Senin, 11 Maret 2013

Dendam Korban Pesugihan (4)


Kematian Mengenaskan Bu Dewi Istri Cepi Pelukis ½ Gila

Desa Sukro sebelum kedatangan warga baru dari keluarga pak Cepi yang berasal dari kota, dirasakan tentram dan nyaman. Jika warga pergi keluar rumah di malam hari tiada rasa takut sedikitpun. Namun sepeninggal istri pak Cepi, seolah ketentraman dan kenyaman warga desa Sukro hilang tiada berbekas. Suasana desa itu berganti mencekam penuh rasa ketakutan.

Bagaimana tidak? Setelah kematian bu Dewi istri pak Cepi yang dianggap tidak wajar. Tersebar gosip, juga maraknya isyu kemunculan sosok – sosok aneh. Warga sering mendengar suara – suara aneh seperti tangisan di setiap malam Jum’at. Hal ini benar – benar membuat semua warga desa Sukro di buat kalangkabut ketakutan.

     Sebetulnya, kedatangan keluarga pak Cepi di desa Sukro pada awalnya diterima dengan tangan terbuka oleh semua warga desa. Apalagi pak Cepi dan istrinya yang bernama bu Dewi serta dua anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA begitu baik terhadap warga desa. Bahkan kebaikan pak Cepi dan keluarganya tak akan pernah mudah dilupakan sepanjang hayat. Barangkali perihal sumbangsihnya atas pembuatan jalan aspal mulai perbatasan desa tetangga dengan desa Sukro yang menghabiskan dana sekitar Rp. 300 jutaan. Dana sebesar itu semuanya ditanggung oleh keluarga pak Cepi. Warga desa Sukro hanya membantu tenaga plus menyediakan makanan. Hal itu dilakukan warga selama ikut kerja bakti pembuatan jalan tembus ke desa tetangga.

     Oleh karena itu walau sepeninggal istri pak Cepi yang di anggap aneh dan penuh kejanggalan, semua warga tidak ada yang berani mempertanyakannya kepada pak Cepi. Jangankan warga desa, Kepala Desa serta pak Camat-nya saja tidak berani menanyakan ihkwal kematiannya. Mungkin dikarenakan ada rasa sungkan terhadap kebaikan pak Cepi dan bu Dewi semasa hidupnya. Kecuali hanya Polisi dan Dokter Forensik yang kelihatan banyak bertanya kepada pak Cepi perihal awal mula dan kronologis sebelum kematian bu Dewi istri pak Cepi.

    Kematian bu Dewi dengan meninggalkan bekas – bekas keanehan dan kejanggalan di sekujur tubuhnya. Hal itu memang menyisakan tanda tanya besar bagi semua orang yang melihat langsung jenazah bu Dewi yang tergelatak di kamar tidurnya. Keanehan yang ditampakkan si mayat juga menjadi perhatian termasuk Dokter Forensik yang turut memeriksa Jenazahnya serta beberapa Polisi yang melakukan penyelidikan di lokasi kamar yang terletak dilantai dua. Dari hasil olah TKP oleh pihak Polisi, sementara memang menyisakan sebuah teka – teki tersendiri. Sebab menurut Ilmu Kriminologi, banyak sekali keanehan dan kejanggalan di luar nalar ataupun di luar logika. Begitu juga hasil sementara Otopsi Jenazah yang di lakukan Dokter Forensik, membuat kening berkerut. Merujuk kepada Ilmu kedokteran, kondisi mayat sungguh menakjubkan sekaligus bikin keder bin klenger tujuh keliling bagi para Dokter Forensik.

     “coba bayangkan . . , mana ada manusia hampir disekujur tubuhnya bersisik seperti ular ? Kulit tubuhnya belang – belang hitam dan abu – abu bersisik mirip sisik ular. Tapi anehnya hasil laboratorium tidak ada ditemukan dalam darah korban racun ular ataupun senyawa yang berbanding lurus dengan genetika hewan seperti Ular. Sama sekali nihil, sungguh aneh bin ajaib pak. Apalagi dalam dunia kedokteran, tidaklah mungkin seorang manusia bersisik ular !”, demikian celotehan salah satu Dokter Forensik saat sedang berdiskusi dengan beberapa aparat dari kepolisian.

     “iya Dok . . , kami juga heran kok. Sewaktu memeriksa pintu kamarnya dalam keadaan terkunci dari dalam, malahan kami mendobrak pintu agar kami bisa masuk ke kamar bu Dewi itu. Tapi kenapa di leher kiri dan kanan korban terlihat ada semacam bekas gigitan ular ? leher sebelah kiri dan kanan berlobang kecil namun anehnya tidak terlihat bekas adanya ceceran darah dari kedua sisi leher si korban. Kemudian di samping Jenazah ada berbagai macam sesajen alias sarandu dan tempat bakaran kemenyan serta ditemukannya secarik kertas yang diduga bertuliskan mantera - mantera. Ini memang aneh dan baru pertama seumur hidup saya jadi polisi menemukan kasus seperti ini”, timpal beberapa Polisi dari unit Reskrim yang mencoba menerangkan kebingungan rekannya dalam kasus kematian bu Dewi ini.

     Saat korban ditemukan meninggal, berawal ketika pembantunya yang bernama Inah serta kedua anaknya Mezia dan Liza mencoba mengetuk pintu kamar. Dari dalam pintu kamar yang ditempati bu Dewi tak sedikitpun merespon ketukan pintu itu. Padahal, bu Dewi sudah berhari - hari tidak kelihatan keluar kamarnya. Kepanikanpun mulai melanda seisi rumah. Sedangkan pak Cepi sendiri waktu itu sudah seminggu di luar kota. Maka diambil keputusan untuk segera memberitahukan kepada pengurus RT setempat dan beberapa tetangganya untuk membantu Mezia, Liza dan Inah mendobrak pintu kamar bu Dewi.

    “jangan dulu di dobrak neng ! Kita beritahu Polisi dulu, biar kalau terjadi apa –apa didalam kamar, kita tidak disalahkan”, saran pak RT dan beberapa warga yang ikut bergerombol didepan kamar bu Dewi. Tak berapa lama pak RT-pun segera menghubungi Polisi. Sedangkan beberapa warga lainnya turut berjaga – jaga di depan kamar bu Dewi. Sebagian warga lainnya mencoba menenangkan Liza, Mezia dan Inah. Kurang lebih seperempat jam, dari kejauhan sayup terdengar suara sirine dari mobil Polisi. Sirine itu mengagetkan warga yang sedari tadi sudah bergerombol kumpul disekitar rumah pak Cepi. Beberapa Polisi yang turun dari dua kendaraan Patroli berhamburan keluar menuju masuk ke rumah pak Cepi.

     Setelah beberapa saat Inah, Liza dan Mezia di cecar pertanyaan oleh polisi. Kemudian  diputuskan untuk mendobrak kamar bu Dewi yang terkunci dari dalam. Dua polisi dibantu warga mencoba beberapakali mendobrak pintu kamar secara bergantian. Saking kokohnya pintu kamar bu Dewi, membutuhkan waktu lama baru bisa terbuka pintunya.

     Ketika pintu kamar terbuka karena di dobrak paksa, semua orang terbelalak kaget melihat bu Dewi sudah tergelatak tak bernyawa. Keruan saja melihat hal itu, kedua anaknya meraung menangis sejadi - jadinya. Tak terkecuali pembantunya yang bernama Inah. Mereka bertiga menangis menjerit seperti orang kesakitan.

Inah adalah sosok pembantu setia di keluarga pak Cepi. Sejak usia 13 tahun Inah sudah bekerja di rumah pak Cepi sebagai pembantu. Namun  dikarenakan kebaikan pak Cepi dan bu Dewi, Inah-pun di biayai sekolah untuk melanjutkan ke jenjang SMP hingga tamat SMA. Bahkan Inah sewaktu nikah-pun semua biaya pernikahannya ditanggung semua oleh keluarga pak Cepi dan bu Dewi ini. Makanya tak heran, ketika bu Dewi meninggal dunia, Inah juga merasa sangat kehilangan sosok seorang ibu. Bu Dewi dan pak Cepi serta kedua anaknya, sudah menganggap Inah sebagai bagian dari keluarganya. Sementara itu di saat tewasnya bu Dewi, pak Cepi kebetulan sedang bepergian ke kota untuk mengantarkan beberapa pesanan lukisan.@bersambung

Tidak ada komentar: