Dibalik Tanggal Kematian Bung
Karno dan Kelahiran Jokowi
Jurnalis Independen: “Saya
orang ndeso, tidak pernah merayakan hari kelahiran seperti banyak dirayakan
anak muda maupun orang tua yang memiliki gaya hidup borjuis”, kata Joko Widodo
Gubernur DKI Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta, Joko
Widodo, hari ini, Jumat 21 Juni 2013
berulang tahun ke-52 tahun. Tak ada pesta, tak ada kue bertumpuk. Semua
terlihat seperti biasanya. Tak ada yang istimewa.
Setibanya di kantor, Jokowi
langsung dikerumuni wartawan peliput kegiatan di Balaikota, Jakarta, untuk
mengucapkan selamat.
"Saya ini ndeso. Nggak
pernah ulang tahun, nggak pernah dirayakan dan nggak pernah merasakan ulang
tahun," ujarnya santai menanggapi ucapan wartawan.
Baginya, tak perlu mengadakan
pesta meriah saat hari kelahiran. Lebih baik,
berdoa dan bersyukur atas umur yang masih diberikan oleh Sang pencipta.
"Sekecil apapun yang
diberikan Allah, disyukuri, yang sedang disyukuri juga, itu saja. Nggak usah
neko neko," tambahnya.
Menurut mantan Wali kota Solo ini,
kehidupan layaknya roda yang terus
berputar. Jokowi berkisah, ia pernah mengalami pedihnya hidup sebagai tukang
ojek payung di kota asalnya hingga menjadi Gubernur DKI saat ini.
Bersyukur dan terus berusaha,
lebih baik ketimbang mengeluh. Di ulang tahun ke 52 yang hanya selisih satu
hari dengan hari ulang tahun Jakarta 22 Juni besok, Jokowi berharap seluruh
masyarakat Jakarta merasakan kegembiran.
"Kegembiraan masyarakat saat
perayaan ulang tahun DKI, kegembiraan saya juga," katanya.
Ia mengatakan perayaaan HUT
Jakarta lebih penting dibanding dirinya. "Kalau ulang tahun Jakarta, kita
rayakan sama-sama besok. Semoga semua masyarakat gembira dan Jakarta tambah
maju, itu saja," katanya.
Disaat Jokowi “dipaksa” merayakan
ulang tahunnya, pada hari ini pula di Blitar diadakan Haul Bung Karno yang ke
43 tahun.
Yang layak dicermati dari tanggal kelahiran Jokowi
52 tahun lalu, adalah merupakan tanggal wafatnya seorang tokoh internasional
berbangsa Indonesia. Walau kematian tokoh tersohor, seorang pejuang,
proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia wafat setelah mengalami
pemenjaraan tanpa perikemanusiaan. Sebelumnya tokoh tersebut mengalami kudeta
merangkak yang dilakukan oleh Mayor Jenderal Soeharto. Yang kemudian
menyiksanya tanpa ampun.
Soekarno hidup
menderita di akhir hidupnya. Dia menjalani tahanan rumah dan selalu dijaga
ketat oleh tentara. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memperlakukan
proklamator RI ini sebagai pesakitan.
Soekarno tak
punya uang simpanan di akhir hidupnya. Ketika salah seorang putrinya hendak
menikah, Soekarno tak punya uang. Dengan malu dan terpaksa, dia meminta bantuan
salah seorang istrinya, Yurike Sanger, untuk mencarikan utangan Rp 2 juta.
Dengan
pengawalan ketat, Soekarno menemui Yurike. Wanita itu menangis melihat
Soekarno. Tak ada lagi kegagahan yang dulu tampak. Sosok Soekarno kini tua dan
renta karena tekanan batin.
"Mas tak
ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal. Yang jadi persoalan utama, Mas
tidak punya uang. Hidupku selama ini sama sekali untuk bangsa dan negara, sama
sekali untuk kepentingan nasional," beber Soekarno dengan getir.
Untungnya
beberapa hari kemudian Yurike bisa mendapatkan uang itu. Dia mendapat pinjaman
lunak dari seorang pengusaha.
Hal itu
diceritakan Yurike Sanger dalam memoarnya yang ditulis Kadjat Adra'i dan
diterbitkan Komunitas Bambu.
Peristiwa lain
terjadi tahun 1969, saat itu Rachmawati Soekarnoputri menikah dengan Martomo
Pariatman Marzuki. Soekarno dengan penjagaan ketat tentara Orde Baru datang ke
pernikahan itu. Suasana sungguh mengharukan. Fatmawati, istri Soekarno
menyambut suami yang lama tidak ditemuinya. Fatmawati pun sedih melihat kondisi
Soekarno yang kurus dan lemah.
Dengan kasar
tentara itu mengusir Fatmawati agar tak mendekati Soekarno. Presiden pertama ini
benar-benar diperlakukan seperti narapidana.
Saat Sukmawati
menikah, peristiwa itu terulang lagi. Soekarno semakin lemah. Dia bahkan harus
dipapah saat naik tangga. Soekarno menangis tersedu-sedu melihat putrinya
menikah. Hadirin pun menangis melihat Soekarno sangat tak berdaya.
Tapi tidak
demikian dengan para penjaga Soekarno. Tanpa belas kasihan mereka mendorong
Soekarno masuk mobil saat jam kunjungan berakhir. Saat Soekarno hendak
melambaikan tangan, para tentara itu menarik tangan Soekarno dengan kasar,
bagai tentara komunis yang tidak berperikemanusiaan.
Tak ada bedanya
dengan memperlakukan bandit jalanan. Inilah senjakala sang pemimpin besar
revolusi. Dicampakkan bangsanya sendiri, lewat tangan-tangan kotor dan penuh
darah, seolah bangsa yang tidak mengenal Pancasila.
Presiden pertama
Republik Indonesia itu akhirnya meninggal dunia tanggal 21 Juni 1971. Kekuasaan
Soekarno secara perlahan dipreteli penguasa Orde Baru, yaitu saat itu
berpangkat Mayor Jenderal Soeharto. Sejak 1 Oktober 1965, awan hitam mulai
melingkupi senjakala di hari-hari terakhir Soekarno.
Jenderal
Soeharto saat itu menguasai hampir seluruh kekuatan militer. Orang yang
dianggap PKI atau Soekarnois dengan mudah ditangkap dan dibunuh. Banjir darah
dimana-mana.
Di tengah
kondisi yang semakin mencekam, sekitar tahun 1967 para loyalis Soekarno meminta
agar sang presiden pergi ke luar negeri untuk sementara. Jika keadaan sudah
aman, Soekarno bisa kembali ke Indonesia. Saat itu Soekarno banyak memiliki
sahabat di luar negeri. Tentu dengan mudah mereka akan memberikan bantuan.
Apa jawaban
Soekarno?
"Saya tidak
mau. Masak saya harus meninggalkan rakyat dalam kondisi seperti itu," kata
Soekarno tegas.
Kalau ke luar
negeri tidak mau, mereka meminta Soekarno bersembunyi di Jawa Timur saja.
Daerah itu dikenal sebagai tanah kelahiran sang proklamator. Loyalis Soekarno
di sana militan. Sebagian besar kekuatan militer di sana juga mendukung
Soekarno.
Lagi-lagi
Soekarno tidak mau. Hal ini tentu membuat kesal para loyalisnya. Hal itu
diceritakan dalam buku 'Hari-hari Terakhir Soekarno' yang ditulis Peter Kasenda
dan diterbitkan Komunitas Bambu.
"Bung Karno
ini kok apa-apa tidak mau. Maunya apa? Keadaan Bung Karno sudah seperti ini.
Kita ingin Bung Karno selamat. Semestinya Bung Karno menurut" kata Nyonya
Supeni yang mewakili para pendukungnya.
Soekarno yang
semula diam, angkat bicara. Dia mengingatkan tahun 1957, kapal induk Amerika
Serikat sudah berlayar ke perairan Indonesia. AS kala itu membantu
pemberontakan PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatera. AS menyumbang dana dan
senjata untuk memecah Indonesia. Kini, jika dirinya pergi, pasti AS akan
melakukan hal itu lagi.
"Kalau saya
pergi ke luar negeri atau saya pergi ke Jawa Timur dan kemudian terjadi perang
saudara melawan orang yang hendak menjatuhkan saya. Kamu tahu saya tidak bisa
melihat pertumpahan darah di antara kita sendiri. Tidak," tegas Soekarno.
Soekarno bicara
panjang lebar soal pencapaian Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda.
Sayang sekali negara persatuan yang sudah membentang dari Sabang sampai Merauke
terpecah-pecah karena perang saudara.
"Ingatlah,
biar saya tenggelam asal negara kesatuan Republik Indonesia tetap eksis,"
kata Soekarno.
Soekarno memilih
takdirnya. Walau akhirnya dia dimasukkan tahanan rumah oleh pemerintahan Orde
Baru hingga meninggal. Nasib Bapak Bangsa ini berakhir tragis. Tetapi rela
menjadi Tumbal untuk revolusi Indonesia.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut kekuasaan Presiden Soekarno
tanggal 12 Maret 1967. Sebelumnya sejak Surat Perintah 11 Maret 1966, kekuasaan
memang telah beralih pada Jenderal Soeharto.
Soekarno menolak
anjuran loyalisnya untuk melawan Jenderal Soeharto. Dia memilih mengalah. Maka
pelan-pelan Soekarno yang masih tinggal di Istana Negara dijadikan tahanan
rumah. Pemerintahan Orde Baru mulai memerintahkan menurunkan gambar-gambar
Soekarno dari kantor-kantor dan sekolah.
16 Agustus 1967,
Soekarno meninggalkan Istana. Tak ada raungan sirine atau pengawalan laiknya
seorang pejabat negara. Tidak ada lagi bendera kepresidenan yang 20 tahun
menemani Soekarno.
"Bung Karno
keluar hanya memakai piyama warna krem serta kaos oblong cap cabe. Baju
piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap bata yang sudah usang.
Tangan kanannya memegang koran yang digulung agak besar, isinya bendera sang
saka merah putih," kata Perwira Detasemen Kawal Pribadi Sogol Djauhari
Abdul Muchid.
Tak ada
pengawalan layaknya kepala negara, hanya seorang pria tua berusia 65 tahun
terkantuk-kantuk dalam mobil tua menyusuri jalanan Jakarta yang macet.
Soekarno sempat
tinggal di paviliun Istana Bogor. Gerakannya masih relatif bebas. Maka tentara
kemudian melarang Soekarno kembali ke Jakarta. Tentu hal ini membuat Soekarno
menderita. Dia mulai sakit-sakitan.
Akhirnya Agustus
1967, Soeharto juga mengeluarkan ultimatum bagi anak-anak Soekarno. Mereka
disuruh meninggalkan Istana Negara. Terpaksa mereka tinggal mengontrak,
sementara sebagian tinggal bersama Fatmawati di Kebayoran Baru.
Desember 1967,
giliran Soekarno dan Hartini yang diperintah meninggalkan paviliun Istana
Bogor. Kondisi kesehatan Soekarno makin buruk. Dia kemudian pindah ke
Batutulis, sebelum akhirnya menjadi tahanan rumah di Wisma Yasoo, Jakarta.
Di Wisma Yasoo
inilah Soekarno diperlakukan sebagai pesakitan. Kondisinya terus memburuk.
Tanggal 21 Juni 1970, Soekarno menghembuskan nafas terakhir. Berakhirlah hidup
Proklamator, pejuang dan presiden pertama Indonesia ini. Ironisnya, dalam
status tahanan rumah. Dia ditahan oleh bangsanya sendiri.
Sosok presiden pertama
Indonesia, Soekarno adalah sosok yang sangat disegani oleh bangsa Indonesia.
Namun, tak hanya di tanah air, sosok Bung Karno pun harum di luar negeri.
Hal tersebut
diungkapkan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Menurut Mahfud,
saat dirinya bepergian ke luar negeri, Indonesia selalu dikaitkan dengan
Soekarno.
"Saya
ketika ke luar negeri bila menyebutkan dari Indonesia, nama Soekarno yang
dikenal," kata Mahfud dalam Peluncuran dan Bedah Buku 'Total Bung Karno'
di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Mahfud
mencontohkan, saat dirinya hadir di acara asosiasi mahkamah kontitusi dunia di
Maroko, dirinya dikejutkan dengan sambutan yang luar biasa oleh ketua asosiasi
mahkamah konstitusi Afrika. Sang ketua mahkamah konstitusi Afrika itu
mengatakan Soekarno menjadi figur inspirasi Afrika dalam melawan penjajahan.
"Negara-negara
Afrika bangkit dari penjajahan karena semangat Soekarno," ucap Mahfud
menirukan ketua asosiasi mahkamah konstitusi dunia itu.
Lebih lanjut
Mahfud mengatakan, pada saat dirinya berjalan-jalan di Afrika dan masuk ke
restoran-restoran nama Soekarno sering di panggil oleh warga sana ketika tau
Mahfud dari Indonesia. Atas hal tersebut, Indonesia harus merasa sangat bangga.
"Kita harus
bangga punya Soekarno," katanya.
Terlepas dari itu, kematian Presiden Soekarno yang
terjadi tepat disaat usia Jokowi 9 tahun, ditengarai merupakan “estafet
kepemimpinan” dari Sang Proklamator Bung Karno kepada Bocah Solo tersebut.
Indikasi tanggal kematian Bung Karno dan kelahiran Joko Widodo yang sama yaitu
pada 21 Juni merupakan isyarat jelas estafet kepemimpinan NKRI. Apakah tahun
2014 mendatang merupakan peresmian tongkat komanda yang kini masih
disembunyikan? Hanya Soekarnoisme, Jokowiisme, rakyat merdeka yang loyal pada
NKRI lah yang bisa menentukan, menyatakan serah terima estafet kepemimpinan
dari mendiang Presiden Pertama RI Ir. Soekarno kepada Satrio Piningit Sinisihan
Wahyu Joko Widodo yang kini sedang merangkak menimbah ilmu pemerintahan sebagai
Gubernur DKI Jakarta.Zoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar