Tempat Mengintai Musuh atau Pertemuan Raja dengan
Ratu Kidul
Bangunan Panggung
Songgo Buwono yang berbentuk menara tertinggi di Kraton Surakarta ini, hingga
kini masih diyakini memiliki dua makna filosofi yang dimitoskan. Ada yang
percaya Panggung Songgo Buwono ini sebagai tempat mengintai aktifitas di Benteng Vastenburg (markas Kompeni Belanda) dan
tempat pertemuan gaib raja dengan Kanjeng Ratu Kidul. Penasaran? Ikuti
penuturannya.
Letak
Panggung Songgo Buwono ini
berada di dalam Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, merupakan bangunan yang
paling tinggi dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di wilayah
Karesidenan Surakarta. Apa gunanya bagi kraton tower atau menara panggung
Songgo Buwono ini ? menurut keterangan dari pihak kraton ternyata ada dua
pendapat yang begitu kontroversial dan juga belum ada titik temu. Justru karena
tidak ada titik temu itulah, maka kedua cerita itu semakin menarik untuk
diperbincangkan.
Dengan demikian, sebagian orang tetap percaya, bahwa Panggung Songgo Buwono ini memang bangunan
kraton yang dikeramatkan, bahkan merupakan lokasi sakral yang dipuja-puja,
sebab pada waktu-waktu tertentu di dalam panggung songgo buwono ini bakal
kehadiran Kanjeng Ratu Kencanasari, mahkluk gaib ‘penguasa’ bangsa siluman di
Pantai Selatan yang merupakan tokoh pepunden bagi pihak kerajaan dinasti
Mataram. “Disana panggung Songgo Buwono ini, merupakan pertemuan antara Raja
dengan Kanjeng Ratu Kencanasari” ujar GKR Wandansari
Lebih jauh Gusti Kanjeng Ratu (GKR)
Wandansari, salah satu putri dari Paku Buwono (PB) XII ini menjelaskan, pertemuan antara raja dengan Kanjeng Ratu Kidul (sebuatan populer
Kanjeng Ratu Kencanasari) dengan raja yang kali ini berkuasa. Artinya, ketika
di Kraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat terjadi suksesi, maka raja yang berikutnya (raja pengganti) yang
berkuasa, maka raja inilah yang bakal menemui Sang Ratu gaib ini di dalam
Panggung Songgo Buwono dan hal ini berlangsung secara turun temurun sejak
kerajaan ini dikuasai oleh PB III.
Dalam pertemuan itu antara Raja
dengan Ratu Kidul akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kelestarian
kraton, selain itu juga menyangkut pembicaraan serta menentukan sebuah solusi
(jalan keluar), ketika pihak kraton menghadapi masalah yang cukup pelik dan
rumit dipecahkan. Dikisahkan, prosesi ritual pertemuan sakral antara Raja dan
Ratu Kidul ini dilakukan, berpijak pada
sejarah pertemuannya antara Panembahan Senopati pendiri kerajaan-kerajaan di
Jawa, termasuk yang menurunkan raja-raja Dinasti Mataram dengan Ratu Kidul.
Pertemuan pertama kali itu terjadi
di pertapaan Khayangan, Dlepih, Wonogiri pada saat itu Panembahan Senopati
sedang melakukan ritual semadi, selanjutnya di temui oleh Ratu Kidul dan
terjalinlah ikatan asmara. Awalnya, Panembahan Senopati maunya diajak untuk
membesarkan kraton di pantai selatan yang dikuasai Ratu Kidul. Namun ajakan itu
di tolak, karena Panembahan Senopati itu mahkluk yang berujud manusia,
sedangkan Ratu Kidul adalah mahkluk gaib yang berujud siluman.
Ritual Ratu Kidul.
Untuk tetap terjaga jalinan asamara
kedua penguasa ini, maka disepakati sebuah ‘perjanjian’ jika kerajaan Dinasti
Mataram ingin tetap berdiri dan kuncara (jaya,
moncer), pihak kraton harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bersifat
ritual yang dipersembahkan untuk Ratu Kidul Diantaranya para waktu-waktu
tertentu pihak kraton entah itu Kasultanan Jogyakarta maupun Kasunanan
Surakarta harus menggelar prosesi ritual sedekah laut di Parang Tritis maupun
Parang Kusumo dengan melarung pakaian raja.
Selain itu, ketika kraton
mengadakan upacara ritual Wilujengan Jumenengan
(selamatan kenaikan tahta) sang raja, harus di gelar tarian sakral bedaya ketawang (tarian ini konon
diciptakan oleh Ratu Kidul) dan masih ada lagi ritual-ritual khusus di
tempat-tempat petilasan Ratu Kidul, seperti di Khayangan dan Cempuri
Parangkusumo. Termasuk Panggung Songgo Buwono. “Dengan begitu secara gaib
kraton akan selalu ‘dilindungi’ dan dibantu oleh Kanjeng Ratu ketika menghadapi
masalah-masalah yang rumit” lanjutnya
Disisi lain ada orang yang beranggapan bangunan Panggung Songgo Buwono
yang tingginya 36 meter ini merupakan tempat
untuk mengintip kondisi musuh yang berada di luar kraton, termasuk bekas markas
Kompeni Belanda, Benteng Vastenburg yang berada di sebelah utara gapura Kraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Alasannya, di puncak Panggung Songgo Buwono
itu pernah ditemukan teropong, alat yang digunakan untuk melihat secara jarak
jauh. “Karena dulu memang Panggung Songgo Buwono itu bangunan tertinggi di
wilayah Surakarta ”
ujar KGPH Dipokusomo
Selanjutnya secara terpisah Kanjeng
Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo yang juga salah satu putra kinasih PB
XII mengatakan, Panggung Songgo Buwono itu berada di Sasana Sewaka. Kraton
Surakarta ini jika dilihat dari radius 500 meter dari luar areal kraton saja
puncak Panggung Songgo Buwono sudah tidak tampak lagi. Hal ini berdasarkan
perkembangan zaman sekarang ini bangunan gedung bertingkat sudah banyak yang
menjulang tinggi melebihi bangunan Songgo Buwono.
Waktu Negara
ini belum merdeka, Panggung Songgo Buwono merupakan ‘tower’ yang bentuknya segi
delapan, dengan diameter 7 meter dan dibangun tahun 1785 pada saat zaman
keemasan PB III. Bangunan ini tampak megah, tinggi dan kokoh. Sehingga sesuai
dengan namanya yang memiliki makna penopang alam semesta (panyangga
jagad/dunia) dan tidak ada yang menyamai. Saat itu ratusan tahun setelah kraton
pindah dari Kraton Kartasura. “Memang
dulu Kraton Surakarta, merupakan kraton pindahan dari Kraton Kartasura, seusai
perang pecinan” katanya
Selanjutnya
Panggung Songgo Buwono ini sudah berulangkali mengalami renovasi. Yakni pada zaman PB VIII tahun 1870, bangunan ini pernah retak
akibat terjadinya gempa bumi. Pada tahun
1954, bangunan Panggung Songgo Buwono pernah terbakar, karena terjadinya konsleting listrik arus pendek.
Untungnya, kata Mas Dipo (panggilan akrab KGPH Dipokusumo), tidak menjalar
sampai kebawah.
Kendati begitu bangunan yang terdiri dari ornamen kayu jati yang
sudah rapuh itu memang perlu diperbarui.
Meski sedikit demi sedikit dimulai di renovasi lagi pada tahun 1970 sampai
tahun 1985, tetapi pada tahun 1987 kraton juga kebakaran lagi dengan sebab yang
sama, yaitu konsleting arus listrik cendhek dan terpaksa dibangun lagi.
Masih menurut Mas Dipo, fungsi bangunan Songgo Buwono ini kalau dilihat dari
sisi-sisi bangunanya yang kokoh dan tinggi, pantas kalau dijadikan tower untuk
mengamati. ”Dengan kondisi bangunannya yang tinggi memudahkan dengan gamblang
raja mengawasi situasi dan kondisi
atau suasana ibukota kerajaan,” ungkapnya
Termasuk untuk mengawasi kegitan dan gerak gerik pasukan musuh. Kompeni
belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg yang jaraknya tidak jauh dari
kraton ini. Panggung Songgo Buwono dalam kondisi sekarang seperti kehilangan
pamornya, sebab sudah tidak lagi sebagai bangunan yang tertinggi di Kota Solo.
Dengan demikian sudah tidak lagi berfungsi sebagai tempat pengamatan keadaan di luar kraton. Masalahnya
sekarang sudah banyak bangunan yang dekat dengan kraton saja sudah menjulang
tinggi, melebihi Panggung Songgo Buwono.
Menerima
Kenyataan.
Mas Dipo mencontohkan, bangunan itu diantaranya kantor BCA (bank
central Asia), BTC (benteng trade center), bangunan bekas gedhung BHS (bank harapan
santosa) maupun PGS (pusat grosir Solo) dan masih banyak yang lainnya. Meski
begitu kondisi ini tidak bisa di tolak pendiriannya begitu, sebab sudah menjadi resiko dan tuntutan
zaman. Mas Dipo sendiri juga mengakui, adanya
apartemen, hotel, kantor-kantor yang bermunculan di Kota Solo memang
tidak bisa begitu saja dibendung. ”Semua itu sebagai tanda kemajuan masyarakat
kota, sehingga kraton harus mau menerima kenyataan ini” kilahnya
Memang, sebelum negara ini berubah menjadi republik ada larangan
mendirikan bangunan yang tingginya melebihi Panggung Songgo Buwono. Sudah
semestinya kalau aturan itu sangat logis pada waktu itu, karena bangunan ini
merupakan tower yang berfungsi untuk mengamati kondisi di luar kraton yang
merupakan pemerintahan yang berkuasa pada zamanya. Namun setelah fungsi itu
surut, maka aturan tadi sudah tidak bisa lagi diberlakukan. “Meski begitu,
pemerintah bisa memberi toleransi. Maksud saya, bangunan ini pada radius tertentu
masih bisa dilihat oleh para wisatawan dan lingkunagan bangunan kraton masih bisa
dirasakan sebagai bangunan sejarah” ujarnya.
Sementara itu kembali menurut pendapat Mbak Moeng (panggilan akrab GKR
Wandansari), Panggung Songgo Buwono itu
sebagai tempat untuk melakukan olah medetasi atau semadi dengan heneng dan
hening, mengosongkan pikiran seorang raja menyampaikan permohonan kepada Tuhan
agar kawula (rakyatnya) supaya damai
dan sejahtera. ”Panggung Songgo Buwono itu sebagai tempat rada berdoa agar
kondisi kawula tetap tata tentrem kerta
raharja, gemah ripah loh jinawi bagi bangsa dan negara nusantara, sehingga
bisa terhindar dari musibah dan bencana” katanya
Jadi bangunan Panggung Songgo Buwono ini merupakan salah satu bangunan
kraton yang dikeramatkan, sehingga tidak sembarang orang bisa memasukinya,
kalau tidak mendapatkan palilah
(diijinkan) raja. Memang, pada waktu-waktu tertentu para ulama kraton dan
spiritualis kraton diijinkan masuk untuk melakukan jamasan (membersihkan) Panggung
Songgo Buwono. Disinggung masalah fungsi panggung (menara) kraton ini
untuk mengintip kondisi di luar kraton, Mbak Moeng juga membenarkan jika pada
zaman penjajahan Kolonial Belanda untuk mengawasi kegiatan musuh.
Namun setelah zaman ini merdeka dan berubah menjadi negara kesatuan RI,
Panggung Songgo Buwono berubah fungsi dan dikultuskan sebagai tempat untuk
menghormati jerih payah perjuangan Kanjeng Ratu Kidul yang membela kraton dalam
kondisi terjepit. Untuk itu panggung ini digunakan sebagai sarana meditasi,
pertemuan gaib antara kanjeng sinuwun
(panggilan untuk raja) dengan Kanjeng
Ratu Kidul, berdoa dan sarana bersyukur atas nikmat yang telah dianugrahkan
Tuhan. ”Maka pada waktu tertentu panggung ini diberi sesaji, sebagai
persembahan bagi mahkluk gaib yang ada disekitarnya” pungkasnya. @JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar