Jurnalis Independen: Pemerintah Presiden Joko Widodo memerintahakan penghentian pengiriman Tenaga Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri, yang selama ini menjadi lahan perbudakan bagi para "mucikari tenaga kerja".
Amnesty International tahun 2013 sudah mengecam kondisi “mirip perbudakan” yang dialami ribuan perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong.
Pengadilan di Hongkong hari Selasa (10/02) menyatakan bahwa warganya Law Wan Tung bersalah melakukan pemukulan dan intimidasi terhadap TKI Erwiana Sulistyaningsih. Tahun 2013, organisasi hak asasi Amnesty International sudah mengecam "kondisi perbudakan" yang dialami ribuan tenaga kerja perempuan asal Indonesia di Hongkong.
Laporan Amnesty International yang dirilis November 2013 berjudul: ”Dieksploitasi demi Keuntungan, Kegagalan Pemerintah“, muncul beberapa pekan setelah pasangan Hong Kong dipenjara karena menyiksa pembantu rumah tangga mereka yang berasal dari Indonesia, dengan menyeterika dan memukulinya dengan rantai sepeda.
Amnesty menemukan bahwa orang-orang Indonesia itu dieksploitasi dengan direkrut dan ditempatkan oleh para agen yang menyita dokumen dan memberlakukan potongan yang besar atas gaji yang mereka dapatkan dari majikan. Padahal sebelumnya para tenaga kerja asal Indonesia itu diimingi janji palsu berupa gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik.
Proses itu dianggap sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa, kata Amnesty, karena para perempuan itu tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumen mereka disita.
Ditipu agen
”Pada saat para perempuan itu tertipu untuk mendaftar bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam sebuah lingkaran eksploitasi lewat berbagai kasus yang dinilai sebagai perbudakan modern,” kata Norma Kang Muico, peneliti buruh migran Asia-Pasifik Amnesty International.
Ia khawatir sebenarnya praktek ini telah meluas di Hong Kong, di mana 15.000 perempuan Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga..
Persamaan Hak untuk Semua (Pasal 1)
"Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama." Kutipan ini diresmikan di dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948 di Paris dan dikenal dengan sebutan Pernyataan umum HAM. Namun realita berkata lain. Terlihat bocah yang terpaksa menjadi buruh tambang emas di Kongo.
Laporan itu menuduh, baik Indonesia maupun Hong Kong tidak bertindak mencegah praktek perbudakan.
Anggota parlemen dari Hong Kong Fernando Cheung mengatakan dirinya merasa “malu”.
“Pemerintah harus meningkatkan upaya menegakkan aturan hukum yang telah dilanggar,“ kata dia.
Hong Kong adalah rumah bagi hampir 300.000 pembantu rumah tangga khususnya yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Filipina. Belakangan kritik dari kelompok hak asasi manusia semakin bertambah terkait perlakuan kepada para buruh migran tersebut.
Siksaan mengerikan
Laporan Amnesty mengatakan dua pertiga dari pembantu rumah tangga yang mereka wawancarai, mengalami siksaan baik fisik maupun psikologis.
“Sang istri secara fisik menyiksa saya secara rutin. Suatu ketika ia memerintahkan dua anjingnya untuk menggigit saya,“ kata seorang perempuan berumur 26 tahun asal Jakarta.
“Saya mengalami sekitar 10 gigitan di badan yang merobek kulit saya dan membuat saya berdarah. Ia (majikan perempuan) merekamnya dengan telepon genggam, yang sering ia putar ulang untuk ditertawakan.
“Ketika salah satu anjing itu muntah, ia mendorong muka saya ke muntahan itu, dan memaksa saya untuk memakannya. Tapi saya menolak.
“Ketika saya tanya kenapa terus menyiksa saya, ia mengatakan bahwa itu karena dia bosan. Jadi inilah cara dia menghabiskan waktu.“
Pembantu rumah tangga lainnya menceritakan bagaimana majikan laki-lakinya “membanting dan memukul” dia sampai “hitam dan biru-biru di sekujur tubuh”.
Sepertiga dari mereka yang diwawancarai tidak diperbolehkan meninggalkan rumah majikan. Mereka baru bicara dengan Amnesti setelah meninggalkan pekerjaan.
Banyak diantara mereka yang menghadapi kekerasan fisik dan seksual, diberi makan sedikit, kerja berlebihan – 17 jam sehari adalah jam kerja rata-rata yang mereka jalani – serta digaji rendah.
Para agen penyalur yang mengantungi izin pemerintah di Indonesia ”secara rutin menipu para perempuan tentang gaji dan biaya pungutan, menyita dokumen identitas diri dan berbagai barang pribadi lainnya sebagai jaminan, serta mengenakan pungutan lebih mahal daripada yang diperbolehkan secara hukum”, kata Amnesty International.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar