Hipnotis Ronggeng-Ronggeng Cantik Handiwung
Semuanya tersenyum dan menggelengkan
kepala. Semuanya tak menyalahkan sikap Bendara
Wedana yang mendadak mengubah arah
perjalanan. Tokh pada intinya sudah dikemukakan,
bahwa berburu hanya sebatas hiburan,
sementara tujuan utama adalah mengadakan
identifikasi lapangan.
Kata bendara Wedana, “menerima
undangan dari kampung yang belum ia kenal, merupakan kunjungan kerja yang pas”,
jelasnya pada rombongannya. Maka Bendara Wedana siap dibawa rombongan berbaju
hitam untuk mengunjungi pesta di Kampung Handiwung.
Namun ketika rombongan mulai
berjalan, enam ekor anjing tetap gelisah. Mereka melenguh
sambil menggapit-gapitkan
ekornya. Pada suatu tikungan jalan yang berada di tengah
belantara, giliran tiga ekor kuda
yang memberikan reaksi aneh. Mereka sesekali berbunyi
keras dan mengacungkan kaki
depannya ke atas. Di sebuah dusun kecil sebelum tiba di
Kampung Handiwung, pemimpin
rombongan menyarankan agar anjing dan kuda dititipkan
saja di kampung itu kalau
binatang-binatang itu kelelahan. Entah mengapa, tidak seorang pun
yang mencoba menolak anjuran ini.
Maka untuk selanjutnya,
perjalanan dilakukan dengan jalan kaki sebab kata utusan, Kampung Handiwung
sudah dekat. Benar saja, kampung yang dimaksud tidak terlalu jauh. Bendara
Wedana bahkan amat terkesan dengan keasrian wilayah ini. Jalan yang semula
berupa tanah berdebu, ketika memasuki lawang kori (pintu gerbang) berubah
menjadi jalan berbatu koral sehingga bila hujan jatuh tak akan membuat kubangan
lumpur.
Perumahan pun berderet dengan
tertata rapi. Kendati semua beratap rumbia dan rumah bambu
berpanggung, namun kesejahteraan
warga nampak nyata. Di setiap halaman rumah tersedia
lumbung padi dan isinya padat. Di
bagian lain juga ada kandang ternak. Dari kerbau
hingga kambing, dari ayam sampai
itik, semua ada.
Di sisi lainnya, hampir semua
rumah punya kolam dan ikan-ikannya terlihat besar-besar. Sungguh membuat
Bendara Wedana iri, sebab di pusat pemerintahannya saja, yaitu di Rancah,
suasana seperti itu tidak didapat, kecuali di beberapa penduduk kaya saja.
Kampung itu semarak, di sepanjang jalan banyak dipasang umbul-umbul. Kampung
itu memang tengah menyambut pesta.
Suasana persiapan pesta nampak
nyata. Di sudut alun-alun ada panggung dikelilingi damar
sewu atau penerangan minyak tanah
berjumlah seribu. Mungkin akan digunakan tempat
pertunjukan. Bahkan sudah nampak
jajaran para pedagang di sana. Sedangkan tiba di halaman
rumah tua kampung, membikin
Bendara Wedana terbengong-bengong. Di sana sudah
banyak orang, tua-muda
besar-kecil , pria dan wanita. Rombongan tamu dari Rancah berjumlah
belasan orang itu nampak
terkesiap sebab di desa itu banyak wanita muda yang cantik dan ranum. Para
gadis tersenyum dikulum dengan mata mengerling sementara menatap rombongan.
Kepala Jang Dayat beberapa kali musti menengok ke belakang sebab ada gadis
cantik-manis mengedipkan mata padanya.
Bendara Wedana menerima
penghormatan berlebih, sedang disambut tua kampung. Seorang tua berwajah ramah
dengan alis tebal berwarna putih keperak-perakan, membimbingnya duduk di sebuah
bale-bale yang sudah ditilami beludru halus. Sesuatu yang jarang didapat di
kampung lain kala itu. Mereka segera disuguhi makan minum.
Tipe penganan sebetulnya biasa
saja, namun dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan di tempat lain.
Kalau Bendara Wedana mencicipi buah salak, maka buah salak yang berdaging
montok itu terasa manis legit. Kalau Bendara Wedana mencicipi nasi ketan, maka
nasi ketan itu berbau harum dan membuat selera bertambah untuk makan
banyak-banyak.
Minum air buah kelapa pun terasa
sangat menyegarkan sebab air kelapa itu legit dan manis pula, serasa manisnya
air madu. Para aparatnya makan lahap sekali, tak terkecuali Camat , Kuwu dan
Upas. Mereka ketiduran karena kekenyangan, sampai malam tiba. Mereka bangun
dari tidur sebab sayup-sayup mendengar suara bebunyian ditabuh.
"Ha ... ada kesenian tayuban
rupanya, "kata Jang Dayat bersemangat. Dan semuanya pun
sebenarnya bersemangat. Sebab
bila ada tayuban, tentu di sana bakal ada ronggeng atau
penari wanita. Rupanya pribumi
pun mengerti akan kegelisahan para tamu. Buktinya tua
kampung segera mengajak para tamu
untuk menuju balandongan, yaitu pusat pertunjukan.
Benar saja, di sana ada tayuban.
Delapan orang ronggeng sudah
berseliweran menari di atas panggung. Mereka rata-rata terdiri dari gadis muda
yang cantik dan ranum. Para sinden pun tak kalah cantik menariknya dan rata-rata
mereka berusia muda.
"Sayang, gadis-gadis
secantik itu hanya jadi ronggeng. Padahal kalau tinggal di Dayeuh
(kota), mereka akan jadi istri
para menak (bangsawan) dan kantor tinggi, "gumam Bendara
Wedana. "Namun harap
diketahui, Gamparan, para gadis di sini bukan menjadi ronggeng untuk
mencari nafkah. Mereka hanya
cinta berkesenian saja. Berbagai kesenian dipelihara untuk
ketenangan batin belaka,
"tutur tua kampung.
Para ronggeng itu sungguh muda
dan cantik. Mereka memakai pakaian gemerlap, kebaya
dengan dironce benang emas dan
kain batik halus warna kuning dan hijau. Para ronggeng itu
berseliweran kesana-kemari sambil
membeberkan soder , yaitu sebangsa selendang namun
kelak akan disandangkan di bahu
tamu. Siapa yang dapat selendang itulah tamu harus ikut
menari.
Beberapa ronggeng turun dari
panggung dan mendekati Bendara Wedana dan tamu
penting lainnya. Bendara menolak
dengan halus. Namun Camat, Kuwu serta Upas menyambutnya dengan suka -cita.
Mereka bahkan naik ke panggung dan menari bersama para
ronggeng. Jang Dayat tanpa
diminta ronggeng malah sudah naik panggung dan menari dekat ronggeng cantik. @bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar