Selasa, 26 Maret 2013

Dendam Penganut Pesugihan (5)



Tragedi Teror Tahlilan Hari ke Empat Puluh
Yasinan yang berkumandang dari rumah pak Cepi, seolah memecah keheningan malam yang dingin. Sementara acara tahlilan berlangsung, nun jauh di atas perbukitan terlihat sosok hitam menyeringai tersenyum mengerikan bagi yang melihatnya.

Sosok lelaki berpostur tinggi besar berbadan tegap bersisik dan bertaring serta berjubah kemilau kuning emas. Dengan bertolak pinggang, muka yang menengadah ke atas langit yang berhiaskan redupnya cahaya rembulan, sesekali terdengar suara mendengus seperti memendam dendam kemarahan.

     Sosok lelaki tinggi besar dengan badan tegap bersisik dan bertaring serta berjubah kemilau kuning emas, ternyata tidak seorang diri. Sosok itu ternyata berdua, dan yang satunya lagi terlihat sosok perempuan cantik berkerudung merah jambu seolah duduk bersimpuh disampingnya dengan sorot tatapan mata tajam penuh kebencian menukik melihat kearah rumah yang baru usai menyelenggarakan tahlilan ke 40 hari kematian bu Dewi.

     Usai acara tahlian yang dihadiri hampir seluruh warga desa, sebagian besar warga desa tetap masih berkumpul ngobrol ngaler ngidul dengan maksud menghibur keluarga pak Cepi yang ditinggal pergi oleh bu Dewi untuk selamanya. Terlihat raut wajah pak Cepi seolah menyimpan sebuah rahasia, entahlah apa yang dirahasiakan dari dirinya dan kematian istrinya. Sedangkan Liza, Mezia dan Inah sudah tidak terlihat lagi guratan di wajahnya kesedihan.   

    Secara diam – diam tiga polisi berpakaian preman, sedari awal di adakan tahlilan di rumah pak Cepi, mulai hari pertama sampai hari ke tujuh bahkan hingga tahlilan hari ke 40-nya selalu memantau keadaan. Hal ini dilakukan dikarenakan keanehan dan kejanggalan terhadap tewasnya bu Dewi. Namun sejauh ini, ketiga polisi yang berpakaian preman tersebut hanya bisa menyerap informasi simpang siur yang beraroma mistis, gosip dan isyu. Tapi pihak kepolisian tetap menaruh kecurigaan, walau tetap mengedapankan azas praduga tak bersalah.

     “Dari sisi ke-ilmu-an, baik ilmu kedokteran maupun ilmu kriminologi yang dipelajari di intitusi kepolisian, kematian bu Dewi memang sangat mustahil bisa terpecahkan. Hal ini diduga ada kaitannya dengan ritul sesuatu. Coba lihat saja sewaktu di kamar korban, ada berbagai macam sesajen atau sarandu dan beberapa helai kain kafan serta tempat bakaran kemenyan. Plus kertas yang berisikan mantera – mantera. Ini-kan aneh ?”, begitu penjelasan salah satu polisi berpakaian preman kepada penulis.  
     
Obrolan penulis dengan tiga anggota polisi berpakaian preman terhenti sejenak ketika pak Kyai yang bernama Kyai Abdulah itu menyarankan kepada semua warga yang hadir di ruangan agar segera bubar karena malam sudah semakin larut. Sementara kebanyakan warga desa membubarkan diri, ada sekitar lima belas orang yang terakhir masih tetap menemani pak Kyai, termasuk ke tiga orang polisi itu.

     Ke lima belas orang termasuk tiga polisi dan pak Kyai, melibatkan obrolan serius dengan tuan rumah. Pak Kyai dengan kesan sangat hati – hati mencoba mendalami apa yang menjadi gunjingan warga setelah sepeninggal almarhum bu Dewi.

     “Maaf pak Cepi, sebetulnya yang menimpa diri almarhum itu sebenarnya menjadikan tanda tanya kami dan seluruh warga desa ini. Apa yang bisa dijelaskan oleh pak Cepi, tentunya bisa menjadi jawaban yang selama ini digunjingkan”, ucap pak Kyai dengan suara rendah dan bernada santun.
     
Keruan saja pertanyaan pak Kyai diluar dugaan pak Cepi. Dengan suara terbata – bata, pak Cepi mencoba memberikan penjelasan kepada semua yang hadir di ruangan dimana barusan dilaksanakan tahlilan. Akan tetapi dari penjelasan pak Cepi perihal kematian istrinya, terkesan dusta dan rekayasa yang dikisahkannya bak cerita sinetron serta serba janggal.

     Belum selesai pak Cepi bertutur kata, tiba – tiba terdengar suara benturan keras pintu depan yang sejak awal tahlilan terbuka lebar seperti di banting. Keruan saja suara benturan pintu itu membuat kaget semua orang yang hadir termasuk pak Cepi. Saking kencangnya bantingan pintu, ke tiga polisi berpakaian preman yang ikut tersentak kaget langsung secara tiba – tiba dengan refleknya mencabut masing – masing pistol yang sejak awal memang selalu disebunyikan di balik baju. Untungnya semua warga yang sedang berkumpul di ruang tahlilan satu orangpun tidak ada yang melihatnya. Jika saja ada warga yang melihat bahwa ke tiga polisi tersebut dalam penyamaran, maka terbongkarlah kedok penyamarannya untuk mengungkap misteri kematian bu Dewi itu. Dengan cekatannya, ke tiga polisi berpakaian preman buru – buru memasukan kembali pistolnya.

     Sambil beranjak menghampiri ke arah pintu depan, pak Kyai sambil tetap menggengam tasbihnya langsung menghardik “siapa kamu ! tunjukan wujudmu !”, ucap pak Kyai lantang, yang membuat semua warga pada melongo kebingungan, semua warga satu sama lainnya saling pandang tak terkecuali pak Cepi.

     “Pak Kyai ngebentak siapa ya ?”, sahut Jahul kepada Budeg dan Bonge rekan satu grup ronda malam.

    “Au tuhhh . . .”, serempak Budeg dan Bonge menjawab sambil celingukan.
     Suasana ruangan tempat tahlilan digelar, sebenarnya merupakan ruang keluarga pak Cepi yang termasuk mewah plus serba gemerlapnya cahaya lampu hias model Itali tergantung di langit – langit ruangan, tembok ruang keluarga yang dihiasi lukisan karya pak Cepi menambah elok di pandang mata. Namun entah kenapa saat itu seluruh ruangan sepertinya terasa menyeramkan membuat bulu kuduk merinding, setelah adanya suara benturan keras pintu di banting. Benar – benar  aura di seluruh ruangan seolah berubah. 

     Sementara pak Kyai merangsek maju kearah pintu depan, pak Cepi terlihat duduknya gelisah ketakutan. Dengan mimik muka yang teramat sangat ketakutan, pak Cepi duduknya bergeser mendekati bahkan merapatkan badannya ke salah satu anggota polisi yang berpakaian preman.“ada apa ya pak ?”, tanya pak Cepi gemetaran, sementara Liza, Mezia dan Inah menjerit ketakutan sambil menangis, menambah suasana ruangan selain seram juga membuat panik warga lainnya.@bersambung

Tidak ada komentar: