Tragedi Teror Tahlilan Hari ke Empat Puluh
Yasinan yang berkumandang dari rumah pak Cepi, seolah memecah keheningan
malam yang dingin. Sementara acara tahlilan berlangsung, nun jauh di atas
perbukitan terlihat sosok hitam menyeringai tersenyum mengerikan bagi yang
melihatnya.
Sosok lelaki berpostur tinggi besar berbadan
tegap bersisik dan bertaring serta berjubah kemilau kuning emas. Dengan
bertolak pinggang, muka yang menengadah ke atas langit yang berhiaskan redupnya
cahaya rembulan, sesekali terdengar suara mendengus seperti memendam dendam
kemarahan.
Sosok lelaki tinggi besar
dengan badan tegap bersisik dan bertaring serta berjubah kemilau kuning emas, ternyata
tidak seorang diri. Sosok itu ternyata berdua, dan yang satunya lagi terlihat
sosok perempuan cantik berkerudung merah jambu seolah duduk bersimpuh disampingnya
dengan sorot tatapan mata tajam penuh kebencian menukik melihat kearah rumah
yang baru usai menyelenggarakan tahlilan ke 40 hari kematian bu Dewi.
Usai acara tahlian yang
dihadiri hampir seluruh warga desa, sebagian besar warga desa tetap masih
berkumpul ngobrol ngaler ngidul dengan maksud menghibur keluarga pak Cepi yang
ditinggal pergi oleh bu Dewi untuk selamanya. Terlihat raut wajah pak Cepi
seolah menyimpan sebuah rahasia, entahlah apa yang dirahasiakan dari dirinya
dan kematian istrinya. Sedangkan Liza, Mezia dan Inah sudah tidak terlihat lagi
guratan di wajahnya kesedihan.
Secara diam – diam tiga polisi berpakaian
preman, sedari awal di adakan tahlilan di rumah pak Cepi, mulai hari pertama
sampai hari ke tujuh bahkan hingga tahlilan hari ke 40-nya selalu memantau
keadaan. Hal ini dilakukan dikarenakan keanehan dan kejanggalan terhadap
tewasnya bu Dewi. Namun sejauh ini, ketiga polisi yang berpakaian preman
tersebut hanya bisa menyerap informasi simpang siur yang beraroma mistis, gosip
dan isyu. Tapi pihak kepolisian tetap menaruh kecurigaan, walau tetap
mengedapankan azas praduga tak bersalah.
“Dari
sisi ke-ilmu-an, baik ilmu kedokteran maupun ilmu kriminologi yang dipelajari
di intitusi kepolisian, kematian bu Dewi memang sangat mustahil bisa
terpecahkan. Hal ini diduga ada kaitannya dengan ritul sesuatu. Coba lihat saja
sewaktu di kamar korban, ada berbagai macam sesajen atau sarandu dan beberapa
helai kain
kafan serta tempat bakaran kemenyan. Plus kertas yang berisikan mantera –
mantera. Ini-kan aneh ?”,
begitu penjelasan salah satu polisi berpakaian preman kepada penulis.
Obrolan
penulis dengan tiga anggota polisi berpakaian preman terhenti sejenak ketika
pak Kyai yang bernama Kyai Abdulah itu menyarankan kepada semua warga yang
hadir di ruangan agar segera bubar karena malam sudah semakin larut. Sementara kebanyakan
warga desa membubarkan diri, ada sekitar lima belas orang yang terakhir masih
tetap menemani pak Kyai, termasuk ke tiga orang polisi itu.
Ke lima
belas orang termasuk tiga polisi dan pak Kyai, melibatkan obrolan serius dengan
tuan rumah. Pak Kyai dengan kesan sangat hati – hati mencoba mendalami apa yang
menjadi gunjingan warga setelah sepeninggal almarhum bu Dewi.
“Maaf pak Cepi, sebetulnya yang menimpa
diri almarhum itu sebenarnya menjadikan tanda tanya kami dan seluruh warga desa
ini. Apa yang bisa dijelaskan oleh pak Cepi, tentunya bisa menjadi jawaban yang
selama ini digunjingkan”, ucap pak Kyai dengan suara rendah
dan bernada santun.
Keruan
saja pertanyaan pak Kyai diluar dugaan pak Cepi. Dengan suara terbata – bata,
pak Cepi mencoba memberikan penjelasan kepada semua yang hadir di ruangan
dimana barusan dilaksanakan tahlilan. Akan tetapi dari penjelasan pak Cepi
perihal kematian istrinya, terkesan dusta dan rekayasa yang dikisahkannya bak
cerita sinetron serta serba janggal.
Belum selesai pak Cepi bertutur kata, tiba
– tiba terdengar suara benturan keras pintu depan yang sejak awal tahlilan
terbuka lebar seperti di banting. Keruan saja suara benturan pintu itu membuat
kaget semua orang yang hadir termasuk pak Cepi. Saking kencangnya bantingan
pintu, ke tiga polisi berpakaian preman yang ikut tersentak kaget langsung
secara tiba – tiba dengan refleknya mencabut masing – masing pistol yang sejak
awal memang selalu disebunyikan di balik baju. Untungnya semua warga yang
sedang berkumpul di ruang tahlilan satu orangpun tidak ada yang melihatnya. Jika
saja ada warga yang melihat bahwa ke tiga polisi tersebut dalam penyamaran,
maka terbongkarlah kedok penyamarannya untuk mengungkap misteri kematian bu
Dewi itu. Dengan cekatannya, ke tiga polisi berpakaian preman buru – buru
memasukan kembali pistolnya.
Sambil
beranjak menghampiri ke arah pintu depan, pak Kyai sambil tetap menggengam
tasbihnya langsung menghardik “siapa kamu
! tunjukan wujudmu !”, ucap pak Kyai lantang, yang membuat semua warga pada
melongo kebingungan, semua warga satu sama lainnya saling pandang tak
terkecuali pak Cepi.
“Pak Kyai ngebentak siapa ya ?”,
sahut Jahul kepada Budeg dan Bonge rekan satu grup ronda malam.
“Au tuhhh . . .”,
serempak Budeg dan Bonge menjawab sambil celingukan.
Suasana
ruangan tempat tahlilan digelar, sebenarnya merupakan ruang keluarga pak Cepi
yang termasuk mewah plus serba gemerlapnya cahaya lampu hias model Itali
tergantung di langit – langit ruangan, tembok ruang keluarga yang dihiasi
lukisan karya pak Cepi menambah elok di pandang mata. Namun entah kenapa saat
itu seluruh ruangan sepertinya terasa menyeramkan membuat bulu kuduk merinding,
setelah adanya suara benturan keras pintu di banting. Benar – benar aura di seluruh ruangan seolah berubah.
Sementara
pak Kyai merangsek maju kearah pintu depan, pak Cepi terlihat duduknya gelisah
ketakutan. Dengan mimik muka yang teramat sangat ketakutan, pak Cepi duduknya
bergeser mendekati bahkan merapatkan badannya ke salah satu anggota polisi yang
berpakaian preman.“ada apa ya pak ?”,
tanya pak Cepi gemetaran, sementara Liza, Mezia dan Inah menjerit ketakutan
sambil menangis, menambah suasana ruangan selain seram juga membuat panik warga
lainnya.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar