Senin, 20 Mei 2013

Siluman Rawa Onom (10)


Hipnotis Ronggeng-Ronggeng Cantik Handiwung

Semuanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Semuanya tak menyalahkan sikap Bendara
Wedana yang mendadak mengubah arah perjalanan. Tokh pada intinya sudah dikemukakan,
bahwa berburu hanya sebatas hiburan, sementara tujuan utama adalah mengadakan
identifikasi lapangan.


Kata bendara Wedana, “menerima undangan dari kampung yang belum ia kenal, merupakan kunjungan kerja yang pas”, jelasnya pada rombongannya. Maka Bendara Wedana siap dibawa rombongan berbaju hitam untuk mengunjungi pesta di Kampung Handiwung.

Namun ketika rombongan mulai berjalan, enam ekor anjing tetap gelisah. Mereka melenguh
sambil menggapit-gapitkan ekornya. Pada suatu tikungan jalan yang berada di tengah
belantara, giliran tiga ekor kuda yang memberikan reaksi aneh. Mereka sesekali berbunyi
keras dan mengacungkan kaki depannya ke atas. Di sebuah dusun kecil sebelum tiba di
Kampung Handiwung, pemimpin rombongan menyarankan agar anjing dan kuda dititipkan
saja di kampung itu kalau binatang-binatang itu kelelahan. Entah mengapa, tidak seorang pun
yang mencoba menolak anjuran ini.

Maka untuk selanjutnya, perjalanan dilakukan dengan jalan kaki sebab kata utusan, Kampung Handiwung sudah dekat. Benar saja, kampung yang dimaksud tidak terlalu jauh. Bendara Wedana bahkan amat terkesan dengan keasrian wilayah ini. Jalan yang semula berupa tanah berdebu, ketika memasuki lawang kori (pintu gerbang) berubah menjadi jalan berbatu koral sehingga bila hujan jatuh tak akan membuat kubangan lumpur.

Perumahan pun berderet dengan tertata rapi. Kendati semua beratap rumbia dan rumah bambu
berpanggung, namun kesejahteraan warga nampak nyata. Di setiap halaman rumah tersedia
lumbung padi dan isinya padat. Di bagian lain juga ada kandang ternak. Dari kerbau
hingga kambing, dari ayam sampai itik, semua ada.

Di sisi lainnya, hampir semua rumah punya kolam dan ikan-ikannya terlihat besar-besar. Sungguh membuat Bendara Wedana iri, sebab di pusat pemerintahannya saja, yaitu di Rancah, suasana seperti itu tidak didapat, kecuali di beberapa penduduk kaya saja. Kampung itu semarak, di sepanjang jalan banyak dipasang umbul-umbul. Kampung itu memang tengah menyambut pesta.

Suasana persiapan pesta nampak nyata. Di sudut alun-alun ada panggung dikelilingi damar
sewu atau penerangan minyak tanah berjumlah seribu. Mungkin akan digunakan tempat
pertunjukan. Bahkan sudah nampak jajaran para pedagang di sana. Sedangkan tiba di halaman
rumah tua kampung, membikin Bendara Wedana terbengong-bengong. Di sana sudah
banyak orang, tua-muda besar-kecil , pria dan wanita. Rombongan tamu dari Rancah berjumlah
belasan orang itu nampak terkesiap sebab di desa itu banyak wanita muda yang cantik dan ranum. Para gadis tersenyum dikulum dengan mata mengerling sementara menatap rombongan. Kepala Jang Dayat beberapa kali musti menengok ke belakang sebab ada gadis cantik-manis mengedipkan mata padanya.

Bendara Wedana menerima penghormatan berlebih, sedang disambut tua kampung. Seorang tua berwajah ramah dengan alis tebal berwarna putih keperak-perakan, membimbingnya duduk di sebuah bale-bale yang sudah ditilami beludru halus. Sesuatu yang jarang didapat di kampung lain kala itu. Mereka segera disuguhi makan minum.

Tipe penganan sebetulnya biasa saja, namun dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan di tempat lain. Kalau Bendara Wedana mencicipi buah salak, maka buah salak yang berdaging montok itu terasa manis legit. Kalau Bendara Wedana mencicipi nasi ketan, maka nasi ketan itu berbau harum dan membuat selera bertambah untuk makan banyak-banyak.

Minum air buah kelapa pun terasa sangat menyegarkan sebab air kelapa itu legit dan manis pula, serasa manisnya air madu. Para aparatnya makan lahap sekali, tak terkecuali Camat , Kuwu dan Upas. Mereka ketiduran karena kekenyangan, sampai malam tiba. Mereka bangun dari tidur sebab sayup-sayup mendengar suara bebunyian ditabuh.

"Ha ... ada kesenian tayuban rupanya, "kata Jang Dayat bersemangat. Dan semuanya pun
sebenarnya bersemangat. Sebab bila ada tayuban, tentu di sana bakal ada ronggeng atau
penari wanita. Rupanya pribumi pun mengerti akan kegelisahan para tamu. Buktinya tua
kampung segera mengajak para tamu untuk menuju balandongan, yaitu pusat pertunjukan.
Benar saja, di sana ada tayuban.

Delapan orang ronggeng sudah berseliweran menari di atas panggung. Mereka rata-rata terdiri dari gadis muda yang cantik dan ranum. Para sinden pun tak kalah cantik menariknya dan rata-rata mereka berusia muda.

"Sayang, gadis-gadis secantik itu hanya jadi ronggeng. Padahal kalau tinggal di Dayeuh
(kota), mereka akan jadi istri para menak (bangsawan) dan kantor tinggi, "gumam Bendara
Wedana. "Namun harap diketahui, Gamparan, para gadis di sini bukan menjadi ronggeng untuk
mencari nafkah. Mereka hanya cinta berkesenian saja. Berbagai kesenian dipelihara untuk
ketenangan batin belaka, "tutur tua kampung.

Para ronggeng itu sungguh muda dan cantik. Mereka memakai pakaian gemerlap, kebaya
dengan dironce benang emas dan kain batik halus warna kuning dan hijau. Para ronggeng itu
berseliweran kesana-kemari sambil membeberkan soder , yaitu sebangsa selendang namun
kelak akan disandangkan di bahu tamu. Siapa yang dapat selendang itulah tamu harus ikut
menari.

Beberapa ronggeng turun dari panggung dan mendekati Bendara Wedana dan tamu
penting lainnya. Bendara menolak dengan halus. Namun Camat, Kuwu serta Upas menyambutnya dengan suka -cita. Mereka bahkan naik ke panggung dan menari bersama para
ronggeng. Jang Dayat tanpa diminta ronggeng malah sudah naik panggung dan menari dekat ronggeng cantik. @bersambung

Tidak ada komentar: