Kematian
Mengenaskan Bu Dewi Istri Cepi Pelukis ½ Gila
Desa Sukro sebelum kedatangan warga baru dari keluarga pak Cepi yang
berasal dari kota, dirasakan tentram dan nyaman. Jika warga pergi keluar rumah
di malam hari tiada rasa takut sedikitpun. Namun sepeninggal istri pak Cepi,
seolah ketentraman dan kenyaman warga desa Sukro hilang tiada berbekas. Suasana
desa itu berganti mencekam penuh rasa ketakutan.
Bagaimana tidak? Setelah kematian bu Dewi istri pak Cepi yang dianggap
tidak wajar. Tersebar gosip, juga maraknya isyu kemunculan sosok – sosok aneh.
Warga sering mendengar suara – suara aneh seperti tangisan di setiap malam
Jum’at. Hal ini benar – benar membuat semua warga desa Sukro di buat
kalangkabut ketakutan.
Sebetulnya, kedatangan
keluarga pak Cepi di desa Sukro pada awalnya diterima dengan tangan terbuka
oleh semua warga desa. Apalagi pak Cepi dan istrinya yang bernama bu Dewi serta
dua anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA begitu baik
terhadap warga desa. Bahkan kebaikan pak Cepi dan keluarganya tak akan pernah mudah
dilupakan sepanjang hayat. Barangkali perihal sumbangsihnya atas pembuatan
jalan aspal mulai perbatasan desa tetangga dengan desa Sukro yang menghabiskan
dana sekitar Rp. 300 jutaan. Dana sebesar itu semuanya ditanggung oleh keluarga
pak Cepi. Warga desa Sukro hanya membantu tenaga plus menyediakan makanan. Hal
itu dilakukan warga selama ikut kerja bakti pembuatan jalan tembus ke desa
tetangga.
Oleh karena itu walau
sepeninggal istri pak Cepi yang di anggap aneh dan penuh kejanggalan, semua
warga tidak ada yang berani mempertanyakannya kepada pak Cepi. Jangankan warga
desa, Kepala Desa serta pak Camat-nya saja tidak berani menanyakan ihkwal kematiannya.
Mungkin dikarenakan ada rasa sungkan terhadap kebaikan pak Cepi dan bu Dewi
semasa hidupnya. Kecuali hanya Polisi dan Dokter Forensik yang kelihatan banyak
bertanya kepada pak Cepi perihal awal mula dan kronologis sebelum kematian bu
Dewi istri pak Cepi.
Kematian bu Dewi dengan
meninggalkan bekas – bekas keanehan dan kejanggalan di sekujur tubuhnya. Hal
itu memang menyisakan tanda tanya besar bagi semua orang yang melihat langsung
jenazah bu Dewi yang tergelatak di kamar tidurnya. Keanehan yang ditampakkan si
mayat juga menjadi perhatian termasuk Dokter Forensik yang turut memeriksa
Jenazahnya serta beberapa Polisi yang melakukan penyelidikan di lokasi kamar
yang terletak dilantai dua. Dari hasil olah TKP oleh pihak Polisi, sementara
memang menyisakan sebuah teka – teki tersendiri. Sebab menurut Ilmu
Kriminologi, banyak sekali keanehan dan kejanggalan di luar nalar ataupun di
luar logika. Begitu juga hasil sementara Otopsi Jenazah yang di lakukan Dokter
Forensik, membuat kening berkerut. Merujuk kepada Ilmu kedokteran, kondisi
mayat sungguh menakjubkan sekaligus bikin keder bin klenger tujuh keliling bagi
para Dokter Forensik.
“coba bayangkan . . , mana ada manusia hampir disekujur tubuhnya
bersisik seperti ular ? Kulit tubuhnya belang – belang hitam dan abu – abu
bersisik mirip sisik ular. Tapi anehnya hasil laboratorium tidak ada ditemukan
dalam darah korban racun ular ataupun senyawa yang berbanding lurus dengan
genetika hewan seperti Ular. Sama sekali nihil, sungguh aneh bin ajaib pak.
Apalagi dalam dunia kedokteran, tidaklah mungkin seorang manusia bersisik ular
!”, demikian celotehan salah satu Dokter
Forensik saat sedang berdiskusi dengan beberapa aparat dari kepolisian.
“iya Dok . . , kami juga heran kok. Sewaktu memeriksa pintu kamarnya
dalam keadaan terkunci dari dalam, malahan kami mendobrak pintu agar kami bisa
masuk ke kamar bu Dewi itu. Tapi kenapa di leher kiri dan kanan korban terlihat
ada semacam bekas gigitan ular ? leher sebelah kiri dan kanan berlobang kecil
namun anehnya tidak terlihat bekas adanya ceceran darah dari kedua sisi leher
si korban. Kemudian di samping Jenazah ada berbagai macam sesajen alias sarandu
dan tempat bakaran kemenyan serta ditemukannya secarik kertas yang diduga bertuliskan
mantera - mantera. Ini memang aneh dan baru pertama seumur hidup saya jadi
polisi menemukan kasus seperti ini”, timpal beberapa Polisi dari unit Reskrim yang mencoba menerangkan
kebingungan rekannya dalam kasus kematian bu Dewi ini.
Saat korban ditemukan
meninggal, berawal ketika pembantunya yang bernama Inah serta kedua anaknya
Mezia dan Liza mencoba mengetuk pintu kamar. Dari dalam pintu kamar yang
ditempati bu Dewi tak sedikitpun merespon ketukan pintu itu. Padahal, bu Dewi
sudah berhari - hari tidak kelihatan keluar kamarnya. Kepanikanpun mulai
melanda seisi rumah. Sedangkan pak Cepi sendiri waktu itu sudah seminggu di
luar kota. Maka diambil keputusan untuk segera memberitahukan kepada pengurus
RT setempat dan beberapa tetangganya untuk membantu Mezia, Liza dan Inah
mendobrak pintu kamar bu Dewi.
“jangan dulu di dobrak neng ! Kita beritahu Polisi dulu, biar kalau
terjadi apa –apa didalam kamar, kita tidak disalahkan”, saran pak RT dan beberapa warga yang ikut
bergerombol didepan kamar bu Dewi. Tak berapa lama pak RT-pun segera
menghubungi Polisi. Sedangkan beberapa warga lainnya turut berjaga – jaga di
depan kamar bu Dewi. Sebagian warga lainnya mencoba menenangkan Liza, Mezia dan
Inah. Kurang lebih seperempat jam, dari kejauhan sayup terdengar suara sirine
dari mobil Polisi. Sirine itu mengagetkan warga yang sedari tadi sudah
bergerombol kumpul disekitar rumah pak Cepi. Beberapa Polisi yang turun dari
dua kendaraan Patroli berhamburan keluar menuju masuk ke rumah pak Cepi.
Setelah beberapa saat Inah,
Liza dan Mezia di cecar pertanyaan oleh polisi. Kemudian diputuskan untuk mendobrak kamar bu Dewi yang
terkunci dari dalam. Dua polisi dibantu warga mencoba beberapakali mendobrak
pintu kamar secara bergantian. Saking kokohnya pintu kamar bu Dewi, membutuhkan
waktu lama baru bisa terbuka pintunya.
Ketika pintu kamar terbuka
karena di dobrak paksa, semua orang terbelalak kaget melihat bu Dewi sudah
tergelatak tak bernyawa. Keruan saja melihat hal itu, kedua anaknya meraung
menangis sejadi - jadinya. Tak terkecuali pembantunya yang bernama Inah. Mereka
bertiga menangis menjerit seperti orang kesakitan.
Inah adalah sosok pembantu setia di keluarga pak Cepi. Sejak usia 13 tahun
Inah sudah bekerja di rumah pak Cepi sebagai pembantu. Namun dikarenakan kebaikan pak Cepi dan bu Dewi,
Inah-pun di biayai sekolah untuk melanjutkan ke jenjang SMP hingga tamat SMA.
Bahkan Inah sewaktu nikah-pun semua biaya pernikahannya ditanggung semua oleh
keluarga pak Cepi dan bu Dewi ini. Makanya tak heran, ketika bu Dewi meninggal
dunia, Inah juga merasa sangat kehilangan sosok seorang ibu. Bu Dewi dan pak
Cepi serta kedua anaknya, sudah menganggap Inah sebagai bagian dari keluarganya.
Sementara itu di saat tewasnya bu Dewi, pak Cepi kebetulan sedang bepergian ke
kota untuk mengantarkan beberapa pesanan lukisan.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar