Di Dataran Tinggi Dieng terdapat anak-anak berumur sekitar 1 – 7 tahun berambut gimbal. Rambut gimbal ini bukan sengaja dibikin seperti para rasta di pantai-pantai. Rambut gimbal ini terjadi setelah mengalami suatu gejala sakit demam dan dipercaya merupakan titipan dari nenek moyang mereka yang sekarang menjadi penguasa alam gaib Dieng, yaitu Kyai Kolodete.
Sebenarnya jika kita pelajari
lebih dalam, rambut gembel ini juga kurang pas rasanya jika dikatakan tumbuh
secara tiba-tiba. Ada ciri-ciri atau gejala awal sebelum rambut gembel ini
muncul pada anak-anak. Gejala yang akan timbul bukanlah sebuah kejadian yang
sangat unik dan berbeda dari hal yang sudah ada. Gejala itu adalah sakit demam.
Biasanya demam tinggi dialami oleh anak-anak yang akan ditumbuhi gembel. Namun,
yang hingga sekarang masih menjadi permasalahan bagi warga khususnya orang tua
anak yang akan ditumbuhi gembel adalah tidak ada perbedaan antara sakit demam
biasa dengan sakit demam awal kemunculan gembel.
Kebanyakan orang tua tekadang
bingung dan mengira demam yang menimpa anak mereka adalah penyakit biasa yang
bisa disembuhkan dengan tindakan medis tetapi ketika sudah dilakukan, sang anak
malah tak kunjung sembuh dan tetap menderita demam tinggi. Para orang tua pun
menjadi panik dan berusaha kesana kemari mencari cara untuk menyembuhkan anak
mereka. Ketika semua cara yang terpikirkan sudah dilakukan dan si anak belum
juga sembuh, biasanya yang terjadi
adalah muncul gumpalan kecil baik satu ataupun lebih di kepala si anak pada
pagi hari.
Hal itu menjadi pertanda bagi
orang tua bahwa anak mereka kelak akan menjadi anak berambut gembel.
Kekhawatiran secara cepat menghilang karena anak yang sudah mulai tumbuh rambut
gembelnya pasti akan mengalami kesembuhan secara alamiah tanpa perlu tindakan
lanjutan dari pihak medis. Setelah sembuh, anak yang telah dikaruniai gembel
ini akan menjadi lebih aktif disbandingkan dengan anak lain ataupun pribadi
anak itu sendiri saat masih normal. Selain itu, dipercaya bahwa anak yang telah
mendapat gembel akan lebih kebal terhadap kejadian merugikan yang ada di
sekitar mereka.
Walaupun hanya anak-anak yang
bisa memiliki rambut gembel tetapi tidak semua anak yang berada di desa Dieng
bisa memilikinya. Bahkan, besarnya wilayah Dieng yang terbagi atas beberapa
kampung lagi ini dapat dihitung jumlah anak yang menjadi anak gembel. Selama
ini jumlah anak gembel terbanyak dari satu kampung yang pernah dimiliki kurang
lebih sekitar lima orang. Anak yang menjadi gembel pun tidak memiliki riwayat
keturunan langsung sebagai gembel. Kakek nenek dan orang tua dari si anak
gembel ini biasanya hanyalah masyarakat biasa. Leluhur yang amat jauh dari anak
gembel ini yang umumnya pernah menjadi seorang anak gembel.
Seorang pemangku adat yang
biasanya dipanggil Mbah Naryono oleh warga setempat memaparkan bahwa kisah anak
gembel ini memiliki sebuah mitos. Dikatakan bahwa gembel ini adalah sebuah
titipan dari laut kidul. Penitipan ini bisa sampai ke warga Dieng melalui dua
orang leluhur yaitu Mbah Agung Kolodete dan Ninik Dewi Roro Runcing. Akibat
dari posisinya sebagai titipan, maka tidak semua anak yang ada di Dieng menjadi
anak gembel. Masyarakat pun meyakini anak gembel merupakan anak-anak pilihan
yang layak menerima gembel dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi walau
itu baik atau buruk.
Walau rambut gembel terlihat
seperti sebuah berkah, tapi ada satu ritual yang harus mengakhiri masa seorang
anak menjadi anak gembel. Ritual yang dimaksud itu adalah ritual ruwat. Ruwat
adalah sebuah ritual dimana rambut gembel akan dipotong dari anak gembel.
Ritual ini wajib dijalani oleh semua anak gembel. Namun, anak gembel hanya bisa
menjalani prosesi ruwat ini ketika memenuhi dua persyaratan. Syarat pertama
adalah si anak gembel sudah meminta atau sudah mengetahui persembahan apa yang
mereka inginkan ketika menjalankan prosesi ruwat. Persembahan yang diminta pun
diyakini bukanlah keinginan yang berasal dari anak gembel itu sendiri.
Persembahan yang diutarakan oleh anak gembel diyakini warga berasal dari rambut
gembelnya yang memiliki penunggu.
Persyaratan kedua yang harus
digenapi sebelum seorang anak gembel terlibat dalam prosesi ruwat adalah si
anak gembel harus sudah memiliki gigi tetap. Karena yang dianugrahi gembel ini
adalah anak-anak, maka mereka pasti masih memiliki gigi susu. Gigi susu mereka
harus sudah tanggal dan sudah digantikan oleh gigi asli. Kedua persyaratan yang
dibutuhkan untuk prosesi ruwat sangat harus digenapi sebelum menjalaninya.
Salah satu saja persyaratan tidak digenapi hanya akan membuat si anak gembel
itu menderita. Penderitaan yang dimaksud adalah sakit demam yang cukup panjang
harus dialami kembali oleh anak gembel akibat rambut gembel mereka itu akan
kembali tumbuh dan jika tidak melakukan ritual ruwat hingga dewasa maka si anak
gembel yang telah dewasa ini akan mengalami stress yang cukup berat. Maka,
melaksanakan persyaratan tanpa terkecuali adalah sebuah keharusan untuk
melakukan ritual ruwat agar berjalan lancar sesuai yang semestinya.
Prosesi ruwat yang dijalani oleh
anak gembel sebagai kewajiban tentu juga ada tata cara yang harus diikuti.
Prosesi akan dimulai dari komplek sedang sedayu. Dalam komplek ini anak gembel
yang mengikuti prosesi ruwat akan berarak masuk mengikuti pemangku adat. Sang
pemangku adat berjalan menuju sebuah sumur yang ada di pojok komplek sedang
sedayu. Sesampainya di sumur, pemangku adat akan mengucapkan mantra dan doa
yang harus digunakan. Setelah itu, sumur ini akan menjadi lokasi dimana anak
gembel akan dimandikan oleh pemangku adat menggunakan air yang berasal dari
dalam sumur bersama dengan kembang tujuh rupa.
Ritual ruwat kembali dilanjutkan
dengan meneruskan pengarakan dari sumur menuju kawasan komplek candi arjuna.
Terdapat lima candi berbeda di dalam komplek ini. Sesampainya di komplek candi
arjuna yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek sedang sedayu, pemangku
adat akan berhenti di depan salah satu candi untuk masuk ke dalamnya lalu
kembali mengucapkan mantra serta doa. Seperti sebelumnya, pemangku adat yang
selesai mengucap mantra dan doa akan memanggil anak gembel satu persatu secara
bergantian. Ini adalah saat ketika rambut gembel akan dipotong dan berpisah
dari kehidupan anak gembel. Selanjutnya, potongan rambut gembel akan dibungkus
dengan kain mori yang berwarna putih seperti dikafankan. Potongan rambut gembel
yang sudah dibungkus dengan kain mori ini akan dibawa ke sbuah tempat yang
bernama telaga warna. Ditempat ini ptonga rambut gembel akan dihanyutkan atau
yang masyarakat Dieng sebut dengan pelarungan. Pelarungan di telaga warna yang
terhubung dengan laut kidul ini bukan bermaksud untuk membuang potongan rambut
melainkan untuk mengembalikan titipan kepada alam.
Kentalnya kepercayaan masyarakat
di Dieng ini masih sangat jelas terlihat dengan sikap dan perilaku yang
menyikapi peristiwa anak gembel ini. Percaya bahwa rambut gembel merupakan
titipan dari laut kidul yang melalui leluhur dan adanya penunggu pada rambut
gembel yang seakan menemani serta melindungi anak gembel membuat peristiwa ini
sangat erat dengan hal mistis. Hal-hal yang telah ada dan masih terlaksana
hingga sekarang ini membuat masyarakat Dieng menjadi kelompok yang tergolong
animisme. Animisme merupakan perilaku hidup dimana masyarakatnya masih percaya
akan hal-hal mistis dan kehadiran roh para leluhur yang dapat melindungi
mereka.
Keyakinan akan kehadiran rambut
gembel yang memiliki campur tangan dari dewa-dewa akibat kisah mitos yang
bermula pada masa kerajaan Hindu Budha ini juga membuat masyarakat Dieng masuk
ke dalam golongan kelompok politeisme. Namun, masyarakat di desa Dieng tidak
menganut sistim animisme dan politeisme secara seratus persen. Mereka tetap
percaya akan adanya agama dan sebagian besar dari warga Dieng saat ini menganut
agama Islam. Mungkin kejadian ini memang terkesan aneh jika dilihat oleh
masyarakat di daerah perkotaan yang lebih berpihak kepada kepercayaan agama
dibandingkan kepada animisme ataupun politeisme, terlebih jika mengingat kita
sudah berada pada abad ke dua puluh satu dimana dunia modern yang lebih
berkuasa.
Akulturasi atau penyesuaian
terhadap budaya baru juga terjadi di wilayah desa Dieng ini. Tanda nyata dari
akulturasi yang paling mudah terlihat terdapat pada prosesi ruwatan. Dalam
ritual ruwat, keseluruhan prosesi dari awal hingga selesai dilakukan dengan
tata cara dan budaya Isalm. Namun, tempat-tempat yang terlibat bahkan menjadi
lokasi penting dalam ritual ruwat itu sendiri merupakan peninggalan dari
kerajaan yang bercorak Hindu Budha. Contoh yang paling mudah adalah ketika
tahap pemangku adat berdoa dan mengucap mantra sebelum memotong rambut gembel.
Doa dan mantra yang digunakan berlandaskan hukum Islam, tetapi lokasi pastinya
adalah salah satu candi dar komplek candi arjuna yang merupakan peninggalan
kerajaan Hindu khususnya aliran pemuja dewa Siwa.
Pengejawantahan
dari pandangan tersebut memunculkan mitos-mitos mengenai dunia nyata dan dunia
adikodrati. Yang pada akhirnya semakin menguatkan kepercayaan bahwa terdapat
dua dunia dalam kehidupan ini, yaitu dunia empirik dan metaempirik.
Mitos-mitos, seperti halnya mitos anak gembel di dataran tinggi Dieng,
menjelaskan bagaimana hubungan antara dua alam tersebut. Dan ritus-ritus yang
berkaitan dengan mitos tersebut menjadi jembatan yang menghubungi dua dunia
tersebut.
Mitos anak
gembel menceritakan bagaimana anak-anak di dataran tinggi Dieng “dititipi” rambut
gembel oleh tokoh gaib, Ki Tumenggung Kolodete yang menguasai daerah Dieng.
Menurut legenda yang beredar di masyarakat Desa Dieng Wetan, Kyai Kolodete
konon kabarnya adalah seorang yang menjabat sebagai pemimpin, seorang penasihat
dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat didaerah kawedanan Kretek
dan sekitarnya. Beliau adalah seorang Kyai yang mempunyai rambut gembel,
menjabat sebagai kebayan desa Tegalsari, Kretek, Wonosobo, putera Kyai Badar
yang sakti dan bermukim didesa Tegalsari.
Seperti halnya
harapan pemimpin masyarakat lainnya, Kyai Kolodete bermaksud memajukan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya. Beliau sangat disegani masyarakat karena
sifat dan sikapnya telah dipandang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin.
Pada suatu hari,
Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai Lurah. Permohonan ini
diajukan kepemerintah pusat, yaitu Mataram. Permintaan itu ditolak tanpa
memberikan alasan yang tepat dan masuk akal bagi Kyai. Ditolaknya permintaan itu membuat hati
masyarakat menjadi kecewa, demikian juga Kyai Kolodete. Lantaran beliau merasa
malu terhadap rakyatnya dan sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya
permohonan tersebut, akhirnya Kolodete pergi mengasingkan diri dari keramaian
dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum bertapa,
beliau berpesan kepada rakyatnya sebagai berikut :
“Mung semene wae
anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“ (Hanya sampai sekian aku
mengabdi kepada Pemerintah, aku akan pergi ke Gunung Dieng)
Kemudian beliau
memohon kepada dewata, agar supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan
mensejahterakan masyarakat terkabul. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada
masyarakatnya hendaknya dewata turut merestui. Tanda bukti itu ialah supaya
anak cucunya nanti dikemudian hari akan berambut gembel seperti halnya rambut
Kyai Kolodete.
Permohonan itu
benar-benar dikabulkan oleh dewata. Bahkan hingga sekarang di Dataran Tinggi
Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gembel. Oleh masyarakat,
anak berambut gembel ini disebut Anak Gembel dan dianggap cucu Kyai Kolodete
yang berkekuatan gaib itu.@JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar