhasil meloloskan sebuah draft RUU yang salah satu klausulnya, mempertanyakan
kembali keabsahan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dalam mendukung
kemerdekaan Papua. Sekaligus juga mengkritik pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
RUU yang kelak dikenal dengan HR
(House of Representatives) 2601 itu, akhirnya sempat beredar dua versi
informasi. Yang pertama mengatakan telah dicabut karena mengagendakan Papua
sekarang ini sudah tidak relevan lagi sehingga tidak akan menjadi hukum. Adapun
versi kedua justru masih beranggapan RUU yang membahas penelitian ulang atas
proses masuknya Papua ke Indonesia sampai sekarang belum dibatalkan.
Sebaiknya kita di Indonesia lebih
mempercayai versi kedua ini. Mengingat versi ini justru disampaikan oleh Ketua
Sub-komisi Asia-Pasifik dalam komisi Hubungan Luar Negeri Kongres Amerika.
Dan yang harus lebih diwaspadai
lagi, HR2601 tersebut lingkupnya juga bisa mencakup semua kasus dan isu serupa
yang terjadi di dunia. Meskipun bisa-bisa saja yang menyatakan secara eksplisit
kasus Papua Barat sudah dihapuskan. Namun secara substansial, kasus Papua tetap
saja dalam pantauan dan penelitian para anggota kongres Partai Demokrat.
Beberapa Sosok Asing di balik
Gerakan Pro Papua Merdeka
Salah satu sosok yang harus
dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black Caucuses Amerika yang
mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan koloni Belanda di Kongres
Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari American Samoa ini memimpin
sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua
akan merdeka.
Pengaruh tokoh satu ini ternyata
tidak bisa dianggap enteng. Pada 2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri
AS terpaksa mengeluarkan menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002.
Disebutkan bahwa Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera
merupakan pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.
Bayangkan saja, Departemen Luar
Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega.
Dan ternyata manuver Eni tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia
bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang temannya
dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri John Howard,
agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari suaka di di
Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran HAM TNI.
Di Australia, Bob Brown, politisi
Partai Hijau Australia, juga santer mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan
mendesak pemerintahan Howard ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan
Papua. Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai
kompensasi, pemerintah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari
suaka asal Papua.
Tentu saja hubungan diplomatik
Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga
Papua cari suaka ke Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan”
Australia yang memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya,
permintaan suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas
menjalankan operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan
intelijen asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen
Indonesia.
Dan isyarat ini secara gamblang
dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS.
Menurut Widodo, pemberian visa sementara kepada warga Papua oleh Australia,
telah membenarkan adanya spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang
membantu usaha kemerdekaan Papua.
Menurut penulis, dan kami-kami di
Global Future Institute, pernyataan Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau
serangan halus terhadap gerakan asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya
bukan sekadar adanya elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan
Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan target utama adanya Papua
Merdeka terpisah dari NKRI.
Selain Amerika dan Australia,
manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga harus dicermati secara intensif.
15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang dinamakan International Parliaments
for West Papua (IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali
mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara
ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan
begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum
di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di
Papua di bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah ini sebuah agenda
berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB
meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat
(pepera) 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi
HAM di Papua.
Agar kita sebagai elemen bangsa
yang tidak ingin kehilangan provinsi yang kedua kali setelah Timor Timur, ada
baiknya kita mencermati skenario Kosovo merdeka.
Kosovo terpisah dari negara
bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan didahului adanya tuduhan
pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat dianggap mempunyai kesamaan
latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan Serbia dipandang punya track
record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan
isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian
PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .
Seperti halnya juga dengan Kosovo
yang memiliki nilai strategis dalam geopolitik di mata Amerika dan Inggris,
untuk menghadapi pesaing globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika
perusahaan tambang Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua
aset ekonomi mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus
untuk strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik,
khususnya Asia Tenggara.
Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia ada rencana hendak
dibelah dengan memakai model Polinesia (negara pulau) di Lautan Pasifik.
Sehingga mulai beredar pengguliran Isu Negara Timor Raya di Provinsi Nusa
Tenggara Timur mulai santer terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi
tiga negara dengan berdasar pada klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan
rincian sebagai berikut:
A. Aceh, Riau dan United
Borneao(Kalimantan).
B. Pusat wisata dan seni dunia
semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
C. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus
Jakarta.
MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan
terkini berdasarkan prakarsa dua anggota Kongres AS untuk menggolkan seruan
resolusi agar Baluchistan diberi hak sejarah menentukan nasib sendiri dan
negara sendiri, lepas dari Pakistan, maka Global Future Institute merasa perlu
mengingatkan kemungkinan langkah langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika
Serikat dan Sekutu-sekutu Eropanya:
1. Melakukan Internasionalisasi
Isu Provinsi yang bermaksud ingin merdeka dan lepas dari negara induknya.
Keberhasilan prakarsa dua anggota Kongres AS menggolkan resolusi Baluchistan,
bisa jadi preseden bagi langkah serupa terhadap Papua.
2. Seiring dengan keberhasilan
gerakan meng-internasionalisasi provinsi yang diproyeksikan akan jadi merdeka,
maka REFERENDUM kemudian dijadikan pola dan modus operandi memerdekakan sebuah
provinsi dan lepas dari negara induk.
Demikian, semoga menjadi perhatian
dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang otoritas pemerintahan.@Sumber :Global Future Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar