Penulis : Soeminto
Pergulatan Kaum Urban Di Kota Pahlawan
Surabaya, kota ini terkenal panas. Iklim udara yang panas, tidak mempengaruhi warga sekitar Kota Buaya ini melewatkan untuk mengadu nasib. Begitu juga dengan pasangan muda asal Bangkalan Madura. Pasangan itu adalah Mat Tile dan Siti Romlah. Kala itu masih tahun 1983. Pasangan dengan dua orang anak itu, tinggal dan menetap di kawasan Surabaya Utara. Mereka mengontrak sebuah bedeng kecil multi fungsi. Sebagai rumah tinggal juga sebagai tempat jualan mencari nafkah.
Siti Romlah, ibu muda dengan dua orang anak itu amat trengginas melayani para langganannya. Setelah subuh hingga menjelang waktu Ashar, ia membuka warung yang menjual sayur mayur dan buah-buahan. Suaminya, Mat Tile mengambil sayur mayur dan buah-buahan setiap tengah malam di Pasar Keputran Surabaya. Sementara pagi hingga menjelang sore hari Siti Romlah menjadi pramuniaga di warungnya. Ketika itu pula Mat Tile memarkir becaknya di tepian sungai ujung jalan mencari penumpang. Ya, mereka bekerja keras bersama. Siti Romlah jaga warung, Mat Tile menjadi penarik becak. Begitulah kebanyakkan urban dari Pulau Garam. Seperti pasangan Mat Tile dan Siti Romlah kala itu.
Waktu terus berlalu.hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Bertambah tahun, bertambah pula anggota keluarga Mat Tile-Siti Romlah. Yang dulunya mereka hanya terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak, yaitu Siti Misni dan Dol Sarpo. Kini bertambah dengan Tiga orang anak. Dua perempuan dan satu lelaki. Kini anak pasangan Mat Tile dan Siti Romlah menjadi Lima orang. Dua lelaki dan Tiga perempuan. Masing-masing, Siti Misni, Dol Sarpo, Rohana, Shinta dan Abdul Malik. Siti Misni, merupakan anak Romlah dari suaminya terdahulu. Suaminya yang bernama Muhammad Roif itu telah meninggal dunia saat Misni masih berumur satu tahun. Ia meninggal dunia lantaran terkena penyakit malaria di Bangkalan Madura.
Seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, bertambah pula pundi-pundi keuangan keluarga Mat Tile. Mereka kini telah memiliki sebuah rumah mungil serta stand di pinggiran sungai yang masih wilayah Surabaya Utara. Kehidupan yang tidak neko-neko membuat keluarga ini berhasil membeli rumah dan tempat usaha sendiri. “Mak, kita ini memang dari Pulau Garam. Biasanya, suku kita terkenal dengan kehidupan molimo. Tapi aku tak ingin anak-anak kita meneladani hidup yang melanggar norma agama yang pernah kita dapatkan di pondok”, begitu suatu kali Mat Tile berkata kepada istrinya. Ketika itu Siti Romlah menimpali dengan berkata, “ Kak, mon engkok oreng binek, tak kera den beden. Mon biasana, rua oreng laki se ne bene ( Kak, kalau aku ini orang perempuan nggak mungkin macam-macam. Biasanya, orang laki kalau punya rejeki banyak akan berbuat macam-macam dan menikah lagi). “Ya, memang seperti itu adanya adat lelaki orang-orang kita. Tapi, aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu. Aku ingin kita hidupsesuai dengan tuntunan ulama dan Kiyai kita”, begitu timpal Mat Tile.
Dialog itu terucap kala mereka masih beberapa bulan tinggal di Surabaya. Dialog itu dijadikan sebagai sumpah dan pedoman hidup mereka dalam mengarungi rumah tangga yang Sakinah. Sebab, menurut mereka hidup di dunia ini hanya sementara. Hidup bergelimang harta atau hidup miskin, tak ada artinya bila di bandingkan dengan hidup alam akhirat nanti. Harta yang berlimpah, anak-anak, pangkat, derajat hanyalah hiasan semata. Sifatnya hanya sementara. Sedangkan hidup kekal alam akhirat adalah merupakan tujuan setiap insan. Itu bila manusia sadar akan hakekat hidup di dunia dan mengerti serta percaya adanya Alam Akherat dan Yang Maha Kuasa.
Falsafah hidup yang benar, takut melanggar kaidah agama dan dijalani secara istiqomah. Membuat bahtera rumah tangga Mat Tile adem ayem. Selain itu, penghasilan memeras keringat secara halal, digunakan dengan halal dengan tidak melalaikan sedekah, infak maupun zakat, membuat pasangan ini berlimpah rejeki yang barokah. Pendidikan pesantren yang di kenyam oleh masing-masing pasangan ini walau tak begitu tinggi namun cukup difahami. Bahkan dalam pengamalan di masyarakat maupun rumah tangganya membuat hidup mereka tenang tanpa ada beban maupun rintangan berarti. Keikhlasan menerima jalan hidup yang mengalir bak air menjadikan ketenangan lahir batin keluarga migran asal Bangkalan ini.
Hingga suatu ketika, Mat Tile terkena penyakit Paru-paru akut. Penyakit ini di rasakan Mat Tile ketika sudah mencapai stadium mengkhawatirkan. Selama Dua belas Tahun lebih Mat Tile sering tidur beratapkan langit. Hal itu dilakukan selama dirinya belum dapat membeli rumah yang layak huni bagi keluarganya. Selama itu, ia sering tidur di atas becaknya setelah istirahat mengais becak pada pagi hingga sore hari.
Mondar-mandir ke Puskesmas akhirnya menjadi rutinitas Mat Tile dan Siti Romlah. Setelah Dua tahun berlalu, akhirnya Mat Tile menghembuskan nafas yang teakhir. Mat Tile meninggal dunia di usianya yang masih tergolong muda. Usia 55 tahun Mat Tile kembali ke haribaan Ilahi. Untuk kedua kalinya, Siti Romlah menjadi janda. Untuk kedua kalinya pula ia di tinggal mati suaminya lantaran penyakit. Mungkin sudah takdir bagi Siti Romlah harus menjanda. Kini dengan beban Lima Orang anak.
Lantaran itu pula Dol Sarpo hengkang dari pondok pesantren yang selama ini ia tinggali. Pemuda lancur usia 14 tahun itu, harus membantu ibunya mengais rejeki di sebuah pasar dengan berjualan buah dan sayur mayur. Sementara itu, kakak perempuannya Misni mendapat pinangan dari seorang pemuda yang masih satu suku dengannya. Walau Misni kakak tiri, tetapi bagi Dol Sarpo tidak menganggapnya demikian. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar