Jurnalis Independen: Sosok
Semar dalam Punakawan bagi masyarakat Jawa, menjadi sebuah ikon yang amat
khusus. Bahkan tokoh ini dianggap nyata. Padahal hanyalah hasil karya sastra
seorang pujangga kenamaan bernama Empuh Panuluh yang hidup pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit.
Fitur khusus kebudayaan Majapahit
adalah adanya pembauran antara unsur-unsur Jawa asli dengan unsur-unsur India.
Adanya unsur-unsur Jawa asli itu menyebabkan kebudayaan Majapahit (Jawa Timur) bukan semata-mata tiruan
kebudayaan India. Meskipun harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan India masih
terasa sangat kuat.
Pembauran ini terbukti memberi
sekedar kesegaran dalam kehidupan kebudayaan dan menimbulkan aliran baru yang
disebut dengan aliran Singasari - Majapahit , karena aliran baru tersebut
memang berkembang pada jaman kerajaan Singasari - Majapahit .
Timbulnya kesadaran untuk
memasukkan unsur-unsur Jawa asli dalam kebudayaan telah terasa sejak jaman
kerajaan Kadiri dalam abad ke duabelas, seperti terbukti dari karya
Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh . Dalam karya sastra ini untuk pertama
kalinya ditampilkan unsur
Punakawan yaitu hamba, abdi dalam
karya sastra yang berdasarkan cerita dari epik Mahabarata . Dalam Mahabarata
unsur punakawan ini tidak dikenal sama sekali, oleh karenanya unsur punakawan
adalah merupakan unsur Jawa asli.
Punakawan mengabdi kepada tokoh
Pandawa yang memegang peran utama dalam cerita Mahabarata tersebut. Dalam karya
sastra Ghatotkacasraya punakawan ini berjumlah tiga orang, yakni: Punta ,
Prasanta dan Juru-Deh . ; Ketiganya
mengabdi kepada Abimanyu , putera Arjuna yang memegang peran utama dalam
cerita.
Tidak dapat diketahui secara
pasti dari mana Mpu Panuluh memperoleh ilham untuk memasukkan punakawan dalam
gubahan karya sastra Ghatotkacasraya yang artinya: bantuan Ghatotkaca . Ada
kemungkinan bahwa punakawan ini telah memiliki peranan dalam seni bioskop, yang
pada waktu itu masih berbentuk seni pertunjukkan lisan, tetapi tidak ada
bukti-bukti yang nyata.
Suatu kenyataan adalah, bahwa
timbulnya unsur punakawan untuk pertama kalinya dalam kesusastraan adalah
berkat karya Mpu Panuluh, namun dalam karya sastra tersebut punakawan masih
kaku-beku, hanya merupakan embel-embel belaka, tokoh tanpa peran alias figuran.
Mungkin sekali sebabnya adalah Mpu Panuluh terlalu mengutamakan uraian tentang
pemandangan alam dan menekankan peran tokoh-tokoh penting atau pusat, sehingga
lupa memberikan peran yang efisien kepada para punakawan ini.
Nama punakawan Punta, Prasanta
dan Juru Deh hanya dikenal dalam kakawin (karya sastra) Ghatotkacasraya, nama
punakawan itu dikenal kembali dalam seni panggung wayang gedog tentang cerita
panji sebagai Jodeg Santa (kontaminasi dari Juru Deh dan Prasanta).
Di jaman Singosari - Majapahit
nama punakawan tersebut tidak dikenal, yang muncul pada waktu itu adalah
punakawan Semar seperti yang nyata-nyata muncul dalam hiasan, relief Candi
Tigowangi (1358 M) dan Candi Sukuh (1439 M), dalam cerita Sudamala. Karya
sastra Sudamala ini menceritakan peranan punakawan Semar secara lebih efisien
bila dibandingkan dengan tokoh Juru Deh, Prasanta dan Punta di atas.
Dalam karya sastra Sudamala
tersebut jelas sekali peranan Semar sebagai punakawan dan pelawak. Segala
gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan. Relief pada dinding atau pahatan
yang terdapat pada candi Tigawangi dan candi Sukuh juga menggambarkan hal yang
sama, yaitu ujud Semar yang lucu, serta tandang-tanduknya yang serba
menggelikan. Diantaranya Semar memanjat di atas bangkai raksasa Kalanjaya, yang
telah mati terbunuh oleh Sudamala.
Jelaslah dalam hal ini bahwa
punakawan Semar yang tertua bertarikh pada jaman Majapahit yaitu sekitar tahun
1358 M (Candi Tigawangi), meskipun pada relief di candi tersebut terlihat
beberapa punakawan yang lain, namun yang disebutkan dalam karya sastra Sudamala
hanya seorang saja, yakni Semar .
Tokoh
Semar pada relief candi Sukuh
Dalam seni bioskop pada jaman
Surakarta dan Jogyakarta, jumlah punakawan bertambah menjadi tiga (versi
Surakarta) dan menjadi empat (versi Jogyakarta) yaitu: Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong. Mereka bertindak sebagai pelawak, yang disamping membadut, juga
memberikan komentar tentang segala hal yang timbul dari pikiran Si Dalang.
Mereka tetap menjadi punakawan keluarga Pandawa, terutama sebagai punakawan
Arjuna.
Semua tokoh punakawan memiliki
bentuk tubuh yang agak khusus, Semar digambarkan sebagai seorang yang tua,
berkuncung putih, bermata rembes, berkaki pendek, berpantat besar, bentuknya
seperti penyu atau kura-kura. Gareng tangannya ceko, kakinya pincang, matanya
juling, hidung bulat seperti buah terong. Petruk hidungnya panjang, perutnya
bekel, mulutnya selalu tertawa, berperawakan tinggi-kurus dan berkuncir. Bagong
orangnya pendek, mulutnya lebar dan matanya sebesar udara.
Sebagai imbangan diciptakan tokoh
Togog dan Bilung , keduanya sebagai pamong tokoh seberang lautan. Togog dan
Bilung menjadi lambang kelemahan dan kekalahan, karena tiap tokoh yang
diikutinya (dalam cerita) selalu dapat dikalahkan oleh tokoh Pandawa yang
diikuti Semar. Togog orangnya pendek, mulutnya lebar, bibirnya menjulur ke
muka. Bilung orangnya pendek kecil, warna kulitnya hitam, kepalanya penuh
kudis.@JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar