Jendra Mencari Jejak Dayat di Handiwung Desa Siluman
Jurnalis Independen: Rombongan
pun pergi meninggalkan Kampung Handiwung. Rencananya, mereka akan mengambil
kuda yang dititipkan di kampung tetangga. Jalanan masih gelap sebab suasana masih
dinihari.
Camat Cisaga bertanya pada Kuwu
Cibeurih pukul berapa sekarang? Maka
Kuwu Cibeurih segera memasukkan
tangannya ke saku pakaian bedahan lima untuk
mengambil jam saku. Namun jam
saku tak ditemuinya.
"Waduh, jangan-jangan
tertinggal di Kampung Handiwung ..." keluhnya. Sambil berkata begitu,
kepalanya menoleh ke belakang.
"Hai, jangan toleh ke
belakang!" teriak Jendra. Namun peringatan ini tak berarti sebab Kuwu
Cibeurih sudah terlanjur menoleh.
Akibatnya sungguh mencengangkan. Jalanan yang tadinya
rata dan bersih dengan cahaya
damar sewu di sepanjang dua sisi jalanan mendadak hilang dan
suasana menjadi gelap-gulita.
Jalanan pun yang tadinya rata dan kering, telah berupa menjadi
becek dan berlumpur. Kaki Upas
Karta malah melesak masuk ke dalam rawa sebatas lutut.
"Wah, kok jadi begini?"
tanyanya heran .
Hanya Jendra yang tak heran.
Namun kendati begitu, tetap saja jiwanya bergetar.
Bahwa kehidupan nyata ini
bersanding dengan kehidupan gaib, kini dipercaya penuh olehnya.
"Kau mungkin sudah tahu akan
kejadian-kejadian aneh ini, Jendra .. "gumam Mang Sajum.
Jendra mengangguk. Bahkan Bendara
Wedana pun pelan-pelan mengangguk.
"Mohon Bendara percaya kalau
beberapa waktu lalu sebenarnya saya tidak mati, Gamparan ..."
gumam Jendra. Maka untuk kedua
kalinya Bendara Wedana mengangguk pelan.
"Jadi, bagaimana akal
kita?" tanya Upas Karta.
"Akalnya, ya jungkat kakimu
jangan dibiarkan melesak seperti itu, Mas Karta ..." kata Mang
Sajum sambil membantu menggapai
kaki Upas Karta. Dibantu dengan tenaga tarik Jendra,
maka kaki Upas Karta mulai bisa
ditarik.
"Maksudku, bagaimana akalnya
agar kita terbebas dari kungkungan misteri gaib ini, Sajum?" tanya Upas
Karta bingung dan suaranya bergetar.
"Justru sekarang kita
terbebas dari dunia gaib," kata Mang Sajum .
Kata Mang Sajum, mereka kini
terjebak di kubangan lumpur rawa. Tapi,
ya inilah kehidupan nyata.
"Barusan kita masuk ke kehidupan gaib, Gamparan ..." kata Mang Sajum,
membuat Upas Karta bergidik.
"Sudahlah. Mari kita
tinggalkan saja tempat ini," gumam Bendara Wedana sambil
meninggikan kain batiknya. Maka
mereka berjalan dengan susah-payah. Dan perjalanan kali
ini terasa sangat lama dan
melelahkan. Dini pun seperti enggan berubah menjadi
subuh sebab di ufuk timur seperti
tak ada tanda-tanda berkas cahaya walau selintas. Di saat
dinihari yang seharusnya berudara
dingin, hampir semua anggota rombongan basah kuyup
karena cucuran keringat. Sialnya,
cucuran keringat ini kini ditambah dengan cucuran air
hujan. Semua orang sungguh tak mengerti,
mengapa cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan
hujan turun dengan derasnya.
Hujan deras ini disertai dengan
kilatan halilintar dan bunyinya
sangat memekakkan telinga. Maka
perjalanan jadi semakin susah karena jalanan jadi semakin
becek. Namun Bendara Wedana
memerintahkan agar semua orang melanjutkan perjalanan
dengan tenang dan hati-hati.
"Kita sial. Padahal tadinya
kita akan berburu ke Rancabingung ..." keluh Kuwu Cibeurih.
Setelah berjalan beberapa lama
dengan susah-payah, akhirnya tiba juga di kampung di mana
kuda dititipkan. Di tapal-batas
kampung, hujan mulai reda. Bahkan rupanya di tempat ini tak
ada hujan sama-sekali. Jalan
setapak di desa ini kering dan tak pernah terguyur hujan. Di
saat terang-tanah, mereka
menemukan kuda-kuda mereka terpancang di beberapa batang
pohon yang jauh dari perumahan. Jendra
tercenung. Padahal kemarin sore, kuda itu dititipkan
di halaman rumah penduduk.
Ketika kuda dilepas talinya, dari
jauh nampak beberapa petani tengah memanggul cangkul.
Mang Sajum mengucapkan
terima-kasih bahwa kuda mereka aman di sini. Namun penduduk
malah melenggak heran. Kata
mereka, tak ada penduduk yang merasa dititipi kuda.
"Tadi malam tugur (ronda)
hilir-mudik ke sini. Tak ada siapapun di sini, apalagi kuda," kata
petani.
"Nah, ini kuda, kan?"
kata Upas Karta menunjuk kuda miliknya. "Ya, memang itu kuda. Tapi
tentu para juragan yang bawa
sendiri barusan ... " tutur penduduk lagi sambil senyum, sebab
mereka mengira migran ini lagi
membanyol.
Bendara Wedana bertanya perihal
nama kampung ini. Ini Kampung Babakan, masuk ke Desa Ciminyak. Sepagi ini, Tuan-tuan
dari mana saja? " tanya penduduk. Maka Bendara Wedana mengatakan kalau
rombongan baru saja pulang dari Kampung Handiwung.
"Kampung Handiwung? Serasa
tak ada desa bernama itu, kecuali Pulo Handiwung di
wilayah kawasan Rawa onom.
Gamparan dan semua rombongan nampak basah-kuyup,
rupanya menyebrangi Pulo
Handiwung sambil berenang di rawa, ya? "tanya penduduk heran.
Sudah barang tentu Upas Karta
marah dibuatnya.
"Mana bisa kami berenang di
rawa malam-malam? Kami ini kehujanan. Apa tak dengar di
saat dinihari hujan deras dan
halilintar bersahutan? "tanya Upas Karta.
"Hujan? Di sini tak ada
hujan, apalagi halilintar bersahutan, "gumam penduduk membuat
rombongan kembali bingung.
"Sudahlah. Ini bagian dari
kesialan kita, Karta ... "gumam Bendara Wedana sambil naik kuda.
Namun sebelum rombongan
berangkat, semuanya teringat nasib Jang Dayat.
"Kalau dia celaka, kita
bertanggung-jawab," tutur Bendara.
"Nasib Jang Dayat, biar
serahkan pada saya, Tuan Wedana ... "Jendra mengajukan diri.
"Maksud, engkau akan jemput
Jang Dayat? Kamu kan lagi sakit, Jendra? "Kata Bendara
Wedana.
"Tak apa. Sakitnya saya, kan
karena kegaiban. Maka saya akan kunjungi lagi dunia itu,
Tuan Wedana ... " kata Jendra.
@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar