Selasa, 18 Juni 2013

Siluman Rawa Onom (12)


Jendra Mencari Jejak Dayat di Handiwung Desa Siluman

Jurnalis Independen: Rombongan pun pergi meninggalkan Kampung Handiwung. Rencananya, mereka akan mengambil kuda yang dititipkan di kampung tetangga. Jalanan masih gelap sebab suasana masih dinihari.


Camat Cisaga bertanya pada Kuwu Cibeurih pukul berapa sekarang? Maka
Kuwu Cibeurih segera memasukkan tangannya ke saku pakaian bedahan lima untuk
mengambil jam saku. Namun jam saku tak ditemuinya.

"Waduh, jangan-jangan tertinggal di Kampung Handiwung ..." keluhnya. Sambil berkata begitu, kepalanya menoleh ke belakang.

"Hai, jangan toleh ke belakang!" teriak Jendra. Namun peringatan ini tak berarti sebab Kuwu
Cibeurih sudah terlanjur menoleh. Akibatnya sungguh mencengangkan. Jalanan yang tadinya
rata dan bersih dengan cahaya damar sewu di sepanjang dua sisi jalanan mendadak hilang dan
suasana menjadi gelap-gulita. Jalanan pun yang tadinya rata dan kering, telah berupa menjadi
becek dan berlumpur. Kaki Upas Karta malah melesak masuk ke dalam rawa sebatas lutut.
"Wah, kok jadi begini?" tanyanya heran .

Hanya Jendra yang tak heran. Namun kendati begitu, tetap saja jiwanya bergetar.
Bahwa kehidupan nyata ini bersanding dengan kehidupan gaib, kini dipercaya penuh olehnya.

"Kau mungkin sudah tahu akan kejadian-kejadian aneh ini, Jendra .. "gumam Mang Sajum.
Jendra mengangguk. Bahkan Bendara Wedana pun pelan-pelan mengangguk.

"Mohon Bendara percaya kalau beberapa waktu lalu sebenarnya saya tidak mati, Gamparan ..."
gumam Jendra. Maka untuk kedua kalinya Bendara Wedana mengangguk pelan.

"Jadi, bagaimana akal kita?" tanya Upas Karta.
"Akalnya, ya jungkat kakimu jangan dibiarkan melesak seperti itu, Mas Karta ..." kata Mang
Sajum sambil membantu menggapai kaki Upas Karta. Dibantu dengan tenaga tarik Jendra,
maka kaki Upas Karta mulai bisa ditarik.

"Maksudku, bagaimana akalnya agar kita terbebas dari kungkungan misteri gaib ini, Sajum?" tanya Upas Karta bingung dan suaranya bergetar.
"Justru sekarang kita terbebas dari dunia gaib," kata Mang Sajum .
Kata Mang Sajum, mereka kini terjebak di kubangan lumpur rawa. Tapi,
ya inilah kehidupan nyata. "Barusan kita masuk ke kehidupan gaib, Gamparan ..." kata Mang Sajum, membuat Upas Karta bergidik.

"Sudahlah. Mari kita tinggalkan saja tempat ini," gumam Bendara Wedana sambil
meninggikan kain batiknya. Maka mereka berjalan dengan susah-payah. Dan perjalanan kali
ini terasa sangat lama dan melelahkan. Dini pun seperti enggan berubah menjadi
subuh sebab di ufuk timur seperti tak ada tanda-tanda berkas cahaya walau selintas. Di saat
dinihari yang seharusnya berudara dingin, hampir semua anggota rombongan basah kuyup
karena cucuran keringat. Sialnya, cucuran keringat ini kini ditambah dengan cucuran air
hujan. Semua orang sungguh tak mengerti, mengapa cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan
hujan turun dengan derasnya.

Hujan deras ini disertai dengan kilatan halilintar dan bunyinya
sangat memekakkan telinga. Maka perjalanan jadi semakin susah karena jalanan jadi semakin
becek. Namun Bendara Wedana memerintahkan agar semua orang melanjutkan perjalanan
dengan tenang dan hati-hati.

"Kita sial. Padahal tadinya kita akan berburu ke Rancabingung ..." keluh Kuwu Cibeurih.
Setelah berjalan beberapa lama dengan susah-payah, akhirnya tiba juga di kampung di mana
kuda dititipkan. Di tapal-batas kampung, hujan mulai reda. Bahkan rupanya di tempat ini tak
ada hujan sama-sekali. Jalan setapak di desa ini kering dan tak pernah terguyur hujan. Di
saat terang-tanah, mereka menemukan kuda-kuda mereka terpancang di beberapa batang
pohon yang jauh dari perumahan. Jendra tercenung. Padahal kemarin sore, kuda itu dititipkan
di halaman rumah penduduk.

Ketika kuda dilepas talinya, dari jauh nampak beberapa petani tengah memanggul cangkul.
Mang Sajum mengucapkan terima-kasih bahwa kuda mereka aman di sini. Namun penduduk
malah melenggak heran. Kata mereka, tak ada penduduk yang merasa dititipi kuda.
"Tadi malam tugur (ronda) hilir-mudik ke sini. Tak ada siapapun di sini, apalagi kuda," kata
petani.

"Nah, ini kuda, kan?" kata Upas Karta menunjuk kuda miliknya. "Ya, memang itu kuda. Tapi
tentu para juragan yang bawa sendiri barusan ... " tutur penduduk lagi sambil senyum, sebab
mereka mengira migran ini lagi membanyol.

Bendara Wedana bertanya perihal nama kampung ini. Ini Kampung Babakan, masuk ke Desa Ciminyak. Sepagi ini, Tuan-tuan dari mana saja? " tanya penduduk. Maka Bendara Wedana mengatakan kalau rombongan baru saja pulang dari Kampung Handiwung.

"Kampung Handiwung? Serasa tak ada desa bernama itu, kecuali Pulo Handiwung di
wilayah kawasan Rawa onom. Gamparan dan semua rombongan nampak basah-kuyup,
rupanya menyebrangi Pulo Handiwung sambil berenang di rawa, ya? "tanya penduduk heran.
Sudah barang tentu Upas Karta marah dibuatnya.

"Mana bisa kami berenang di rawa malam-malam? Kami ini kehujanan. Apa tak dengar di
saat dinihari hujan deras dan halilintar bersahutan? "tanya Upas Karta.
"Hujan? Di sini tak ada hujan, apalagi halilintar bersahutan, "gumam penduduk membuat
rombongan kembali bingung.

"Sudahlah. Ini bagian dari kesialan kita, Karta ... "gumam Bendara Wedana sambil naik kuda.
Namun sebelum rombongan berangkat, semuanya teringat nasib Jang Dayat.
"Kalau dia celaka, kita bertanggung-jawab," tutur Bendara.
"Nasib Jang Dayat, biar serahkan pada saya, Tuan Wedana ... "Jendra mengajukan diri.
"Maksud, engkau akan jemput Jang Dayat? Kamu kan lagi sakit, Jendra? "Kata Bendara
Wedana.

"Tak apa. Sakitnya saya, kan karena kegaiban. Maka saya akan kunjungi lagi dunia itu,
Tuan Wedana ... " kata Jendra. @bersambung

Tidak ada komentar: