Oleh: Ikhsan Modjo Senior Analyst GRM International
Rupiah disebut beberapa kalangan sedang mengalami "anomali", karena terdepresiasi di saat bursa saham justru menguat. Kenapa ini bisa terjadi dan apa dampaknya? Coba kita kupas beberapa faktornya satu persatu.
Faktor eksternal penyebab depresiasi rupiah adalah penguatan US dollar (USD) terhadap hampir semua mata uang negara lain
Menguatnya preferensi terhadap USD ini disebabkan bukan semata penguatan ekonomi Amerika, tapi karena kondisi kawasan Euro. Dalam satu bulan terakhir beberapa negara kawasan Euro tidak kunjung menyelesaikan masalah hutang, bahkan terjadi perang suku bunga. Perang suku bunga terlihat misalnya dari bunga obligasi jerman yang negatif, holder malah harus membayar memegang bond Jerman. Tidak menentunya kawasan Euro menyebabkan USD terapresiasi, dana yang ada pindah dari Euro dan pilihan yang ada hanya ada USD.
Kenapa hanya USD? Karena Pound tidak memiliki size yang cukup, sementara Yen, Yuan dan Ruppe sedang sengaja dilemahkan. Pelemahan sengaja ketiga mata uang utama Asia ini untuk menjaga daya saing ekspornnya. Sehingga ditenggarai ada currency war.
Faktor inilah yang membuat the FED (bank sentral Amerika Serikat) ragu menaikkan bunga untuk menormalisasi quatitative easing/kebijakan moneter ekspansifnya. Kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan menarik balik USD masuk pasar domestik Amerika, USD terapresiasi dan kikis daya saing ekspor Amerika Serikat. Padahal isu akan adanya restriksi moneter di Amerika Serikat sudah terlanjur menyebar, yang salah satunya buat rupiah tembus 13.000/USD.
"...sementara Yen, Yuan dan Ruppe sedang sengaja dilemahkan. Pelemahan sengaja ketiga mata uang utama Asia ini untuk menjaga daya saing ekspornnya. Sehingga ditenggarai ada currency war"
Dengan ketidakpastian saat ini, posisi Indonesia jadi dilematis: mengikuti USD dengan kebijakan moneter restriktif beresiko. Beresiko tekan daya saing dan pelarian modal. Sementara mengambil jalur ekspansif juga bisa menyebabkan gangguan stabilitas. Jadi ada faktor inflasi, selain tentu saja tekanan biaya produksi di sektor manufaktur yang masih mengandalkan bahan baku impor. Bank Indonesia agaknya ambil jalan aman di tengah.
Tidak restriktif tapi juga hanya sedikit ekspansif. Sulit melihat kenaikkan bunga, kecuali ada tekanan luar biasa pada harga-harga. Dus rupiah jangan diharapkan cepat terapresiasi dalam waktu dekat. Tapi tentu selain faktor eksternal ada juga masalah yang disebabkan faktor internal di dalam negeri.
Masalah internal salah satunya masih berkutat di defisit neraca pembayaran (CAD) terutama di sektor trade/services account
Desifit di akun ini banyak disebabkan perilaku pebisnis kita yang hobi pakai USD dalam bertransaksi, juga politisi sih. Masalah internal lain adalah soal utang luar negeri yang banyak tidak di-hedge, lindung nilai. Hanya di bawah 50% yang di-hedge. Ketika ada apresiasi sedikit USD, bisa menyebabkan tekanan beban pembayaran dan devisa yang tersedia.
Faktor dalam negeri lain yang muncul adalah soal kredibilitas pemerintahan, yang penting untuk menjaga optimisme usaha/pemodal. Pemerintahan Presiden Jokowi di awal sebenarnya menumbuhkan harapan baru, new hope, pada kalangan pelaku usaha dan pemodal. Sayang, kredibilitas ini banyak tergerus dengan serangkaian kebijakan dan blundernya di bidang ekonomi. Antara lain di sisi perdagangan, menteri perdagangan mencanangkan target pertumbuhan ekspor sekitar 300%.
Ini adalah mimpi siang bolong. Dengan kondisi ekonomi global yang tidak menentu dan industri nasional yang masi terseok sulit melihat target itu tercapai. Contoh lain soal swasembada di tiga komoditi sekaligus beras, jagung dan kedelai dalam waktu 3 tahun. Dengan lahan yang tersedia dan infrastruktur yang ada sekarang untuk beras saja sulit, apalagi untuk komoditi lain di lahan sama.
"Bagaimana mau kerja, kerja, kerja? Akibat berbagai kelemahan birokrasi ini, dari sisi belanja modal yang terealisasi sampai Maret baru sekitar 0.8%"
Dengan banyak target ambisius tanpa disertai roadmap yang jelas, tidak heran justru mengikis kredibilitas pemerintah. Sementara kapasitas birokrasi juga terbatas. Contoh, pajak yang dijanjikan naik ratusan triliun justru realisasinya pada 3 bulan pertama 2015 lebih rendah sekitar 10 triliun dibanding 2014. Stabil saja syukur susah berharap naik.
Kendala birokrasi juga terjadi akibat perubahan nomenklatur kemarin yang tanpa persiapan matang, sehingga akibatnya masih ada kementerian yang tidak memiliki struktur yang jelas dan resmi sampai sekarang! Bagaimana mau kerja, kerja, kerja? Akibat berbagai kelemahan birokrasi ini, dari sisi belanja modal yang terealisasi sampai Maret baru sekitar 0.8%.
Padahal di sisi lain, strategi ekonomi pemerintahan Jokowi ditopang pada strategi expenditure switching ini, di mana belanja untuk masyarakat berupa subsidi dan sejenisnya dipangkas habis dan dialihkan untuk belanja pegawai dan modal. Dengan kata lain, konsumsi swasta ditekan dan dialihkan ke belanja produktif pemerintah untuk tingkatkan sisi supply ekonomi. Tekanan ke konsumsi swasta/rakyat ini terbukti berhasil. Harga-harga yang melambung tinggi membuat konsumen ikat pinggang.
Begitu juga, sebagai akibatnya, pelaku usaha menahan belanja modal dan investasi baru karena demand yang tidak ada. Sikap konsumen dan pelaku usaha yang wait and see ini misalnya terlihat dari penggelembungan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Sikap ini juga terlihat dari perekrutan pegawai baru dan tidak apresiasi USD yang tidak di-passthrough ke banyak komoditi impor. Sementara di sisi lain, belanja pemerintah di sektor produktif belum terlihat dan masih sebatas PHP bersyarat. Soal implementasi masih menjadi kendala terbesar apalagi kalau belanja modal kemudian dilewatkan pada Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN, yang begitulah.
"Kecuali ada perubahan dalam cara kerja dan strategi pemerintahan, sulit melihat ada perbaikan kredibilitas. Padahal pesimisme ini sangat cepat menyebar. Apalagi kalau berturut-turut dihantam dengan fakta yang membenarkannya"
Kredibilitas yang tenggelam dan kekosongan daya dorong inilah yang sebabkan ekonomi seperti masuk dalam ruang kosong. Overhang. Saat ini bisa dibilang semua tergantung denyut eksternal yang sulit diprediksi akan mengarah ke mana.
Kecuali ada perubahan dalam cara kerja dan strategi pemerintahan, sulit melihat ada perbaikan kredibilitas. Padahal pesimisme ini sangat cepat menyebar. Apalagi kalau berturut-turut dihantam dengan fakta yang membenarkannya. Kita berdoa saja semoga ada nasib baik dan perubahan mendasar dalam waktu singkat. Tidak bisa lagi andalkan pencitraan kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar