Gara-gara Hentikan Kontrak Freeport di Papua
Presiden Jokowi Bernasib Seperti Presiden Soekarno.
Jurnalis Independen: Skandal pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terkait kasus perpanjangan kontrak kerja dengan PT Freeport, menyeret nama-nama besar pejabat publik negeri ini terus terungkap.
Dalam kasus ini, berbagai demensi kebobrokan pejabat publik yang bergandengtangan dengan pengusaha hitam, mafia begitu kentara. Bukti adanya pejabat publik yang berusaha keras menjual kekayaan negara (dalam hal ini Freeport) adalah juga sebagai Ketua Parlemen yaitu Setya Novanto. Tentu saja Setya Novanto Ketua DPR RI ini tidaklah bekerja sendiri.
Melihat isi rekaman, nama Luhut Binsar Panjaitan mantan Jenderal TNI yang kebetulan juga menjabat sebagai Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Pemerintahan Jokowi, 66 kali disebutkan dalam rekaman hasil karya Maroef Syamsuddin yang mantan Wakabin (Wakil Kepala BIN) sebelum akhirnya menjabat sebagai Komisaris PT Freeport Indonesia.
Dibalik tersebar luasnya kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait Freeport, memiliki demensi politik kekuasaan yang sedang dimainkan oleh politikus hitam dan para mafia. Tujuan akhir dari permainan ini selain kekuasaan adalah juga penguasaan sektor ekonomi negeri ini.
Presiden Jokowi, telah diketahui oleh para politisi hitam maupun penguasaha mafia dan mafia pengusaha, sebagai seorang pemimpin yang tidak rakus akan harta maupun kekuasaan. Karenanya, jika Jokowi tidak bertindak seperti presiden-presiden pendahulunya yang lebih lunak dan mudah diiming-imingi setumpuk dolar penggulingan kepemimpinannya akan dilakukan oleh musuh-musuhnya yang kini juga 'ditengarai" telah menyusup dalam struktur pemerintahannya.
Sejak awal, pencalonan dirinya menjadi bakal calon presiden, karakter Jokowi yang tidak bisa disuap, jujur walau tidak mendapatkan dukungan kuat dari berbagai kekuatan kekuasaan, telah menjadi momok bagi para dajjal dalam negeri maupun luar negeri.
Penjegalan pelantikan presiden hasil pemilu yang dilakukan pada 20 Oktober 2014 lalu serta hiruk pikuk penyusunan Ketua DPR-MPR RI membuktikan adanya pengangkangan kekuasaan di republik ini.
Kasus Setya Novanto terkait Freeport akan berakhir seperti kasus sebelumnya. Semua akan kembali tenang tanpa menghasilkan sebuah revolusi kepemimpinan baik di parlemen yang banyak dihuni oleh makelar, hamba kekuasaan maupun pemuja nafsu duniawi tanpa menghiraukan nasib bangsa, rakyat apalagi negara.
Di kasus ini, bahkan hendak mempermalukan Presiden Jokowi dengan turut campur padahal semua permasalahan telah memiliki lembaga yang seharusnya menangani sesuai dengan bidangnya masing-masing. Untungnya, Presiden Jokowi tidak serta merta turut larut mengintervensi kasus yang semakin temarang lewat jalur Makamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sementara, statemen Wakil Presiden Jusuf Kalla yang membenarkan langkah pelaporan Menteri ESDM atas pencatutan nama Presiden dan Wakilnya ke MKD justru ditanggapi miring oleh Fahri Hamzah yang juga pimpinan di DPR RI. Tanggapan miring statemen JK oleh Fahri, menunjukkan pembelaan kepada rekannya Setya Novanto. Pembelaan ini lebih mudah jika dihubungkan dengan seatapnya mereka dalam melawan kepresidenan Jokowi.
Beredarnya sasus penyuapan menjelang disidangkannya pelanggaran etika setya Novanto dalam kasus Freeport, menunjukkan adanya kekuatan terselubung yang tidak menghendaki kasus ini diberakhir dengan jujur dan benar.
Hal itu dibuktikan dengan adanya pergantian anggota menjelang dilakukan sidang etik ini juga menggusur banyak anggota yang dilakukan oleh partai-partai. Partai yang mengganti anggotanya yang duduk sebagai anggota MKD antara lain Partai Golkar, PAN, Demokrat .
Sementara terkait penyuapan, Surahman Hidayat Ketua MKD, menafikan kasus penyuapan yang dilakukan oleh politisi Senayan terhadap Junimart Girsang selaku Wakil Ketua MKD. Junimart mengaku disuap uang 2 juta Dolar AS atau senilai Rp 20 miliar lebih untuk bisa "mengamankan atau 86" kasus etik Ketua DPR RI Setya Novanto.
Sisi lain, banyaknya celah, pelanggaran hukum dalam kasus ini hingga kini hanya menjadi tontonan bagi penegak hukum yang berwenang. Sebab kasus ini bukan hanya sebentuk pelanggaran etik pimpinan parlemen semata. Banyak rana hukum yang seharusnya bisa ditindaklanjuti oleh lembaga yang selama ini begitu buas, agresif menelan pelanggar hukum kelas teri.
Adanya "niat" penyuapan yang dilakukan oleh sesama anggota parlemen, pencemaran nama baik, pernyataan makar, korupsi merupakan lahan empuk yang seharusnya segera ditangai oleh lembaga seperti TNI, POLRI, KPK, maupun KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA. Namun sayang lembaga ini masih diam saja.
Bukti pernyataan makar sangat jelas diperdengarkan oleh suara rekaman "hasil kerja" mantan wakabin Maroef Syamsuddin yang kini duduk sebagai orang pertama di PT Freeport Indonesia.
TNI tidak bergerak, mungkin lantaran ada pelaku dibalik layar yang namanya tersebut hingga 66 kali dalam rekaman adalah juga seorang mantan Jenderal TNI? Sementara di sisi lain, petinggi Freeport Indonesia juga mantan anggota BIN? Sehingga hal ini membuat banci TNI? Penyebutan bahwa setiap presiden sebelum era Jokowi bisa dikadali dan akhirnya manut, bertekuk lutut dan menikmati hasil kerja bersama mafia, calo, makelar penggerogotan kekayaan negara yang tersebut dalam rekaman, menunjukkan jika sebelumnya mereka selalu sukses mungkin juga menjadi ganjalan lembaga-lembaga hukum negeri ini menjadi mandul untuk turut campur dalam masalah ini?
Padahal, terutama terkait perbuatan makar terhadap pemerintahan Jokowi sangat jelas dalam rekaman itu. Dalam rekaman itu ada yang mengatakan jika Presiden Jokowi tidak memperpanjang kontrak kerja dengan Freeport, maka Pemerintahan Jokowi akan dijatuhkan.
Berikut kutipannya nada makar yang dilakukan oleh calo dan mafia Kontrak Kerja Perpanjangan PT Freeport.
MR (Riza Chalid): Saya ikut masuk ke Dharmawangsa ini, cost yang mereka bawakan sudah tapi masih kegedean merekaporsinya. Terlalu lama mereka boros. Saya yakin Freeport pasti jalan. Kalau sampai Jokowi nekat Nyetop, jatuh dia. Sementara itu MS memberikan jawaban seoalah mengiyakan dengan mengatakan" Yang jadi itu Amerika. Nggak diterima di Amerika".
Perlu diketahui, pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport di masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Beliau bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.
Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar