Ruh
Jendra Diculik dan Dibawa ke Kerajaan Siluman Rawa Onom
Setelah
dinyatakan mati, ditemukan mayatnya, Jendra dimakamkan oleh Bendara Wedana.
Padahal Jendra sendiri pada saat itu tengah berusaha dari belantara rawa onom
pulau Majeti. Ia berjuang menemukan jalan keluar dari hutan yang menjadi tempat
tinggal dan kekuasaan kerajaan siluman rawa onom.
Mendengar cerita ini, maka untuk
yang kedua kalinya Jendra kembali pingsan dan tak sadarkan diri. Namun pingsan dan
tak sadarkan diri ini hanyalah ukuran orang lain. Sebab untuk dirinya sendiri, sebenarnya
dia tetap memiliki kesadaran. Yang sebenarnya terjadi, dia waktu itu tengah telentang di
atas hamparan permadani. Jendra mengenal permadani bagus yang terhampar di ruang tengah
rumah Bendara Wedana.
Namun hamparan permadani yang ini
jauh lebih halus dan jauh lebih tebal. Kalau Jendra pernah mendengar ada
permadani terbaik buatan Negri Parasi (Persia), maka barangkali inilah
permadaninya. Kepala Jendra pun beralaskan bantal empuk dengan sarung bantal
terbuat dari kain sutera paling halus berwarna biru tua. Sementara permadani
tebal dan empuk itu berwarna merah dengan paduan warna-warna semarak lainnya.
"Di mana aku?" gumamnya
meneliti ke langit-langit yang berwarna biru muda dan menyegarkan pandangan mata. "Engkau berada di rumah Nyi Indangwati
..." terdengar jawaban suara halus seorang perempuan. Dengan terkejut Jendra
pun melirik ke arah datangnya suara. Memang benar, yang barusan menjawab
pertanyaannya itu adalah seorang perempuan cantik dengan mata
bening, hidung mancung kecil dan
bibir tipis. Perempuan muda usia sekitar 17 itu memakai
kain kebaya warna nila, begitu
pun bagian bawahnya, sama berwarna nila hanya memiliki
corak batik.
"Siapakah engkau,
Nyai?" tanya Jendra hendak bangkit, namun badannya terasa lemah tak
bertenaga. "Saya Naimah, pengganti
Nyi Indangwati, Kakang ..." sahut gadis mungil itu.
"Nyi Indangwati?" Jendra
mengingat-ingat. O, ya. Diakah gadis manis di hutan asing itu,
pikir Jendra. "Mengapa saya
ada di sini? Bukankah tadi saya ada di rumah majikan saya?"
tanya Lendra bingung.
"Ah, apalah artinya sebuah
tempat. Hidup kita ini sebenarnya tak memiliki sekat-sekat. Hanya
karena keterbatasan diri kita
saja maka sepertinya hidup kita dibatasi oleh ruang dan waktu, "
kata gadis itu membuat Jendra
bingung menyimaknya.
"Bisakah Nyai terangkan,
mengapa saya ada di sini sekarang?" tanya lagi Jendra.
"Itu lantaran jasa Kakang
terhadap Nyi Indangwati. Hanya jasa Kakang saja yang
menyebabkan majikan saya selamat
tiba di kediamannya, "tutur gadis itu.
Jendra teringat kembali peristiwa
beberapa hari lalu. Betapa dia telah membantu merawat luka
panah yang diderita Nyi
Indangwati.
"O, ya ... saya sudah kenal
dengan Nyi Indangwati," gumam Lendra membayangkan gadis
berkulit langsat berlesung pipit
itu. Dan sementara ingat Nyi Indangwati, maka dada Lendra
bergetar aneh.
"Siapakah sebetulnya Nyi
Indangwati itu?" gumamnya lagi. Namun kali ini hanya dibalas
dengan tawa cekikikan dari gadis
yang menjaga di sampingnya. Sudah barang tentu Jendra
menoleh. Mengapa pertanyaannya
dirasa lucu untuk gadis itu?
"Bagaimana tidak lucu,
Kakang. Tadi Kakang katakan sudah kenal Nyi Indangwati. Tapi kini
malah tanya lagi? " kata
gadis itu kembali tersenyum renyah sambil menutupi mulutnya
dengan punggung tangannya yang
mulus.
"Saya hanya tahu namanya
saja. Sementara, hal-hal lainnya saya tak tahu ..." gumam Lendra.
"Nyi Indangwati itu putri
tunggalnya Sang Prabu Selang Kuning ..." kata gadis bernama Naimah ini.
Jendra terkejut mendengarnya.
"Maksud, Nyi Indangwati itu putri seorang raja?" tanya Jendra melirik
kembali pada Naimah. Naimah pun mengangguk mengiyakan. "Heran, seingat
saya di zaman ini jabatan paling tinggi di daerah hanyalah bupati. Keatasnya, ya
Gubernur Jenderal di Batavia sana .... " gumam Lendra lagi.
"Ah ... apalah artinya
sebuah jaman. Sudah saya katakan, untuk hal-hal tertentu, kehidupan ini
tak dibatasi ruang dan waktu. Di
sini tak ada bupati atau gubernur jenderal. Sebab yang ada
hanyalah penguasa tunggal
Pemerintah Pulo Majeti bernama Prabu Selang Kuning, "tutur
Naimah.
"Pulo Majeti? Seingat saya,
itu hanyalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah rawa, Rawa
onom namanya ... "
"Ssst ... Jangan bilang
onom. Juragan Selang Kuning adalah Prabu Anom. Jangan mengganti
kata Anom dengan onom, ya? "
cegah Naimah menempelkan telunjuk ke depan mulutnya
yang tipis manis.
"Anom dan bukan onom,
ya?" tanya Jendra.
"Iya, sebab onom adalah kata-kata
lecehan dari orang Kerajaan Galuh terhadap kami," kata
Naimah.
Jendra mendadak terkejut. Dia
teringat kembali pertempuran di sebuah hutan lebat berawa
hari-hari belakangan. Ada jeritan
prajurit yang ingin membunuh Prabu Selang Kuning.
"Apakah Pemerintah Pulo
Majeti pernah diserbu Pasukan Kerajaan Galuh?" Jendra mendadak
mengajukan pertanyaan seperti
itu.
"Ya, bahkan pemerintah kami
kerap diserbu tim-tim kecil dari Galuh. Secara diam diam,
mereka inginkan nyawa Sang Prabu.
Minggu lalu sudah terjadi lagi penyerbuan dan Nyi
Indangwati yang tengah bermain di
taman terkena serangan anak-panah orang Galuh, "kata
Naimah mengepal tinju seperti
marah.
Jendra terkejut namun dia hanya
berdiam diri saja. Bahu Nyi Indangwati bukan terkena
serangan anak-panah prajurit
Galuh tapi oleh anak-panah milik Bendara Wedana dan bukan di
sebuah pertempuran. Ini aneh.
Tapi tentu Jendra tak mau mendebatnya.
"Apa yang Nyi Indangwati inginkan
dari saya, Nyai?" tanya Jendra memindahkan diskusi.
"Ya, seperti saya katakan
tadi. Dia inginkan memberikan tanda terima-kasih."
"Seperti apa?"
"Ah, masa saya harus mendahului apa yang akan dikerjakan majikan
saya?" potong Nyi Naimah.
Jendra terdiam. "Tidurlah
Kakang sebab kau tentu membutuhkan istirahat yang baik," tutur Nyi Naimah.
Dan Jendra kembali tertidur sebab matanya mendadak mengantuk. Ketika siuman, Jendra
menyebut-nyebut nama Nyi Naimah.
"Naimah ... Naimah ..."
gumamnya. Kerongkongannya terasa kering dan maksudnya mau
minta minum pada Nyi Naimah.
Namun yang jawab hanya suara parau seorang lelaki.
"Hai, siapakah Naimah itu, Jendra?"
tanya suara parau itu. Sedangkan Jendra membuka
matanya, yang tampak adalah wajah
Mang Sajum, sesama pegawai di Kewedanaan Rancah.
"Minum ... Minum ..."
keluh Jendra sebab kerongkongannya serasa tercekik saking keringnya.
Mang Sajum menyodorkan air putih
yang barusan dituangkannya dari sebuah kendi tanah liat.
Jendra minum dengan tergesa-gesa
sebab tak sabar akan haus dan dahaga. Namun ketika air
masuk, perutnya terasa pedih dan
sakit.
"Pelan-pelan, sebab kau
lebih dari seminggu tak makan dan tak minum," kata Mang Sajum.
"Aneh sekali Jendra, ketika
kuburmu digali, tak ada jasad kamu," sambung Mang Sajum .
Jendra terkejut dan tersinggung.
"Saya kan belum mati. Mengapa musti ada kubur saya, Mang Sajum?"
katanya mengerutkan dahi.
"Itulah yang menggemparkan
semua orang. Tidak saja di sekitar Rancah sini, tapi pun sampai
ke Kota Ciamis sana ... "
tutur Mang Sajum bingung.
"Sepuluh hari lalu kau
ditemukan tewas ..."
"Katanya seminggu
lalu?"
"Ya. Tapi tiga hari lalu
begitu bangun kau pingsan lagi, tiga hari lamanya ..." potong Mang
Sajum. @bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar