Selasa, 07 Mei 2013

Siluman Rawa Onom Pulau Majeti (9)


Bendara Wedana Rancah Menerima Undangan Penduduk Siluman Handiwung

Ketika kesadaran Jendra telah benar-benar pulih, Jendra tergopoh-gopoh menghadap
majikannya dan langsung mengatakan agar rencana mengeringkan Rawa onom dibatalkan
saja.


Jendra kembali bangun dari pingsannya dengan keringat membasahi tubuhnya. Seluruh
pakaiannya pun basah kuyup dibuatnya. Namun demikian, seluruh kesadarannya belum pulih
benar. Mang Sajum terpaksa sibuk merawatnya, sebab sepanjang malam Jendra nampak
gelisah dan mengigau saja kerjanya.

"Jangan Bendara ... jangan lakukan! Jangan lakukan!" gumam Jendra membuat bingung
Mang Sajum. "Ada apa lagi, Mang Sajum?" kata Bendara Wedana sementara kembali mengunjungi kamar tempat Jendra terbaring. "Anak ini terus mengigau, bahkan kini menyebut-nyebut namamu, tamparan ..." kata Mang Sajum. Jang Dayat yang duduk disampingnya mengangguk membenarkan.

Ketika kesadaran Jendra telah benar-benar pulih, Jendra tergopoh-gopoh menghadap
majikannya dan langsung mengatakan agar rencana mengeringkan Rawa onom dibatalkan
saja. "Siapa yang akan mengeringkan Rawa onom? Esok subuh aku hanya akan berburu saja, "
tutur Bendara Wedana. "Berburu ke Pulo Majeti lagi?" "Tidak. Kita kali ini menuju Rancabingung."

"Rancabingung ... ? " "Ya. Aku belum pernah ke sana." Kata Mang Sajum, "Siapa pun belum pernah ke sana ..."

"Itulah sebabnya. Aku sebagai penguasa wilayah Rancah, musti tahu seluruh peloksok negri.
Makanya sambil mengontrol wilayah, kita cari hiburan berburu, "tutur Bendara Wedana.  Jendra hanya melamun, mencoba membayangkan hal-hal yang dia pun tak tahu akan seperti apa. Dan meskipun kesehatannya belum pulih benar, Jendra memaksa untuk ikut rombongan. Bendara Wedana tak mencoba mencegah, kecuali tak memberinya beban terlalu berat kepada pemuda itu.

Kali ini yang menerima beban berat adalah Jang Dayat. Dari mulai memanggul beberapa batang tombak, sampai beberapa gondewa bahkan Cikrak dan cangkalak, jang Dayatlah yang memanggulnya.

Mang Sajum kebagian memikul bekal makanan seperti nasi timbel, air minum di lodong dan beberapa kebutuhan lain. Sementara Jendra hanya memanggul beberapa kantung pakaian pengganti untuk majikannya.

Sesudah matahari menyingsing dan burung-burung di dahan bernyanyi, maka rombongan
mulai berangkat . Bendara Wedana berkuda paling depan. Sementara di belakangnya ada tiga
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi oleh Camat Cisaga, Kuwu Cibeurih dan Upas
Karta.

Di belakangnya ada belasan petugas berjalan kaki dengan masing-masing bebannya. juga enam ekor anjing. Mereka dibawa serta untuk membantu perburuan. Perjalanan ini makan waktu lama sebab rombongan berkuda tak mau memacu kuda cepat-cepat. Para ponggawa yang hanya berjalan kaki bisa kelelahan atau mungkin akan ketinggalan jauh.

Namun setelah rombongan hampir tiba, di tengah jalan yang dirindangi pepohonan lebat, mereka
bertemu dengan rombongan lain. Mereka adalah pejalan kaki berjumlah delapan orang dan
semuanya berpakaian serba-hitam.

Mereka bercelana sontog hitam, berpakaian rompi hitam dengan dada terbuka dan memakai ikat kepala hitam. Wajah mereka biasa-biasa saja bahkan terkesan ramah. Namun enam ekor anjing nampak gelisah, mendengus dan melenguh.

"Rombongan dari mana dan akan menuju ke manakah ini?" tanya Bendara Wedana menahan
tali kekang sehingga kuda berhenti mendadak.

"Kami dari Kampung Handiwung akan mengundang Bendara Wedana," tutur salah seorang
dari mereka.

"Dari Kampung Handiwung mau mengundang aku? Ada perlu apa? "Tanya Bendara
Wedana berkerut keningnya karena curiga.

"Oh, jadi inikah Juragan Wedana?" tanya seorang berkumis agak tebal dan beralis mata tebal
membungkuk hormat.

"Betul. Beliau adalah Bendara Wedana. Tapi kalian dari Kampung Handiwung, mau apa? "
tanya Camat Cisaga ikut berkerut alisnya.Maka pemimpin rombongan berpakaian hitam itu
mengutarakan maksudnya bahwa mereka diutus Tua Kampung Handiwung untuk  mengundang Bendara Wedana beserta aparat. Di tempat itu malam ini akan ada pesta dalam rangka menyambut sukses panen tahunan.

"Mengapa begitu mendadak?" tanya Kuwu Cibeurih. "Tidak mendadak, sebab Tua Kampung sudah memberi pesan jauh sebelumnya kepada Kuwu Ciminyak. Entah kami tidak tahu, apakah Kuwu Ciminyak menyampaikannya atau tidak ... " tutur pemimpin rombongan.

Bendara Wedana mengangguk-angguk dan mengabarkan bahwa undangan belum diterima.
"Mungkin Kuwu Ciminyak tak sempat mengirimkan utusannya sebab dia keburu menderita
sakit, "tutur Bendara Wedana.

"Jadi, bagaimana kita kini?" tanya Camat Cisaga. "Kita terima saja undangan ini. Aku tak mau kecewakan rakyat apalagi kami belum pernah bersua. Lagi pula aku ingin tahu keberadaan Kampung Handiwung. Serasa baru dengar akan nama kampung itu ... "kata Bendara Wedana.
"Lantas bagaimana rencana berburu kita?" tanya Upas Karta.

"Berburu bisa kapan saja. Tapi pesta belum tentu datang tiap sebulan sekali, "jawab Sang
Bendara Wedana tersenyum. @bersambung

Tidak ada komentar: