Pengkhianatan
Patih Selang Kuning pada Prabu Raksabumi
Jendra
menceritakan kepada penghuni rumahtermasuk Bendara Wedana dan teman-temannya
tentang pertemuannya dengan penghuni kerajaan Majeti, kecantikan Nyi Indangwati dan muasal
perselisihan Galuh -Majeti. Namun ia juga mengaku hanya pergi bertemu penghuni
Siluman Onom selama satu hari saja, bukan sepuluh hari seperti pengakuan Bendara
Wedana dan Mang Sajum.
"Tiga hari? Saya hanya
beberapa saat saja berbicara dengan Nyi Naimah."
"Nyi Naimah? Siapa dia?
Ketika bergumam dalam pingsan, kau memang selalu menyebut nyebut Naimah,
Naimah, gitu. Aneh ... "gumam Mang Sajum.
"Sudahlah. Itu nanti saja.
Yang perlu saya ketahui, mengapa saya dikabarkan telah mati? "
potong Lendra tak sabar. Maka
Mang Sajum kembali mengabarkan peristiwa sepuluh hari lalu. Ya, sepuluh hari
lalu Jendra yang hilang di sekitar Rawa onom, ditemukan di pinggir rawa,
tertelungkup dan terbenam.
"Namun kau sudah tak
bernyawa. Sore itu juga di tengah hujan lebat kau dimakamkan.
Namun aneh, di saat peringatan ke
tujuh hari, kau muncul ... "tutur Mang Sajum.
"Saya memang tak mati dan
tak merasa pernah dikuburkan. Saya juga tak merasa hilang
selama seminggu. Paling hanya
satu hari saja berjumpa dengan Nyi Indangwati ... "tutur Jendra.
"Nyi Indangwati? Siapa dia?
"Tanya Mang Sajum heran." Dia adalah putri Prabu Selang Kuning ...
"
"Masya Allah ... Menurut
orang tua di sini, Prabu Selang Kuning adalah penguasa Pulo
Majeti! "cetus Mang Sajum.
"Begitu juga yang dikatakan Nyi Naimah ..." "Ya, siapa pula Nyi
Naimah?" Dia hanya pembantu biasa Nyi Indangwati. Tapi cantiknya sungguh
memukau ... " Jendra berdecak sendirian.
"Sudahlah. ucapanmu membuat
bulu-kudukku berdiri, Jendra ..." kata Mang Sajum
mengusap-usap tengkuknya sendiri.
"Tapi kau diamlah, Jendra. Maksudku, jangan banyak
bicarakan hal aneh ini. Sungguh
tak baik. Penghuni Rawa onom tak baik banyak diceritakan, "
kata Mang Sajum namun bulu
kuduknya masih terasa bergidik juga.
Kendati banyak orang menjenguknya
untuk bertanya perihal keajaiban "orang mati hidup
kembali ", namun Jendra tak
banyak bicara. Bukan karena taat akan amanat Mang Sajum.
Namun bagi dirinya, percuma saja
memperbincangkan sesuatu hal yang tak masuk diakal untuk
perkiraan orang lain.
"Hanya yang pernah
mengalaminya yang akan percaya omonganku ..." katanya dalam hati.
Itulah sebabnya, ketika banyak
orang menjenguknya dan bertanya itu-ini, Jendra hanya
bilang tak ingat sesuatu. Begitu
sampai tiba pada suatu saat. Saat itu adalah saat di mana Bendara Wedana sudah
ingin berburu kembali. Kata Bendara, perburuan beberapa minggu lalu dirasa
kurang berhasil sebab buruan banyak yang kabur ke dalam hutan.Maka pada minggu
depan akan segera dirancang kembali.
"Apakah tak sebaiknya
Bendara urungkan saja, Gamparan?" kata Jendra menyembah hormat.
"Jangan khawatir, sebab
engkau pula ini tak akan aku ikut-sertakan lagi, Jendra. Apalagi
kesehatanmu belum pulih benar ...
" sahut Bendara Wedana. "Bukan itu yang saya maksud, Bendara. Saya
bukannya tak mau ikut. Namun maafkan pendapat saya. Rasanya tak baik melakukan
perburuan terhadap sesama mahluk hidup ... " tutur Jendra sedikit berani
namun sambil menunduk penuh takut.
Ada dua rasa takut yang dia
rasakan. Pertama takut Bendara Wedana marah karena tersinggung. Kedua takut
Bendara Wedana mengalami hal-hal buruk.Kalau ingat peristiwa tempo hari, yang
menurut penglihatan Bendara waktu itu sekelompok Menjangan, nyatanya adalah
para wanita cantik dan satunya terluka parah oleh panah Bendara Wedana. Jendra
takut, ada balas-dendam atas tindakan Bendara Wedana ini.
Mendengar alasan dan pendapat
pegawainya, ternyata Bendara Wedana tidak merasa
tersinggung, bahkan beliau tersenyum
lega. "Aku bersyukur bahwa engkau mencintai
lingkungan alam. Tapi kamu musti
tahu juga, bahwa kehidupan alam perlu keseimbangan.
Bila isi alam tak seimbang, akan
punya masalah juga. Berburu binatang hutan adalah upaya
untuk menyeimbangkan isi hutan.
Kita hanya berburu binatang yang sudah cukup tua saja.
Binatang yang muda-muda tak kita
habisi sebab berguna untuk kelangsungan penghuni hutan.
Hanya memang ... " Bendara
Wedana agak tersendat pembicaraannya, "Hanya memang
beberapa waktu lalu aku ada
kekeliruan. Aku memanah Menjangan yang masih muda. Itu tak
baik sebenarnya ... " tutur
Bendara Wedana.
Jendra mengangguk. Namun
sebenarnya hatinya kurang puas sebab yang ingin dia cegah
adalah berburu gadis-gadis cantik
di sekitar sisi-sisi Rawa onom itu. Tapi, apa mungkin
Jendra berkata begitu sementara
Bendara Wedana tak merasa tengah berburu gadis? Itulah
yang jadi kesulitan untuk Jendra
untuk bicara sesungguhnya.
Bendara Wedana seperti saran pada
kekecewan aparatnya. Makanya beliau menjelaskan
lebih rinci. Kata beliau, berburu
hanyalah kerja sampingan saja, sebab tugas sebenarnya
adalah melakukan kunjungan ke
beberapa wilayah kekuasaannya untuk mengontrol sejauh
mana tingkat penghidupan
masyarakat.
"Pergi ke wilayah-wilayah
terpencil akan terasa jenuh bila tak disertai dengan hiburan berburu. Kita
punya pekerjaan besar yang sebelumnya harus dilakukan penelitian dulu. Kita
akan mengeringkan Rawa onom, seperti kita mengeringkan beberapa daerah banjir
di wilayah Krangkeng, Indramayu, dahulu Jendra ... " kata Bendara Wedana.
Kembali Jendra hanya mengangguk
pelan. Anak-muda ini tahu persis, di Kecamatan Krangkeng dulu, majikannya
mengalami sukses besar mengeringkan wilayah-wilayah yang sebelumnya
menjadi langganan banjir Sungai
Cimanuk. Bahkan atas jasanya ini, Bendara Wedana mendapatkan pujian besar dari
pemerintahan pusat di Batavia. Sekarang rupanya sukses besar
ini akan diulangi di daerah Rawa
Onom. Kata Bendara Wedana, bila Rawa onom dikeringkan,
akan menjadi sebuah hamparan
persawahan yang amat subur dan akan semakin mensejahterakan masyarakatnya.
"Rawa onom harus dikeringkan sebab rakyat harus sejahtera," tutur
Bendara Wedana.
Aneh sekali, seusai mendengar
rencana besar ini, Jendra mendadak menderita sakit disertai
demam hebat. Bila malam
menjelang, kerjanya mengigau tak beraturan. Namun terkadang
orang mendengar celotehnya.
"Nyi Indang ... Nyi Indang
... Ngi Indang ..." keluhnya.
"wuah, Si Jendra tengah
kasmaran sama gadis desa rupanya," kata Jang Dayat. Hanya Mang
Sajum saja yang berpikir lain.
Betul apa yang jadi anggapan Mang
Sajum. Jendra bukan tengah tidur sambil mengigau.
Namun alam bawah sadarnya tengah
berkelana kembali ke alam lain. Yang diingat Jendra
ketika itu bahkan dia tengah
duduk berhadapan dengan Nyi Indangwati.
Nyi Indangwati tengah
mengemukakan kekhawatirannya bahwa negaranya akan diluluhlantakan
oleh tim dari Pemerintah Galuh.
"Mengapa Pemerintah Galuh
begitu memusuhi Pemerintah Pulo Majeti, Nyai?" tanya Jendra.
Nyi Indangwati menunduk lesu
sehingga ujung-ujung rambutnya yang hitam halus
bergoyang-goyang sedikit menutupi
jidatnya yang putih.
"Itu terjadi memang dari
kesalahan ayahanda Prabu sendiri ..." keluh Nyi Indangwati. Maka
sambil duduk bersimpuh di atas
hamparan beludru, Nyi Indangwati menjelaskan.
Dulu ayahnya adalah patih dari
Kerajaan Galuh. Merupakan seorang pejabat yang paling
pandai dan paling dipercaya Raja.
Bila ada pekerjaan-pekerjaan penting di pemerintahan, maka
tugas berat itu diserahkannja
kepada Patih Selang Kuning. Suatu saat Prabu Raksabuana,
yaitu Raja Galuh waktu itu,
memanggil Selang Kuning. Sang Patih cakap ini diserahi tugas
agar sudi memajukan sebuah
wilayah yang kini bernama Pulau Majeti. Raja menginginkan
agar seluruh wilayah Galuh punya
arti penting dalam ikut mensejahterakan rakyat. Kata Raja,
Pulo Majeti itu wilayah subur.
Dan bila bisa dibuka maka akan semakin bisa meningkatkan
kesejahteraan rakyat Galuh.
Patih Selang Kuning seperti biasa
menyanggupi tugas berat ini. Maka, Sang Patih berangkat bersama para pengikut
setianya. Bahkan istri dan anaknya dibawa serta. Padahal, pindah ke Pulau
Majeti bukan untuk bersenang-senang. Di sana tak ada keraton, tak ada tempat
tidur, bahkan makanan pun.
Pulau Majeti ketika itu, hanyalah
sebuah wilayah hutan yang penuh rawa. Tapi, bukanlah
Patih Selang Kuning namanya bila
tak sanggup menciptakan dari ketiadaan menjadi sesuatu
yang ada. Patih Selang Kuning
tidak siang tidak malam bekerja memimpin sendiri berbagai
pembangunan di Pulau Majeti.
Lahan pertanian dan perkebunan dibuka. Demikian pun irigasi
irigasi. Sambil membangun sarana
pertanian dan perkebunan, Patih Selang Kuning pun
membangun sebuah keraton yang
lebih indah dari Keraton Galuh sendiri.
Berkat kepemimpinan Patih Selang
Kuning, Pulau Majeti yang semula hanya berupa hutan
belukar tanpa penghuni, beberapa
tahun kemudian telah berubah menjadi sebuah negara yang
subur makmur gemah ripah
lohjinawi. Banyak penduduk Galuh lainnya kini memilih hidup di
Pulo Majeti sebab kesejahteraan
lebih terasa dibanding di Galuh sendiri. Demikian yang
terjadi sampai belasan tahun
berlalu. Sampai pada suatu saat, datang utusan dari Pemerintah
Galuh. Utusan itu menyampaikan
rasa khawatir Prabu Raksabumi, sebab patihnya yang setia
tak pernah kembali dalam upaya
mengemban tugas. Utusan itu baru merasa bengong setelah
mengetahui bahwa di Pulo Majeti
ada sebuah negeri baru yang kemakmurannya melebihi
Galuh.
"Tak dinyana, itu berkat
kepemimpinan engkau hai Patih Selang Kuning ..." kata utusan amat
bahagia. Selang Kuning pun
terlihat bangga atas pujian ini. Namun suasana ceria mendadak tegang setelah
Selang Kuning ditanya, kapan akan melaporkan hasil pekerjaannya ini. "Oh,
mengapa aku harus melapor, sepertinya aku ini punya atasan? Tidak, sebab aku
adalah penguasa Kerajaan Pulo Majeti dan Pulo Majetilah yang terbesar di
wilayah ini, bukan siapa-siapa, "tutur Selang Kuning dengan angkuhnya.
"Kalau disebut permusuhan
antara Galuh dengan Pulo Majeti, maka itulah awal
permasalahannya ... " tutur
Nyi Indangwati setelah menampilkan riwayat berdirinya Kerajaan
Pulo Majeti. "Jelas, Galuh
akan membenci Pulo Majeti sebab ayahandamu telah melakukan pengkhianatan, Nyai ...
" kata Jendra menimpali. Dikomentari begini, gadis berlesung pipit itu
hanya menunduk lesu dan menghela napas panjang.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar