Jurnalis Independen: Masyarakat dunia tentu sudah
mengetahui kekejaman Hitler, Pol Pot, Mao, Stalin ataupun Soeharto. Akan
tetapi, siapa yang mengetahui kekejaman Dracula?
Vlad Tepes atau kemudian dikenal
di dunia sebagai Dracula, memang sudah menjadi sosok yang melegenda. Semua itu
tentunya berkat jasa Bram Stoker dengan novelnya, Dracula. Dari buah karya
Dracula puluhan film telah diproduksi, antara lain Dracula’s Daughter (1936),
Son of Dracula (1943), Hoorof of Dracula (1958), Nosferatu (1922), yang dibuat
ulang pada tahun 1979.
Baik buku mapun film-film
tersebut mempunyai gambaran yang sama tentang sosok Dracula, yaitu seorang
vampir yang haus darah. Ia diceritakan akan keluar setiap bulan purnama dari
kastilnya dengan memakai jubah hitam guna mencari korban sebagai santap malam.
Apakah Dracula memang seperti
yang digambarkan oleh Bram Stoker maupun film-film yang telah disebutkan tadi?
Inilah yang membuat menarik buku karya Hyphatia Cneajna yang berjudul Dracula,
Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib. Buku setebal 192 halaman ini tidak
menampilkan sosok Dracula sebagai vampir tapi sebagai sosok sejarah. Dracula
ditampilkan sebagaimana Hitler, Pol Pot, Mao dan tokoh-tokoh sejarah lainnya,
sehingga buku ini berbeda dengan buku sejenis yang pernah terbit sebelumnya.
Siapa sebenarnya Dracula? Sejarah
Dracula memang unik. Ia berada di antara dua kerajaan besar yang bertikai saat
itu. Kerajaan Honggaria dan Turki Ottoman. Masa kecil Vlad Tepes hingga
menginjak dewasa dihabiskan di Negara Turki, namun setelah pada saat pergolakan
antara Islam dan Tentara Salib, ia justru memihak Kerajaan Honggaria dalam
memperebutkan Konstantinopel. Posisi inilah yang menempatkan dirinya sebagai
pengkhianat bagi Turki dan pahlawan bagi Honggaria.
Sebagai penguasa Wallachia pada
kurun waktu 1456-1462 dan 1475-1476, Dracula memang cukup kontroversial. Ketika
baru saja bertahta ia justru membantai prajurit Turki yang telah mendukungnya.
Akan tetapi, tak lama setelah itu ia malah digulingkan oleh Honggaria karena
dianggap tak mau tunduk. Sebagaimana diktator dan tiran yang lain, guna
mengamankan posisinya yang seringkali terancam, maka Dracula memakai segala
cara agar kekuasaannya menjadi langgeng. Tentu saja cara yang ia pakai adalah
teror dan pembantain. Maka tak mengherankan kalau selama enam tahun
kekuasaannya ia telah membantai 500.000 rakyatnya—300.000 lainnya adalah umat
Islam.
Filsuf dan sekaligus aktivis
gerakan kiri Italia, Antonio Gramsci, dalam bukunya Notes on Italian History
(1934), mengungkapkan bahwa seringkali sejarah hanya berbicara tentang
kekuasaan yang menang. Sejarah semacam ini bisa dikatakan sebagai sejarah
superhero; ia hanya akan berbicara tentang para raja bukan tentang kawula.
Akibatnya, pihak-pihak yang kalah harus berada di luar gelanggang sejarah, yang
artinya tidak mempunyai peran apa-apa dalam sejarah.
Memang beberapa sejarawan seperti
Arnold Toynbee, memberikan pemaparan bahwa penjajahan sejarah. Hal ini
berakibat sejarah hanya berisikan masa lalu yang sesuai dengan Barat. Sehingga,
kejadian-kejadian lainnya dianggap tidak relevan dan karena itu bisa diabaikan.
Dalam konteks inilah Hyphatia mendasarkan kajiannya tentang sosok Dracula. Tidak
mengherankan kalau dalam satu bab ia menguraikan tentang “penjajahan sejarah”
tersebut.
Menurut Hyphatia akibat dominasi
Barat membuat sejarah Dracula tidak pernah terungkap dengan tuntas. Ia
memaparkan bahwa ada ceruk-ceruk sejarah yang selama ini tersembunyi dari sosok
Dracula, terutama menyangkut pembataian Dracula terhadap umat Islam dalam
Perang Salib. Sampai saat ini Perang Salib memang masih merupakan peristiwa
yang sensitif. Luka akibat perang tersebut masih membekas di antara dua kubu.
Dalam keadaan seperti inilah
Barat yang biasanya begitu getol mengungkap pembantaian-pembantaian umat
manusia, menurut Hyphatia menjadi enggan untuk mengorek-ngorek boroknya
sendiri. Inilah yang dalam pandangan Hyphatia membuat sosok Dracula tidak
pernah terkupas dengan tuntas.
Sebagai bukti atas uraiannya
kemudian Hyphatia menyandingkan sosok Dracula dengan Rambo. Kalau Rambo
merupakan sosok fiksi yang dibuat seolah-olah menjadi nyata sehingga bisa
menutupi kekalahan Amerika Serikat dalam perang Vietnam, maka Dracula dibuat
sebaliknya, tokoh nyata yang dibuat fiksi. Cara ini menurut Hyphatia merupakan
usaha Barat untuk mengaburkan jati diri Dracula yang sebenarnya. Dan, usaha ini
dalam pandangan Hyphatia cukup berhasil dengan melihat bahwa sebagian besar
masyarakat mengenalnya sebagai vampir, bukan sebagai sosok sejarah yang kejam
dan bengis.
Urain-urain Hyphatia di atas akan
mengingatkan kita pada pencitraan Amerika Serikat terhadap musuh-musuh mereka
di Timur Tengah. Bagi mereka negara-negara yang tidak mau tunduk kepada kemauan
Amerika Serikat seperti Irak dan Afghanistan, maka akan dituduh sebagai sarang
teroris. Dengan “kuasa sejarah” seperti itu mereka berhasil menutupi tujuan
sebenarnya—menguasai sumber minyak di Timur Tengah. Dan sebagai alasan yang
lagi in saat ini, yaitu memburu gembong teroris. Dan, usaha ini cukup berhasil
sehingga rencana Amerika Serikat mendapat dukungan dari sekutu-sekutunya.
Selain uraian tentang “penjajahan
sejarah” yang menarik dari buku karya Hyphatia adalah “keberaniannya”
mengungkap metode-metode penyiksaan yang dilakukan oleh Dracula. Setidaknya ada
lebih dari sepuluh metode penyiksaan Dracula, dan yang paling terkenal adalah
penyulaan. Penyulaan merupakan penyiksaan dengan cara menusuk korban dari
bagian bawah hingga tembus ke perut, tenggorokan atau kepala. Menurut Hyphatia
karena kegemaran Dracula melakukan “pesta” penyulaan tersebut ia mendapat
julukan Si Penyula.
Membaca urian Hyphatia tentang
metode-motode penyiksaan Dracula apabila perut tidak kuat memang akan membuat
mual. Akan tetapi, dengan uraiannya tersebut Hyphatia berhasil menggambarkan
betapa kejam dan sadisnya Dracula. Dan, kita pun akan menjadi diingatkan akan
kekejaman para tiran dan diktator yang lain. Tak sadar kita akan terbawa pada
kamar gas Hitler, ruang penyiksaan Pol Pot dan segala bentuk kekejian lainnya.
Dalam buku ini Hyphatia juga
membahas tentang mitos-mitos seputar Dracula. Mitos seputar kematian, kuburan
sampai kastil Dracula diuraikan dan dianalisa dengan rasional oleh Hyphatia,
sehingga kita akan mengetahui kenapa mitos-mitos tersebut bisa muncul dan
kemudian berkembang di masyarakat. Dan, bagi pembaca yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang Dracula, Hyphatia juga memberikan beberapa situs yang bisa
diakses.
Buku karya Hyphatia ini walaupun
judulnya terbaca provokatif sehingga seolah-olah menyudutkan pihak tertentu,
tapi patut dibaca oleh semua kalangan agar mendapatkan sebuah pandangan tentang
sejarah islam yang sesungguhnya. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar