Jurnalis Independen: Dari foto terlihat dengan jelas, siapa pemberi penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) pada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Dari kafiye yang dikenakan, jelas pemberi penghargaan itu adalah orang Yahudi. SBY memang antek Yahudi! Yahudi dan Zionis Internasional Memang telah lama "berhasil" menggenggam Indonesia!
Sebagaimana yang dikabarkan
media, baru baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan
negarawan dunia atau World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation
(ACF) di New York, Amerika Serikat. SBY mendapat penghargaan bergengsi ini
karena dinilai sukses dalam merawat toleransi dan kerukunan antar umat beragama
di Indonesia. Merespon kabar ini, sejumlah pihak meradang dan memprotes keras
penghargaan kepada SBY karena dianggap belum layak dan tidak sesuai realitas.
Satu diantaranya adalah tokoh
pastor Katolik Frans Magnis Suseno yang mengirimkan surat elektronik berisi
protes keras kepada AFC . Dalam suratnya, Frans menganggap kemimpinan SBY
selama 8,5 tahun gagal dalam menciptakan toleransi antar umat beragama. Hal ini
ditandai dengan menjamurnya perilaku intoleransi seperti kasus penutupan sejumlah
gereja, izin pembangunan rumah ibadah nonmuslim yang dipersulit, regulasi yang
membatasi kebebasan beribadah, dan aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah
serta minoritas Syiah.
Penulis termasuk yang sepakat
bahwa penghargaan negarawan dunia kepada SBY belum tepat. Namun, penulis tidak
sepakat jika yang menjadi alasan penolakan karena sikap intoleransi mayoritas
terhadap minoritas. Kalau kita mau objektif, alasan penolakan anugerah
penghargaan karena pemerintahan SBY justru melakukan pembiaran atas arogansi
dan pelecehan minoritas terhadap mayoritas. Kita tidak boleh lupa, bahwa
prinsip toleransi bukan hanya sekedar menghormati dan memberi kebebasan
beribadah antar sesama pemeluk agama. Yang tidak kalah penting -namun sering
atau sengaja dilupakan- bahwa pada saat bersamaan prinsip toleransi menuntut
aturan kehidupan beragama yang adil dan penghormatan terhadap ajaran agama itu
sendiri tanpa memandang status mayoritas atau minoritas. Inilah yang menjadi pondasi dan prasyarat
bagi terwujudnya toleransi yang kokoh dan bebas konflik.
Dengan kata lain, toleransi yang
dipupuk bukanlah kebebasan yang serba boleh tanpa nilai. Melainkan toleransi
yang sarat dengan ketaatan terhadap norma kehidupan beragama dan tata nilai
dalam ajaran agama. Persoalannya, pemaknaan terhadap toleransi saat ini semakin
melenceng jauh dari kaidah-kaidah yang semestinya. Penyimpangan tersebut dipicu
oleh liberalisasi toleransi yang ditandai pemaksaan oleh sekelompok pihak untuk
mendapat jaminan kebebasan dan pengakuan atas berbagai keyakinan/ajaran apapun
meski menodai kesucian agama itu sendiri.
Fenomena ini patut menjadi
kerisauan sekaligus kegalauan bagi publik karena paham liberalisme (kebebasan)
menjadikan kita kerap keliru dalam memaknai toleransi. Akibatnya, kita tidak
mampu melihat secara jernih mana masalah teknis prosedural danmana persoalan
substansial. Kita juga kesulitan membedakan batasan antara kebebasan beribadah
dengan pelecehan terhadap agama. Pada akhirnya, kita salah dalam menjustifikasi
sebuah peristiwa apakah terkategori diktator mayoritas atau justru arogansi
minoritas. Gejala nya sudah nampak. Ketika yang menjadi korban kebetulan
minoritas, maka mayoritas dituding intoleran tanpa memahami fakta sesungguhnya.
Sebaliknya, apabila yang mengalami penindasan mayoritas, maka dianggap wajar
dan sepi dari pemberitaan media. Jika
kita melihat dari bingkai toleransi secara utuh, masalah intoleransi yang
sampaikan Frans Magnis Suseno dalam surat elektroniknya justru menunjukkan hal
sebaliknya yakni arogansi minoritas terhadap mayoritas.
Kasus penutupan sejumlah gereja
seperti di Bekasi hakikatnya adalah masalah prosedur administrasi karena tidak
memiliki IMB dan bukan masalah substansi (perbedaan agama). Begitu juga, dalam
kasus penolakan terhadap pendirian GKI Yasmin di Bogor semata mata karena persoalan
prosedural. Warga merasa keberatan karena pihak GKI mendapatkan tanda tangan
persetujuan warga dengan cara menipu dan tidak transparan.
Tudingan mayoritas intoleran
semakin tidak logis apabila kita menyimak tingkat pertumbuhan rumah ibadah yang
dikeluarkan Kementerian Agama. Data
Kemenag dari tahun 2004 hingga 2007 menyebutkan pendirian gereja Katolik tumbuh
153 persen, gereja Protestan naik 131 persen, Vihara 368 persen dan pura Hindu
bertambah 475,25 persen. Sementara masjid hanya meningkat 64 persen. Sehingga,
sangat tidak masuk akal rumah ibadah nonmuslim bisa tumbuh sangat pesat bahkan
melampaui pertumbuhan masjid jika umat Islam tidak toleran.
Adapun menyangkut persoalan
Ahmadiyah, tidak pas kalau dikaitkan dengan masalah toleransi. Harus dipahami
bahwa kasus Ahmadiyah adalah masalah penistaan agama Islam karena menggangap
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan Tazkirah sebagai kitab sucinya. Atas
persoalan tersebut, umat Islam sebenarnya sudah cukup toleran dan memberikan
dua opsi. Pertama Ahmadiyah dan para
penganutnya bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam yang lurus. Kalau
menolak, diberi opsi kedua yakni meminta Ahmadiyah menjadi agama sendiri dan
bukan menjadi bagian dari ajaran Islam. Namun, Ahmadiyah tetap arogan dengan
menolak kedua opsi tersebut. Ahmadiyah juga dibiarkan tetap menjalankan ajaran
sesatnya.
Pada sisi lain, SBY terlihat ragu
dan enggan untuk menerbitkan keputusan pembubaran Ahmadiyah meski memiliki
dasar yang kuat. Sehingga, menjadi hal yang wajar jika umat Islam marah dan
kecewa sehingga berujung pada bentrok fisik. Kalau aksi kekerasan yang
dilakukan umat Islam salah, maka pemerintahan SBY menjadi pihak yang pertama
harus disalahkan dan paling bertanggung jawab karena kekerasan yang terjadi
berakar dari ketidaktegasan pemerintah membubarkan Ahmadiyah.
Sampai disini, penulis khawatir
jangan jangan protes keras yang dilakukan oleh Frans Magnis Suseno merupakan
arogansi minoritas dan bukan pembelaan toleransi. Sebagai penutup, penulis
ingin bertanya balik kepada Frans Magnis Suseno dan LSM yang ngakunya pejuang
HAM seperti Wahid Institute dan Setara Institute, mana suara pembelaan anda
terhadap kesulitan umat Islam (sebagai minoritas) membangun masjid di kawasan
Indonesia Timur ? mana suara lantang anda ketika hingga detik ini negara
Perancis melarang para muslimah
mengenakan jilbab dan Swiss yang
melarang umat Islam di sana membangun menara masjid ? Kenapa anda diam ketika
pemerintah Bulgaria melarang paspor
dengan foto perempuan yang mengenakan jilbab dan di kawasan Katalunia, Spanyol, pemerintah
setempat menolak pembangunan masjid?@Em/JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar