Persekongkolan
Tentara Majapahit, Pandhita Shiva dan Wiku Buddha Sabda Palon dan Naya Genggong
Lawan Prabhu Brawijaya, Dewi Anarawati
Sentimen
anti Islam para pembesar Majapahit, para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha, memperingatkan
Prabhu Brawijaya dan menyudutkan Dewi Anarawati yang dituduh memberikan
fasilitas tak terbatas hingga berdirinya Pesantren pertama di Gresik sebagai
tandingan Ashrama tempat pusat Agama Shiva dan Agama Buddha dan memunculkan Ampeldhenta
Rombongan dari Champa ini
sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju
ibukota Negara Majapahit. Sayangnya, setiba di Gresik, Syeh Ibrahim
As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan
nama Syeh Ibrahim Asmorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang. Tepat dipesisir
sepanjang pantai Paciran.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim
As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua
putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati,
Sayyid `Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah
Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid `Ali Rahmad dan
Sayyid `Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan
atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo (Orang
Jawa tidak bisa mengucapkan huruf `dlo’. Huruf `dlo’ berubah menjadi `lo’.
Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll).
Namun lama kelamaan, Raden
Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan
dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim
pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah
Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan
Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden
Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima,
menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan
meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para
Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya.
Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum
yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai
juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat
kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang
Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabda Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan
berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya. Raja Majapahit
yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung
Merak, Dewi Anarawati. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari
Wengker dulu.
Berdirinya
Giri Kedhaton
Blambangan (Sekarang Banyuwangi),
sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan
ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan.
Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul
Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke
istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah
wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai (Sekarang
Aceh), yang masih kerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh
Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan
sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang
dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati
janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri,
jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka,
Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu
selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq,
mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama
berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi.
Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan
Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena
melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah
menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap
menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran
Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena
terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling
curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq,
ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan
kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh
Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi
ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan,
dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri
kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber
Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi
Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah
berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti
itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar.
Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita
kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan
diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke
Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar
bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh
menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan
diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak
bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan
kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng
Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan
cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng
Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang. Putra Syeh
Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan,
para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari
memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan
bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang
disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir
seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka
Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke
Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari
Sunan Ampel. Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan.
Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil
perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan
putra dan putri.
Makdum Ibrahim (Nama Champa-nya :
Bong-Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya
berubah menjadi Sunan Bonang).
Abdul Qasim, terkenal kemudian
dengan nama Sunan Derajat.
Maulana Ahmad, yang terkenal
dengan nama Sunan Lamongan,
Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan
dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton
(Sunan Giri),
Siti Asyiqah, kelak dijodohkan
dengan Raden Patah (Tan Eng Hwat), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang
ada di Palembang. Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka
Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia
dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel
bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila
sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam
pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik.
Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren.
Terkenal dengan nama Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya,
Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang
Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal
dengan nama Giri Kedhaton (Kerajaan Giri).
Sunan Giri, mengangkat dirinya
sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata (Penguasa Bermata Enam. Gelar
sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga).
Mendengar Gresik melepaskan diri
dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah,
segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah
tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan.
Kekhalifahan Islam pertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit
hancur oleh serangan Demak Bintara yang nota bene sebagai kerajaan Islam
pertama, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan tahun
setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita
yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan
Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya
ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng
atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, `kalam’ yang bisa membuat
`munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama
`Kalamunyeng’ . Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui
tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan
pemberontakan yang sempat `memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta
pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi
gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya (Intelijen)
Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil
yang sebenarnya bisa membahayakan.
Sabda Palon dan Naya Genggong
sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman.
Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu
kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh
janji yang lain, yaitu :
ANGKASHA (Ruang), Raja harus
memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya,
VAYU (Angin), Raja harus mampu
mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin.
AGNI (Api), Raja harus memberikan
hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api
yang membakar.
TIRTA (Air), Raja harus mampu
menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu
menumbuhkan biji-bijian.
PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu
memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada
diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia.
SURYA (Matahari), Raja harus
mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu
seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada.
CHANDRA (Bulan), Raja harus mampu
mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan,
bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari.
KARTIKA (Bintang), Raja harus
mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat
demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang
mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang.
itulah DELAPAN JANJI RAJA yang
disebut ASTHAVRATA (Jawa : Astobroto).
Dan menurut Sabda Palon dan Naya
Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar