Selasa, 26 Maret 2013

Siluman Rawa Onom Pulau Majeti (6)


Pengkhianatan Patih Selang Kuning pada Prabu Raksabumi

Jendra menceritakan kepada penghuni rumahtermasuk Bendara Wedana dan teman-temannya tentang pertemuannya dengan penghuni kerajaan Majeti,  kecantikan Nyi Indangwati dan muasal perselisihan Galuh -Majeti. Namun ia juga mengaku hanya pergi bertemu penghuni Siluman Onom selama satu hari saja, bukan sepuluh hari seperti pengakuan Bendara Wedana dan Mang Sajum.


"Tiga hari? Saya hanya beberapa saat saja berbicara dengan Nyi Naimah."
"Nyi Naimah? Siapa dia? Ketika bergumam dalam pingsan, kau memang selalu menyebut nyebut Naimah, Naimah, gitu. Aneh ... "gumam Mang Sajum.
"Sudahlah. Itu nanti saja. Yang perlu saya ketahui, mengapa saya dikabarkan telah mati? "
potong Lendra tak sabar. Maka Mang Sajum kembali mengabarkan peristiwa sepuluh hari lalu. Ya, sepuluh hari lalu Jendra yang hilang di sekitar Rawa onom, ditemukan di pinggir rawa, tertelungkup dan terbenam.

"Namun kau sudah tak bernyawa. Sore itu juga di tengah hujan lebat kau dimakamkan.
Namun aneh, di saat peringatan ke tujuh hari, kau muncul ... "tutur Mang Sajum.
"Saya memang tak mati dan tak merasa pernah dikuburkan. Saya juga tak merasa hilang
selama seminggu. Paling hanya satu hari saja berjumpa dengan Nyi Indangwati ... "tutur Jendra.
"Nyi Indangwati? Siapa dia? "Tanya Mang Sajum heran." Dia adalah putri Prabu Selang Kuning ... "
"Masya Allah ... Menurut orang tua di sini, Prabu Selang Kuning adalah penguasa Pulo
Majeti! "cetus Mang Sajum. "Begitu juga yang dikatakan Nyi Naimah ..." "Ya, siapa pula Nyi Naimah?" Dia hanya pembantu biasa Nyi Indangwati. Tapi cantiknya sungguh memukau ... " Jendra berdecak sendirian.

"Sudahlah. ucapanmu membuat bulu-kudukku berdiri, Jendra ..." kata Mang Sajum
mengusap-usap tengkuknya sendiri. "Tapi kau diamlah, Jendra. Maksudku, jangan banyak
bicarakan hal aneh ini. Sungguh tak baik. Penghuni Rawa onom tak baik banyak diceritakan, "
kata Mang Sajum namun bulu kuduknya masih terasa bergidik juga.

Kendati banyak orang menjenguknya untuk bertanya perihal keajaiban "orang mati hidup
kembali ", namun Jendra tak banyak bicara. Bukan karena taat akan amanat Mang Sajum.
Namun bagi dirinya, percuma saja memperbincangkan sesuatu hal yang tak masuk diakal untuk
perkiraan orang lain.

"Hanya yang pernah mengalaminya yang akan percaya omonganku ..." katanya dalam hati.
Itulah sebabnya, ketika banyak orang menjenguknya dan bertanya itu-ini, Jendra hanya
bilang tak ingat sesuatu. Begitu sampai tiba pada suatu saat. Saat itu adalah saat di mana Bendara Wedana sudah ingin berburu kembali. Kata Bendara, perburuan beberapa minggu lalu dirasa kurang berhasil sebab buruan banyak yang kabur ke dalam hutan.Maka pada minggu depan akan segera dirancang kembali.

"Apakah tak sebaiknya Bendara urungkan saja, Gamparan?" kata Jendra menyembah hormat.
"Jangan khawatir, sebab engkau pula ini tak akan aku ikut-sertakan lagi, Jendra. Apalagi
kesehatanmu belum pulih benar ... " sahut Bendara Wedana. "Bukan itu yang saya maksud, Bendara. Saya bukannya tak mau ikut. Namun maafkan pendapat saya. Rasanya tak baik melakukan perburuan terhadap sesama mahluk hidup ... " tutur Jendra sedikit berani namun sambil menunduk penuh takut.

Ada dua rasa takut yang dia rasakan. Pertama takut Bendara Wedana marah karena tersinggung. Kedua takut Bendara Wedana mengalami hal-hal buruk.Kalau ingat peristiwa tempo hari, yang menurut penglihatan Bendara waktu itu sekelompok Menjangan, nyatanya adalah para wanita cantik dan satunya terluka parah oleh panah Bendara Wedana. Jendra takut, ada balas-dendam atas tindakan Bendara Wedana ini.

Mendengar alasan dan pendapat pegawainya, ternyata Bendara Wedana tidak merasa
tersinggung, bahkan beliau tersenyum lega. "Aku bersyukur bahwa engkau mencintai
lingkungan alam. Tapi kamu musti tahu juga, bahwa kehidupan alam perlu keseimbangan.
Bila isi alam tak seimbang, akan punya masalah juga. Berburu binatang hutan adalah upaya
untuk menyeimbangkan isi hutan. Kita hanya berburu binatang yang sudah cukup tua saja.
Binatang yang muda-muda tak kita habisi sebab berguna untuk kelangsungan penghuni hutan.
Hanya memang ... " Bendara Wedana agak tersendat pembicaraannya, "Hanya memang
beberapa waktu lalu aku ada kekeliruan. Aku memanah Menjangan yang masih muda. Itu tak
baik sebenarnya ... " tutur Bendara Wedana.

Jendra mengangguk. Namun sebenarnya hatinya kurang puas sebab yang ingin dia cegah
adalah berburu gadis-gadis cantik di sekitar sisi-sisi Rawa onom itu. Tapi, apa mungkin
Jendra berkata begitu sementara Bendara Wedana tak merasa tengah berburu gadis? Itulah
yang jadi kesulitan untuk Jendra untuk bicara sesungguhnya.

Bendara Wedana seperti saran pada kekecewan aparatnya. Makanya beliau menjelaskan
lebih rinci. Kata beliau, berburu hanyalah kerja sampingan saja, sebab tugas sebenarnya
adalah melakukan kunjungan ke beberapa wilayah kekuasaannya untuk mengontrol sejauh
mana tingkat penghidupan masyarakat.

"Pergi ke wilayah-wilayah terpencil akan terasa jenuh bila tak disertai dengan hiburan berburu. Kita punya pekerjaan besar yang sebelumnya harus dilakukan penelitian dulu. Kita akan mengeringkan Rawa onom, seperti kita mengeringkan beberapa daerah banjir di wilayah Krangkeng, Indramayu, dahulu Jendra ... " kata Bendara Wedana.

Kembali Jendra hanya mengangguk pelan. Anak-muda ini tahu persis, di Kecamatan Krangkeng dulu, majikannya mengalami sukses besar mengeringkan wilayah-wilayah yang sebelumnya
menjadi langganan banjir Sungai Cimanuk. Bahkan atas jasanya ini, Bendara Wedana mendapatkan pujian besar dari pemerintahan pusat di Batavia. Sekarang rupanya sukses besar
ini akan diulangi di daerah Rawa Onom. Kata Bendara Wedana, bila Rawa onom dikeringkan,
akan menjadi sebuah hamparan persawahan yang amat subur dan akan semakin mensejahterakan masyarakatnya. "Rawa onom harus dikeringkan sebab rakyat harus sejahtera," tutur Bendara Wedana.

Aneh sekali, seusai mendengar rencana besar ini, Jendra mendadak menderita sakit disertai
demam hebat. Bila malam menjelang, kerjanya mengigau tak beraturan. Namun terkadang
orang mendengar celotehnya.
"Nyi Indang ... Nyi Indang ... Ngi Indang ..." keluhnya.
"wuah, Si Jendra tengah kasmaran sama gadis desa rupanya," kata Jang Dayat. Hanya Mang
Sajum saja yang berpikir lain.

Betul apa yang jadi anggapan Mang Sajum. Jendra bukan tengah tidur sambil mengigau.
Namun alam bawah sadarnya tengah berkelana kembali ke alam lain. Yang diingat Jendra
ketika itu bahkan dia tengah duduk berhadapan dengan Nyi Indangwati.
Nyi Indangwati tengah mengemukakan kekhawatirannya bahwa negaranya akan diluluhlantakan
oleh tim dari Pemerintah Galuh.
"Mengapa Pemerintah Galuh begitu memusuhi Pemerintah Pulo Majeti, Nyai?" tanya Jendra.
Nyi Indangwati menunduk lesu sehingga ujung-ujung rambutnya yang hitam halus
bergoyang-goyang sedikit menutupi jidatnya yang putih.

"Itu terjadi memang dari kesalahan ayahanda Prabu sendiri ..." keluh Nyi Indangwati. Maka
sambil duduk bersimpuh di atas hamparan beludru, Nyi Indangwati menjelaskan.

Dulu ayahnya adalah patih dari Kerajaan Galuh. Merupakan seorang pejabat yang paling
pandai dan paling dipercaya Raja. Bila ada pekerjaan-pekerjaan penting di pemerintahan, maka
tugas berat itu diserahkannja kepada Patih Selang Kuning. Suatu saat Prabu Raksabuana,
yaitu Raja Galuh waktu itu, memanggil Selang Kuning. Sang Patih cakap ini diserahi tugas
agar sudi memajukan sebuah wilayah yang kini bernama Pulau Majeti. Raja menginginkan
agar seluruh wilayah Galuh punya arti penting dalam ikut mensejahterakan rakyat. Kata Raja,
Pulo Majeti itu wilayah subur. Dan bila bisa dibuka maka akan semakin bisa meningkatkan
kesejahteraan rakyat Galuh.

Patih Selang Kuning seperti biasa menyanggupi tugas berat ini. Maka, Sang Patih berangkat bersama para pengikut setianya. Bahkan istri dan anaknya dibawa serta. Padahal, pindah ke Pulau Majeti bukan untuk bersenang-senang. Di sana tak ada keraton, tak ada tempat tidur, bahkan makanan pun.

Pulau Majeti ketika itu, hanyalah sebuah wilayah hutan yang penuh rawa. Tapi, bukanlah
Patih Selang Kuning namanya bila tak sanggup menciptakan dari ketiadaan menjadi sesuatu
yang ada. Patih Selang Kuning tidak siang tidak malam bekerja memimpin sendiri berbagai
pembangunan di Pulau Majeti. Lahan pertanian dan perkebunan dibuka. Demikian pun irigasi
irigasi. Sambil membangun sarana pertanian dan perkebunan, Patih Selang Kuning pun
membangun sebuah keraton yang lebih indah dari Keraton Galuh sendiri.

Berkat kepemimpinan Patih Selang Kuning, Pulau Majeti yang semula hanya berupa hutan
belukar tanpa penghuni, beberapa tahun kemudian telah berubah menjadi sebuah negara yang
subur makmur gemah ripah lohjinawi. Banyak penduduk Galuh lainnya kini memilih hidup di
Pulo Majeti sebab kesejahteraan lebih terasa dibanding di Galuh sendiri. Demikian yang
terjadi sampai belasan tahun berlalu. Sampai pada suatu saat, datang utusan dari Pemerintah
Galuh. Utusan itu menyampaikan rasa khawatir Prabu Raksabumi, sebab patihnya yang setia
tak pernah kembali dalam upaya mengemban tugas. Utusan itu baru merasa bengong setelah
mengetahui bahwa di Pulo Majeti ada sebuah negeri baru yang kemakmurannya melebihi
Galuh.

"Tak dinyana, itu berkat kepemimpinan engkau hai Patih Selang Kuning ..." kata utusan amat
bahagia. Selang Kuning pun terlihat bangga atas pujian ini. Namun suasana ceria mendadak tegang setelah Selang Kuning ditanya, kapan akan melaporkan hasil pekerjaannya ini. "Oh, mengapa aku harus melapor, sepertinya aku ini punya atasan? Tidak, sebab aku adalah penguasa Kerajaan Pulo Majeti dan Pulo Majetilah yang terbesar di wilayah ini, bukan siapa-siapa, "tutur Selang Kuning dengan angkuhnya.

"Kalau disebut permusuhan antara Galuh dengan Pulo Majeti, maka itulah awal
permasalahannya ... " tutur Nyi Indangwati setelah menampilkan riwayat berdirinya Kerajaan
Pulo Majeti. "Jelas, Galuh akan membenci Pulo Majeti sebab ayahandamu telah melakukan pengkhianatan, Nyai ... " kata Jendra menimpali. Dikomentari begini, gadis berlesung pipit itu hanya menunduk lesu dan menghela napas panjang.@bersambung

Tidak ada komentar: