Benarkah Presiden Jokowi sengaja menarik Rizal Ramli masuk ke dalam lingkar kekuasaan untuk menghadapi “lawan Nawacita”, penghambat pembangunan infrastruktur dan mendobrak ketidakberesan?
Rizal Ramli boleh diakui hebat. Berkonfrontasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Rini Soemarno, tugas dan wewenang Menko Kemaritimin ini bukannya dibatasi atau dipreteli, eh malah ditambah oleh Presiden Jokowi.
Semula Kementerian Koodinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Rizal mengkoordinir kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pariwisata. Tapi kini, juga menangani Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera) serta Kementerian Pertanian (Kemtan), yang sebelumnya di bawah koordinasi Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.
“Ya, presiden menugasi saya untuk menangani juga dua kementerian itu,” kata Rizal Ramli. Rizal menambahkan, tugas tambahan ini dimaksudkan untuk lebih mempercepat pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pasokan bahan pangan.
Dulu, saat berada di lingkaran pemerintahan, Rizal boleh dibilang cukup sukses menjalankan tugasnya. Ketika menjadi Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), dan Menko Perekonomian, ia melakukan sejumlah dobrakan kebijakan yang terbukti mampu menjadi solusi yang cepat dan tepat.
Di Bulog, misalnya, Rizal melakukan restrukturisasi besar-besaran. Terjadi pergantian dan mutasi lima jabatan eselon satu dan dua. Semua itu dilakukan agar Bulog menjadi organisasi yang transparan, akuntabel, dan lebih profesional.
Keberpihakan kepada para petani, diwujudkan dalam bentuk peningkatan pembelian gabah, bukan beras dari petani. Bukan rahasia lagi, pembelian beras oleh Bulog kerap menimbulkan kecurangan yang dilakukan oleh para tengkulak. Mereka membeli beras petani, kemudian dioplos dengan beras impor, lalu dijual ke Bulog.
Cara seperti itu, tentu saja merugikan para petani karena beras yang dihasilkan di sawahnya hanya sebagian kecil yang dibeli oleh Bulog. Itulah sebabnya sebagai Kepala Bulog, Rizal kerap turun ke lapangan, ke desa-desa untuk bertemu dengan para petani.
Dia juga melakukan sejumlah perubahan radikal. Antara lain, merapikan rekening-rekening ‘liar’ yang jumlahnya mencapai 119 rekening menjadi hanya 19 rekening saja. Rizal pun memerintahkan sistem akuntansi Bulog diubah supaya lebih transparan dan accountable. Dana off budget harus menjadi on budget. Dia mewariskan Rp 1,5 Trilliun dari Bulog hasil penghematan dan effisiensi.
Dia juga pernah merestrukturisasi seluruh kredit properti, UKM, dan petani tahun 2000. Rizal berhasil menggaet dana hingga Rp 4,2 triliun tanpa menjual selembar pun saham BUMN. Caranya, dia menghapus cross ownership alias kepemilikan silang dan manajemen silang (cross management) antara PT Telkom dan PT Indosat di puluhan anak perusahaannya.
Lewat kebijakan ini, negara memperoleh pendapatan berupa penjualan silang saham dan pajak revaluasi aset kedua perusahaan senilai Rp 4,2 triliun. Dan yang tidak kalah pentingnya, kedua perusahaan tersebut jadi bisa bersaing secara sehat. Ujung-ujungnya, konsumen juga diuntungkan.
Tentu masih ada beberapa kisah sukses Rizal lainnya. Misalnya, dia melakukan operasi penyelamatan PLN dari bayang-bayang kebangkrutan karena mark up puluhan proyek pembangkit listri swasta. Dia mengambil inisiatif untuk melakukan revaluasi aset BUMN. Hasilnya, aset sebelumnya hanya Rp 52 triliun melambung menjadi Rp 202 triliun. Sedangkan modal dari minus Rp 9 triliun menjadi Rp 119,4 trilliun. Dia juga mengarahkan negosiasi utang listrik swasta PLN dari US$ 85 miliar turun menjadi US$ 35 miliar. Ini menjadi sukses negosiasi utang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Sederet sukses inikah yang kemudian membuat Presiden Jokowi kesengsem sehingga memperluas tugas dan wewenang Rizal sebagai Menko Kemaritiman? Bisa jadi demikian. Tapi di tengah perseteruannya dengan Jusuf Kalla dan Rini Soemarno yang baru adem tiga hari, penambahan tugas yang diberikan Jokowi kepada Rizal tentu saja mengundang pertanyaan publik. Ada apa di balik semua ini? Benarkah Jokowi sengaja menarik Rizal masuk ke dalam lingkar kekuasaan untuk menghadapi “lawan-lawannya” dan mendobrak ketidakberesan?
Keberanian Rizal menantang Jusuf Kalla untuk berdebat di depan umum tentang proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt, juga menyimpan pertanyaan. Seberani itukah Rizal? Pepatah bilang, tak ada asap kalau tak ada api.(Indonesian Review)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar