Sabtu, 30 Maret 2013

Anak Gembel Titisan Sang Penguasa Gaib Dieng



Di Dataran Tinggi Dieng terdapat anak-anak berumur sekitar 1 – 7 tahun berambut gimbal. Rambut gimbal ini bukan sengaja dibikin seperti para rasta di pantai-pantai. Rambut gimbal ini terjadi setelah mengalami suatu gejala sakit demam dan dipercaya merupakan titipan dari nenek moyang mereka yang sekarang menjadi penguasa alam gaib Dieng, yaitu Kyai Kolodete.



Sebenarnya jika kita pelajari lebih dalam, rambut gembel ini juga kurang pas rasanya jika dikatakan tumbuh secara tiba-tiba. Ada ciri-ciri atau gejala awal sebelum rambut gembel ini muncul pada anak-anak. Gejala yang akan timbul bukanlah sebuah kejadian yang sangat unik dan berbeda dari hal yang sudah ada. Gejala itu adalah sakit demam. Biasanya demam tinggi dialami oleh anak-anak yang akan ditumbuhi gembel. Namun, yang hingga sekarang masih menjadi permasalahan bagi warga khususnya orang tua anak yang akan ditumbuhi gembel adalah tidak ada perbedaan antara sakit demam biasa dengan sakit demam awal kemunculan gembel.

Kebanyakan orang tua tekadang bingung dan mengira demam yang menimpa anak mereka adalah penyakit biasa yang bisa disembuhkan dengan tindakan medis tetapi ketika sudah dilakukan, sang anak malah tak kunjung sembuh dan tetap menderita demam tinggi. Para orang tua pun menjadi panik dan berusaha kesana kemari mencari cara untuk menyembuhkan anak mereka. Ketika semua cara yang terpikirkan sudah dilakukan dan si anak belum juga sembuh, biasanya  yang terjadi adalah muncul gumpalan kecil baik satu ataupun lebih di kepala si anak pada pagi hari.

Hal itu menjadi pertanda bagi orang tua bahwa anak mereka kelak akan menjadi anak berambut gembel. Kekhawatiran secara cepat menghilang karena anak yang sudah mulai tumbuh rambut gembelnya pasti akan mengalami kesembuhan secara alamiah tanpa perlu tindakan lanjutan dari pihak medis. Setelah sembuh, anak yang telah dikaruniai gembel ini akan menjadi lebih aktif disbandingkan dengan anak lain ataupun pribadi anak itu sendiri saat masih normal. Selain itu, dipercaya bahwa anak yang telah mendapat gembel akan lebih kebal terhadap kejadian merugikan yang ada di sekitar mereka.

Walaupun hanya anak-anak yang bisa memiliki rambut gembel tetapi tidak semua anak yang berada di desa Dieng bisa memilikinya. Bahkan, besarnya wilayah Dieng yang terbagi atas beberapa kampung lagi ini dapat dihitung jumlah anak yang menjadi anak gembel. Selama ini jumlah anak gembel terbanyak dari satu kampung yang pernah dimiliki kurang lebih sekitar lima orang. Anak yang menjadi gembel pun tidak memiliki riwayat keturunan langsung sebagai gembel. Kakek nenek dan orang tua dari si anak gembel ini biasanya hanyalah masyarakat biasa. Leluhur yang amat jauh dari anak gembel ini yang umumnya pernah menjadi seorang anak gembel.


Seorang pemangku adat yang biasanya dipanggil Mbah Naryono oleh warga setempat memaparkan bahwa kisah anak gembel ini memiliki sebuah mitos. Dikatakan bahwa gembel ini adalah sebuah titipan dari laut kidul. Penitipan ini bisa sampai ke warga Dieng melalui dua orang leluhur yaitu Mbah Agung Kolodete dan Ninik Dewi Roro Runcing. Akibat dari posisinya sebagai titipan, maka tidak semua anak yang ada di Dieng menjadi anak gembel. Masyarakat pun meyakini anak gembel merupakan anak-anak pilihan yang layak menerima gembel dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi walau itu baik atau buruk.

Walau rambut gembel terlihat seperti sebuah berkah, tapi ada satu ritual yang harus mengakhiri masa seorang anak menjadi anak gembel. Ritual yang dimaksud itu adalah ritual ruwat. Ruwat adalah sebuah ritual dimana rambut gembel akan dipotong dari anak gembel. Ritual ini wajib dijalani oleh semua anak gembel. Namun, anak gembel hanya bisa menjalani prosesi ruwat ini ketika memenuhi dua persyaratan. Syarat pertama adalah si anak gembel sudah meminta atau sudah mengetahui persembahan apa yang mereka inginkan ketika menjalankan prosesi ruwat. Persembahan yang diminta pun diyakini bukanlah keinginan yang berasal dari anak gembel itu sendiri. Persembahan yang diutarakan oleh anak gembel diyakini warga berasal dari rambut gembelnya yang memiliki penunggu.

Persyaratan kedua yang harus digenapi sebelum seorang anak gembel terlibat dalam prosesi ruwat adalah si anak gembel harus sudah memiliki gigi tetap. Karena yang dianugrahi gembel ini adalah anak-anak, maka mereka pasti masih memiliki gigi susu. Gigi susu mereka harus sudah tanggal dan sudah digantikan oleh gigi asli. Kedua persyaratan yang dibutuhkan untuk prosesi ruwat sangat harus digenapi sebelum menjalaninya. Salah satu saja persyaratan tidak digenapi hanya akan membuat si anak gembel itu menderita. Penderitaan yang dimaksud adalah sakit demam yang cukup panjang harus dialami kembali oleh anak gembel akibat rambut gembel mereka itu akan kembali tumbuh dan jika tidak melakukan ritual ruwat hingga dewasa maka si anak gembel yang telah dewasa ini akan mengalami stress yang cukup berat. Maka, melaksanakan persyaratan tanpa terkecuali adalah sebuah keharusan untuk melakukan ritual ruwat agar berjalan lancar sesuai yang semestinya.


Prosesi ruwat yang dijalani oleh anak gembel sebagai kewajiban tentu juga ada tata cara yang harus diikuti. Prosesi akan dimulai dari komplek sedang sedayu. Dalam komplek ini anak gembel yang mengikuti prosesi ruwat akan berarak masuk mengikuti pemangku adat. Sang pemangku adat berjalan menuju sebuah sumur yang ada di pojok komplek sedang sedayu. Sesampainya di sumur, pemangku adat akan mengucapkan mantra dan doa yang harus digunakan. Setelah itu, sumur ini akan menjadi lokasi dimana anak gembel akan dimandikan oleh pemangku adat menggunakan air yang berasal dari dalam sumur bersama dengan kembang tujuh rupa.


Ritual ruwat kembali dilanjutkan dengan meneruskan pengarakan dari sumur menuju kawasan komplek candi arjuna. Terdapat lima candi berbeda di dalam komplek ini. Sesampainya di komplek candi arjuna yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek sedang sedayu, pemangku adat akan berhenti di depan salah satu candi untuk masuk ke dalamnya lalu kembali mengucapkan mantra serta doa. Seperti sebelumnya, pemangku adat yang selesai mengucap mantra dan doa akan memanggil anak gembel satu persatu secara bergantian. Ini adalah saat ketika rambut gembel akan dipotong dan berpisah dari kehidupan anak gembel. Selanjutnya, potongan rambut gembel akan dibungkus dengan kain mori yang berwarna putih seperti dikafankan. Potongan rambut gembel yang sudah dibungkus dengan kain mori ini akan dibawa ke sbuah tempat yang bernama telaga warna. Ditempat ini ptonga rambut gembel akan dihanyutkan atau yang masyarakat Dieng sebut dengan pelarungan. Pelarungan di telaga warna yang terhubung dengan laut kidul ini bukan bermaksud untuk membuang potongan rambut melainkan untuk mengembalikan titipan kepada alam.

Kentalnya kepercayaan masyarakat di Dieng ini masih sangat jelas terlihat dengan sikap dan perilaku yang menyikapi peristiwa anak gembel ini. Percaya bahwa rambut gembel merupakan titipan dari laut kidul yang melalui leluhur dan adanya penunggu pada rambut gembel yang seakan menemani serta melindungi anak gembel membuat peristiwa ini sangat erat dengan hal mistis. Hal-hal yang telah ada dan masih terlaksana hingga sekarang ini membuat masyarakat Dieng menjadi kelompok yang tergolong animisme. Animisme merupakan perilaku hidup dimana masyarakatnya masih percaya akan hal-hal mistis dan kehadiran roh para leluhur yang dapat melindungi mereka.

Keyakinan akan kehadiran rambut gembel yang memiliki campur tangan dari dewa-dewa akibat kisah mitos yang bermula pada masa kerajaan Hindu Budha ini juga membuat masyarakat Dieng masuk ke dalam golongan kelompok politeisme. Namun, masyarakat di desa Dieng tidak menganut sistim animisme dan politeisme secara seratus persen. Mereka tetap percaya akan adanya agama dan sebagian besar dari warga Dieng saat ini menganut agama Islam. Mungkin kejadian ini memang terkesan aneh jika dilihat oleh masyarakat di daerah perkotaan yang lebih berpihak kepada kepercayaan agama dibandingkan kepada animisme ataupun politeisme, terlebih jika mengingat kita sudah berada pada abad ke dua puluh satu dimana dunia modern yang lebih berkuasa.

Akulturasi atau penyesuaian terhadap budaya baru juga terjadi di wilayah desa Dieng ini. Tanda nyata dari akulturasi yang paling mudah terlihat terdapat pada prosesi ruwatan. Dalam ritual ruwat, keseluruhan prosesi dari awal hingga selesai dilakukan dengan tata cara dan budaya Isalm. Namun, tempat-tempat yang terlibat bahkan menjadi lokasi penting dalam ritual ruwat itu sendiri merupakan peninggalan dari kerajaan yang bercorak Hindu Budha. Contoh yang paling mudah adalah ketika tahap pemangku adat berdoa dan mengucap mantra sebelum memotong rambut gembel. Doa dan mantra yang digunakan berlandaskan hukum Islam, tetapi lokasi pastinya adalah salah satu candi dar komplek candi arjuna yang merupakan peninggalan kerajaan Hindu khususnya aliran pemuja dewa Siwa.

Pengejawantahan dari pandangan tersebut memunculkan mitos-mitos mengenai dunia nyata dan dunia adikodrati. Yang pada akhirnya semakin menguatkan kepercayaan bahwa terdapat dua dunia dalam kehidupan ini, yaitu dunia empirik dan metaempirik. Mitos-mitos, seperti halnya mitos anak gembel di dataran tinggi Dieng, menjelaskan bagaimana hubungan antara dua alam tersebut. Dan ritus-ritus yang berkaitan dengan mitos tersebut menjadi jembatan yang menghubungi dua dunia tersebut.

Mitos anak gembel menceritakan bagaimana anak-anak di dataran tinggi Dieng “dititipi” rambut gembel oleh tokoh gaib, Ki Tumenggung Kolodete yang menguasai daerah Dieng. Menurut legenda yang beredar di masyarakat Desa Dieng Wetan, Kyai Kolodete konon kabarnya adalah seorang yang menjabat sebagai pemimpin, seorang penasihat dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat didaerah kawedanan Kretek dan sekitarnya. Beliau adalah seorang Kyai yang mempunyai rambut gembel, menjabat sebagai kebayan desa Tegalsari, Kretek, Wonosobo, putera Kyai Badar yang sakti dan bermukim didesa Tegalsari.

Seperti halnya harapan pemimpin masyarakat lainnya, Kyai Kolodete bermaksud memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya.  Beliau sangat disegani masyarakat karena sifat dan sikapnya telah dipandang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin.

Pada suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai Lurah. Permohonan ini diajukan kepemerintah pusat, yaitu Mataram. Permintaan itu ditolak tanpa memberikan alasan yang tepat dan masuk akal bagi Kyai.  Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi kecewa, demikian juga Kyai Kolodete. Lantaran beliau merasa malu terhadap rakyatnya dan sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, akhirnya Kolodete pergi mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya sebagai berikut :

“Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“ (Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan pergi ke Gunung Dieng)

Kemudian beliau memohon kepada dewata, agar supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat terkabul. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya hendaknya dewata turut merestui. Tanda bukti itu ialah supaya anak cucunya nanti dikemudian hari akan berambut gembel seperti halnya rambut Kyai Kolodete.

Permohonan itu benar-benar dikabulkan oleh dewata. Bahkan hingga sekarang di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gembel. Oleh masyarakat, anak berambut gembel ini disebut Anak Gembel dan dianggap cucu Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu.@JI

Tidak ada komentar: