Fatwa
Ampeldenta Urungkan Penyerangan, Penggulingan Majapahit dan Prabu Brawijaya V
Mendapati
kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram
hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah
Imam yang wajib dipatuhi.
Setelah keluar fatwa dari pemimpin
Islam se-Jawa, konflik mulai mereda. Namun bagaimanapun juga, dikalangan
orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu :
Kubu yang mencita-citakan
berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa. Kubu ini dipelopori oleh Sunan Giri. Kubu
ini mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara
bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu
yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
Kubu yang tidak menginginkan
berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu ini dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra
Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu kedua ini berpendapat,
dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam
diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam
pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Bibit perpecahan didalam
orang-orang Islam sendiri mulai muncul.Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam
ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para
militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat
pertikaian frontal yang berdarah-darah (Yang paling parah dan memakan banyak
korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan
menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan,
adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang
Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari
Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan.
Berdirinya
Ponorogo
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker,
sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden
Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden
Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden
Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden
Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang
terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker,
yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan
dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah
pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki
Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu
Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan
tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan
Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit
yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang
dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa
malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke
Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah
sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang
tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng
Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia
mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari
kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat
persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa
memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal
disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah,
menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil,
setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara
Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak
berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia
tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan
Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan
yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara
Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah
mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di
Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan
kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima
pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden
Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu
sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk
mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri.
Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran
itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan
mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat
Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken
Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan,
dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin
mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar,
Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan
semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara
Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih
mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka
rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden
Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki
Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah
dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua
orang adik laki-laki :
Sura Menggala. (sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo) dan Sura Handaka.
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala
berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar