Serangan
Girindrawardhana, Faktor Utama
Pengaburan, pemutarbalikan fakta sejarah terutama yang berhubungan dengan Agama, tokoh dan jejak Islam, memang riskan dimanupulasi di belahan dunia manapun, tak terkecuali di negeri ini. Banyak kelompok-kelompok masyarakat dalam maupun luar, kelompok profesi, pejabat dan organisasi massa yang berusaha mendiskriditkan, menenggelamkan bahkan menghancurkan Islam dengan berbagai cara. Salah satunya mengaburkan, menjungkirbalikan fakta sejarah.
Prof. Dr. N. J.
Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” menolak anggapan bahwa pihak yang
telah menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah
Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom serangan yang dianggap menewaskan Prabu
Brawijaya V tersebut dilakukan oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof.
Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau
Brawijaya V tewas dalam keraton yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari
Keling atau Kediri. Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari
Prabu Girindrawardhana.
Teori
penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof.
Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada
prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang
dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak.
Muljana lantas
menghubungkannya dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di
Semarang. Muljana menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan
Demak dan harus membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh
yang dimaksud dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La.
Slamet Muljana
berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab
menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama
Girindrawardhana.
Dari analisa ini
maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin menyerang kepada
Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada Demak. Menurut
Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana pun
analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif.
Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah.
Pertama,
Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai
keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M
tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi
keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang Girindrawardhana
bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya.
Kedua,
menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama
Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik
gathuk seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan terhadap
sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain maka akan
ditemukan jawaban yang lebih rasional.
Misalnya dengan
menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka
justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata “Ta La”
lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga
kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga
bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang
sebelumnya.
Lantas siapakah
Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada
tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja
Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI.
Raden Patah
mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit. Namun upaya tersebut nampaknya
kurang berhasil. Justru kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya
sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan
Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya
VII.
Dengan demikian
serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau
Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau
Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.
Pasca perebutan
kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil
akhir kemenangan atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian
menggunakan gelar Prabu Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was
terancam kekuasaannya disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat.
Beberapa catatan
menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di
bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah
tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu
Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan
kepada Portugis di Malaka.
Sejarah mencatat
bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso
d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain panjang
tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya.
Melihat gelagat
yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak yang dipimpin
oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di
Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk
membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.
Seandainya saja
Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan
bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih lagi,
Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu
Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.Hal ini semakin
menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa
pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai
1489 M.
Tahun 1489 M
tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang
kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara.
Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana
dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan
analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati
jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada pun yang
lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu
Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.
Motifnya, jelas upaya
untuk mempertahankan kehormatan Islam dan mengambil kembali tahta Majapahit
yang merupakan hak sepenuhnya dari sultan Demak.
Hal ini juga
menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah
transkripsi dari nama Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari
Prabu Udara atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Slamet Muljana sebagai
penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah
tidak terbukti.
Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab keruntuhan
Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa diterangkan lebih lanjut
tentang faktor-faktor penyebab yang melatarbelakanginya maka hal ini jelas
merupakan paparan yang tidak netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang
urgen. Dengan kata lain jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya,
informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat
ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat
bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan
Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan
tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.
Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal
sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam
beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama
seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana.
Pengarang babad,
dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara nama
Girindrawardhana dan Sunan Giri.
Padahal kedua
nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman
tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Bahkan
terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa
memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat
Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah
kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.
Penutup
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang dilakukan oleh
Demak terhadap Majapahit, awalnya terjadi karena kesalahan pandangan dari para
penulis cerita babad. Kesalahan ini terjadi akibat menganggap sama dua tokoh
yang sebetulnya berbeda, yaitu Girindrawardhana dan Sunan Giri. Tidak jarang,
sejarawan memanfaatkan cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa
sejarah. Terkait bahwa cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi
dalam penggambaran sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha
memelihara “sejarah” dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan
upaya yang sarat kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.@Susiyanto Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam, Solo@JI
1 komentar:
Suatu hal yang sangat aneh apabila tidak ada penjelasan dari sudut pandang antropologi masyarakat, adalah bahwa kerajaan Demak berani menyerang Majapahit hanya satu tahun lebih setelah berdirinya kerajaan itu! dalam serangannya ini pun kerajaan Demak langsung mengalami kemenangan!
Posting Komentar