Kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia
Oleh: Nuim Hidayat
“Mereka (kaum imperialis) dulu menggunakan peluru dan tali… sekarang mereka menggunakan Bank Dunia dan IMF (They used to use the bullet or the rope…now they use World Bank and the International Monetery Fund).” (Jesse Jackson)
“IMF bertindak bagaikan anjing pengintil Departemen Keuangan Amerika (IMF acts as a lap dog of the Use Treasury).” (The New York Times).
Amien Rais mengkritik keras Bank Dunia dan IMF dalam bukunya “Selamatkan Indonesia”. Menurut Amien, peran IMF sangat negative dalam keruntuhan ekonomi Afghanistan 2001. Rusia ekonominya makin parah karena resep IMF dan kini setelah semua hutangnya dilunasi ke IMF, ekonominya makin maju.
“Di negara-negara Afrika peran IMF dan WB juga dinilai destruktif. Sangat terasa proses pemelaratan negara-negara Afrika gara-gara percaya dengan hutang yang diberikan oleh kedua alat imperialism ekonomi Barat itu. Kesehatan rata-rata penduduk Afrika makin buruk, pendidikan makin amburadul dan standar kehidupan umumnya makin melorot, karena hal-hal ini tidak diunggulkan dalam SAP ala IMF dan WB,” tulis Amien. Hugo Chavez, presiden Venezuela bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Bank Dunia dan IMF adalah alat imperialism Amerika (tools of US Imperialism).
Di dalam negeri Amien mengritik keras kontraktor-kontraktor minyak asing yang menguasai negeri ini. Misalnya Blok Cepu yang diserahkan kepada Exxon Mobil untuk pengelolaannya sampai 2036. Dradjad Wibowo menghitung seandainya Blok Cepu itu dikelola sendiri oleh Pertamina, sementara Exxon Mobile semacam mitra yunior (sesuatu yang realistis, masuk akal dan yang seharusnya), Pertamina akan memperoleh tambahan asset senilai 40 milyar dolar. Itu didasarkan asumsi harga minyak US$50 per barel dan gas US$3 per mmbtu. Cadangan minyak di Blok Cepu minimal 600 juta barel sedangkan cadangan recorevable gas paling sedikit 2 trilyun standar kaki kubik (TCF). Pertamina bisa mendapat dana segar katakanlah US$6-8milyar untuk keperluan ekspansi usahadan segala kegiatan yang bermanfaat bagi bangsa.
Marwan Batubara dan kawan-kawan telah menerbitkan buku “Tragedi dan Irni Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai (2006)”. Dalam buku setebal 288 itu Marwan dkk menyebut kebodohan sengaja sehingga “Kabinet Indonesia Bersatu berpihak pada kepentingan Exxon Mobil”.
Kwik Kian Gie dalam cover belakang buku itu berkomentar : “Jika setelah 60 tahun merdeka tidak ada orang Indonesia yang mampu mengeksploitasi gas Cepu, maka kemungkinannya hanya ada dua : semuanya sudah disuap Exxon Mobil atau semuanya masih bermental budak/inlander.”
Dalam masalah perbankan, Indonesia juga sudah bertekuklutut pada kaki tangan internasional. Bank Indonesia tidak membatasi kepemilikan asing terhadap perbankan, karena investor atau badan hukum asing boleh memiliki hingga 99 persen saham bank di Indonesia.
Padahal negara lain membatasi di bawah 50 persen. Filipina membatasi pemilikan asing hanya sampai 51 persen, Thailand 49 persen, India 49 persen, Malaysia 30 persen, China 25 persen, Vietnam 30 persen. “Negara-negara Asia itu sadar kalau pihak asing diperbolehkan menguasai perbankan nasional mereka, ekonomi mereka akan tersandera oleh asing dan mereka tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Amerika Serikat, pemimpin puncak globalisasi dan liberalisasi ekonomi saja, membatasi kepemilikan asing di perbankan nasionalnya hanya sampai 30 persen,”tegas tokoh Muhammadiyah ini.
Mentalitas inlander kita juga nampak jelas dalam pengelolaan tambang baik Migas maupun non Migas. Freeport Mac Moran di Papua, sejak 1967 menambang emas, perak dan tembaga di propinsi paling timur yang kaya raya dengan sumber daya alam.
Kontrak Karya I diperbarui pada 1991 untuk masa setengah abad, sehingga Kontrak Karya II baru berakhir pada 2041. “Bayangkan tatkala generasi saya, Yudhoyono, Jusuf Kalla dan seanteronya sudah lama jadi almarhum, Freeport masih terus menguras habis kekayaan alam Papua,” jelas Amien.
Korporasi Amerika itu menurut Amien, melakukan beberapa kejahatan sekaligus.
Pertama, kejahatan lingkungan : tailings atau buangan limbah yang setiap hari berjumlah 300 ribu ton telah menjadikan sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa mengalami kerusakan total. Tidak ada lagi ikan dan tanda-tanda kehidupan lainnya disana.
Kedua, Freeport melakukan kejahatan perpajakan. “Ketika pada pertengahan 1990-an saya menulis Freeport tidak membayar pajak seperti seharusnya karena hanya menjadi pembayar pajak terbesar nomor delapan atau sembilan, tiba-tiba setelah tulisan saya di harian Republika, pada tahun berikutnya Freeport menjadi pembayar pajak urutan pertama,”tegas Amien dalam buku monumentalnya “Selamatkan Indonesia”.
Ketiga, kejahatan etika dan moral dilakukan oleh Freeport dengan memberi uang sogokan kepada oknum-oknum polisi dan militer dengan dalih administrative costs, security costs dan dalih-dalih lainnya. Harian New York Times 27 Desember 2005 menulis sangat panjang tentang berbagai hal negative mengenai Freeport. Koran Amerika itu bahkan menyebut nama-nama perwira-perwira menengah dan tinggi TNI dan Polri yang mendapat kucuran dolar dari Freeport. Di samping 35 juta dollar dikeluarkan Freeport untuk ikut membangun infrastruktur militer, 70 Land Rovers dan Land Cruisers diberikan pada para komandan.
Keempat, kejahatan kemanusiaan. Tujuh suku Papua yang punya hak ulayat digusur begitu saja dari tanah warisan turun temurun dan diantara mereka meninggal karena peluru satgas Freeport. Chris Ballard, antropolog Australia yang pernah bekerja di Freeport dan Abigail Abrash, pembela hak asasi manusia dari Amerika, memperkirakan sekitar 160 orang terbunuh antara 1975-1997 di daerah pertambangan dan sekitarnya.
Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia. Kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar daripada kekayaan yang diungkap dalam laporan resminya. Kalau Freeport dapat mengakuisisi Philip Dodge Corp dengan membayar tunai 70% darin 25,6 milyar dolar, tentu kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar daripada apa yang dilaporkan ke Indonesia, sebagai pemilik dan pemangku kekayaan alam di Papua itu.*
Penulis Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Kota Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar