Senin, 24 Juni 2013

Jokowi Titisan Soekarno?



Dibalik Tanggal Kematian Bung Karno dan Kelahiran Jokowi

Jurnalis Independen: “Saya orang ndeso, tidak pernah merayakan hari kelahiran seperti banyak dirayakan anak muda maupun orang tua yang memiliki gaya hidup borjuis”, kata Joko Widodo Gubernur DKI Jakarta.


Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, hari ini, Jumat 21 Juni 2013
berulang tahun ke-52 tahun.  Tak ada pesta, tak ada kue bertumpuk. Semua terlihat seperti biasanya. Tak ada yang istimewa.

Setibanya di kantor, Jokowi langsung dikerumuni wartawan peliput kegiatan di Balaikota, Jakarta, untuk mengucapkan selamat.

"Saya ini ndeso. Nggak pernah ulang tahun, nggak pernah dirayakan dan nggak pernah merasakan ulang tahun," ujarnya santai menanggapi ucapan wartawan.

Baginya, tak perlu mengadakan pesta meriah saat hari kelahiran. Lebih baik,  berdoa dan bersyukur atas umur yang masih diberikan oleh Sang pencipta.

"Sekecil apapun yang diberikan Allah, disyukuri, yang sedang disyukuri juga, itu saja. Nggak usah neko neko," tambahnya.

Menurut mantan Wali kota Solo ini, kehidupan layaknya  roda yang terus berputar. Jokowi berkisah, ia pernah mengalami pedihnya hidup sebagai tukang ojek payung di kota asalnya hingga menjadi Gubernur DKI saat ini.

Bersyukur dan terus berusaha, lebih baik ketimbang mengeluh. Di ulang tahun ke 52 yang hanya selisih satu hari dengan hari ulang tahun Jakarta 22 Juni besok, Jokowi berharap seluruh masyarakat Jakarta merasakan kegembiran.

"Kegembiraan masyarakat saat perayaan ulang tahun DKI, kegembiraan saya juga," katanya.

Ia mengatakan perayaaan HUT Jakarta lebih penting dibanding dirinya. "Kalau ulang tahun Jakarta, kita rayakan sama-sama besok. Semoga semua masyarakat gembira dan Jakarta tambah maju, itu saja," katanya.

Disaat Jokowi “dipaksa” merayakan ulang tahunnya, pada hari ini pula di Blitar diadakan Haul Bung Karno yang ke 43 tahun.

Yang layak dicermati dari tanggal kelahiran Jokowi 52 tahun lalu, adalah merupakan tanggal wafatnya seorang tokoh internasional berbangsa Indonesia. Walau kematian tokoh tersohor, seorang pejuang, proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia wafat setelah mengalami pemenjaraan tanpa perikemanusiaan. Sebelumnya tokoh tersebut mengalami kudeta merangkak yang dilakukan oleh Mayor Jenderal Soeharto. Yang kemudian menyiksanya tanpa ampun.
Soekarno hidup menderita di akhir hidupnya. Dia menjalani tahanan rumah dan selalu dijaga ketat oleh tentara. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memperlakukan proklamator RI ini sebagai pesakitan.

Soekarno tak punya uang simpanan di akhir hidupnya. Ketika salah seorang putrinya hendak menikah, Soekarno tak punya uang. Dengan malu dan terpaksa, dia meminta bantuan salah seorang istrinya, Yurike Sanger, untuk mencarikan utangan Rp 2 juta.

Dengan pengawalan ketat, Soekarno menemui Yurike. Wanita itu menangis melihat Soekarno. Tak ada lagi kegagahan yang dulu tampak. Sosok Soekarno kini tua dan renta karena tekanan batin.

"Mas tak ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal. Yang jadi persoalan utama, Mas tidak punya uang. Hidupku selama ini sama sekali untuk bangsa dan negara, sama sekali untuk kepentingan nasional," beber Soekarno dengan getir.

Untungnya beberapa hari kemudian Yurike bisa mendapatkan uang itu. Dia mendapat pinjaman lunak dari seorang pengusaha.

Hal itu diceritakan Yurike Sanger dalam memoarnya yang ditulis Kadjat Adra'i dan diterbitkan Komunitas Bambu.

Peristiwa lain terjadi tahun 1969, saat itu Rachmawati Soekarnoputri menikah dengan Martomo Pariatman Marzuki. Soekarno dengan penjagaan ketat tentara Orde Baru datang ke pernikahan itu. Suasana sungguh mengharukan. Fatmawati, istri Soekarno menyambut suami yang lama tidak ditemuinya. Fatmawati pun sedih melihat kondisi Soekarno yang kurus dan lemah.

Dengan kasar tentara itu mengusir Fatmawati agar tak mendekati Soekarno. Presiden pertama ini benar-benar diperlakukan seperti narapidana.

Saat Sukmawati menikah, peristiwa itu terulang lagi. Soekarno semakin lemah. Dia bahkan harus dipapah saat naik tangga. Soekarno menangis tersedu-sedu melihat putrinya menikah. Hadirin pun menangis melihat Soekarno sangat tak berdaya.

Tapi tidak demikian dengan para penjaga Soekarno. Tanpa belas kasihan mereka mendorong Soekarno masuk mobil saat jam kunjungan berakhir. Saat Soekarno hendak melambaikan tangan, para tentara itu menarik tangan Soekarno dengan kasar, bagai tentara komunis yang tidak berperikemanusiaan.

Tak ada bedanya dengan memperlakukan bandit jalanan. Inilah senjakala sang pemimpin besar revolusi. Dicampakkan bangsanya sendiri, lewat tangan-tangan kotor dan penuh darah, seolah bangsa yang tidak mengenal Pancasila.

Presiden pertama Republik Indonesia itu akhirnya meninggal dunia tanggal 21 Juni 1971. Kekuasaan Soekarno secara perlahan dipreteli penguasa Orde Baru, yaitu saat itu berpangkat Mayor Jenderal Soeharto. Sejak 1 Oktober 1965, awan hitam mulai melingkupi senjakala di hari-hari terakhir Soekarno.

Jenderal Soeharto saat itu menguasai hampir seluruh kekuatan militer. Orang yang dianggap PKI atau Soekarnois dengan mudah ditangkap dan dibunuh. Banjir darah dimana-mana.

Di tengah kondisi yang semakin mencekam, sekitar tahun 1967 para loyalis Soekarno meminta agar sang presiden pergi ke luar negeri untuk sementara. Jika keadaan sudah aman, Soekarno bisa kembali ke Indonesia. Saat itu Soekarno banyak memiliki sahabat di luar negeri. Tentu dengan mudah mereka akan memberikan bantuan.

Apa jawaban Soekarno?

"Saya tidak mau. Masak saya harus meninggalkan rakyat dalam kondisi seperti itu," kata Soekarno tegas.

Kalau ke luar negeri tidak mau, mereka meminta Soekarno bersembunyi di Jawa Timur saja. Daerah itu dikenal sebagai tanah kelahiran sang proklamator. Loyalis Soekarno di sana militan. Sebagian besar kekuatan militer di sana juga mendukung Soekarno.

Lagi-lagi Soekarno tidak mau. Hal ini tentu membuat kesal para loyalisnya. Hal itu diceritakan dalam buku 'Hari-hari Terakhir Soekarno' yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu.

"Bung Karno ini kok apa-apa tidak mau. Maunya apa? Keadaan Bung Karno sudah seperti ini. Kita ingin Bung Karno selamat. Semestinya Bung Karno menurut" kata Nyonya Supeni yang mewakili para pendukungnya.

Soekarno yang semula diam, angkat bicara. Dia mengingatkan tahun 1957, kapal induk Amerika Serikat sudah berlayar ke perairan Indonesia. AS kala itu membantu pemberontakan PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatera. AS menyumbang dana dan senjata untuk memecah Indonesia. Kini, jika dirinya pergi, pasti AS akan melakukan hal itu lagi.

"Kalau saya pergi ke luar negeri atau saya pergi ke Jawa Timur dan kemudian terjadi perang saudara melawan orang yang hendak menjatuhkan saya. Kamu tahu saya tidak bisa melihat pertumpahan darah di antara kita sendiri. Tidak," tegas Soekarno.

Soekarno bicara panjang lebar soal pencapaian Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda. Sayang sekali negara persatuan yang sudah membentang dari Sabang sampai Merauke terpecah-pecah karena perang saudara.

"Ingatlah, biar saya tenggelam asal negara kesatuan Republik Indonesia tetap eksis," kata Soekarno.

Soekarno memilih takdirnya. Walau akhirnya dia dimasukkan tahanan rumah oleh pemerintahan Orde Baru hingga meninggal. Nasib Bapak Bangsa ini berakhir tragis. Tetapi rela menjadi Tumbal untuk revolusi Indonesia.


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut kekuasaan Presiden Soekarno tanggal 12 Maret 1967. Sebelumnya sejak Surat Perintah 11 Maret 1966, kekuasaan memang telah beralih pada Jenderal Soeharto.

Soekarno menolak anjuran loyalisnya untuk melawan Jenderal Soeharto. Dia memilih mengalah. Maka pelan-pelan Soekarno yang masih tinggal di Istana Negara dijadikan tahanan rumah. Pemerintahan Orde Baru mulai memerintahkan menurunkan gambar-gambar Soekarno dari kantor-kantor dan sekolah.

16 Agustus 1967, Soekarno meninggalkan Istana. Tak ada raungan sirine atau pengawalan laiknya seorang pejabat negara. Tidak ada lagi bendera kepresidenan yang 20 tahun menemani Soekarno.

"Bung Karno keluar hanya memakai piyama warna krem serta kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang koran yang digulung agak besar, isinya bendera sang saka merah putih," kata Perwira Detasemen Kawal Pribadi Sogol Djauhari Abdul Muchid.

Tak ada pengawalan layaknya kepala negara, hanya seorang pria tua berusia 65 tahun terkantuk-kantuk dalam mobil tua menyusuri jalanan Jakarta yang macet.

Soekarno sempat tinggal di paviliun Istana Bogor. Gerakannya masih relatif bebas. Maka tentara kemudian melarang Soekarno kembali ke Jakarta. Tentu hal ini membuat Soekarno menderita. Dia mulai sakit-sakitan.

Akhirnya Agustus 1967, Soeharto juga mengeluarkan ultimatum bagi anak-anak Soekarno. Mereka disuruh meninggalkan Istana Negara. Terpaksa mereka tinggal mengontrak, sementara sebagian tinggal bersama Fatmawati di Kebayoran Baru.

Desember 1967, giliran Soekarno dan Hartini yang diperintah meninggalkan paviliun Istana Bogor. Kondisi kesehatan Soekarno makin buruk. Dia kemudian pindah ke Batutulis, sebelum akhirnya menjadi tahanan rumah di Wisma Yasoo, Jakarta.

Di Wisma Yasoo inilah Soekarno diperlakukan sebagai pesakitan. Kondisinya terus memburuk. Tanggal 21 Juni 1970, Soekarno menghembuskan nafas terakhir. Berakhirlah hidup Proklamator, pejuang dan presiden pertama Indonesia ini. Ironisnya, dalam status tahanan rumah. Dia ditahan oleh bangsanya sendiri.

Sosok presiden pertama Indonesia, Soekarno adalah sosok yang sangat disegani oleh bangsa Indonesia. Namun, tak hanya di tanah air, sosok Bung Karno pun harum di luar negeri.
Hal tersebut diungkapkan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Menurut Mahfud, saat dirinya bepergian ke luar negeri, Indonesia selalu dikaitkan dengan Soekarno.

"Saya ketika ke luar negeri bila menyebutkan dari Indonesia, nama Soekarno yang dikenal," kata Mahfud dalam Peluncuran dan Bedah Buku 'Total Bung Karno' di Jakarta, Rabu (5/6/2013).

Mahfud mencontohkan, saat dirinya hadir di acara asosiasi mahkamah kontitusi dunia di Maroko, dirinya dikejutkan dengan sambutan yang luar biasa oleh ketua asosiasi mahkamah konstitusi Afrika. Sang ketua mahkamah konstitusi Afrika itu mengatakan Soekarno menjadi figur inspirasi Afrika dalam melawan penjajahan.

"Negara-negara Afrika bangkit dari penjajahan karena semangat Soekarno," ucap Mahfud menirukan ketua asosiasi mahkamah konstitusi dunia itu.

Lebih lanjut Mahfud mengatakan, pada saat dirinya berjalan-jalan di Afrika dan masuk ke restoran-restoran nama Soekarno sering di panggil oleh warga sana ketika tau Mahfud dari Indonesia. Atas hal tersebut, Indonesia harus merasa sangat bangga.

"Kita harus bangga punya Soekarno," katanya.

Terlepas dari itu, kematian Presiden Soekarno yang terjadi tepat disaat usia Jokowi 9 tahun, ditengarai merupakan “estafet kepemimpinan” dari Sang Proklamator Bung Karno kepada Bocah Solo tersebut. Indikasi tanggal kematian Bung Karno dan kelahiran Joko Widodo yang sama yaitu pada 21 Juni merupakan isyarat jelas estafet kepemimpinan NKRI. Apakah tahun 2014 mendatang merupakan peresmian tongkat komanda yang kini masih disembunyikan? Hanya Soekarnoisme, Jokowiisme, rakyat merdeka yang loyal pada NKRI lah yang bisa menentukan, menyatakan serah terima estafet kepemimpinan dari mendiang Presiden Pertama RI Ir. Soekarno kepada Satrio Piningit Sinisihan Wahyu Joko Widodo yang kini sedang merangkak menimbah ilmu pemerintahan sebagai Gubernur DKI Jakarta.Zoe  

Tidak ada komentar: