Jurnalis Independen: Asal Mula Ide Demokrasi, Buah
Dari Aqidah Sekulerisme. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yang dicetuskan di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi.
Demos berarti rakyat,
dan Cratos/Kratien/Kratia artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan, sehingga
demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
Adapun aqidah sekulerisme lahir
sesudah abad ke 14 masehi. Ada yang kemudian bertanya ketika melihat fakta
tersebut “bukankah sangat tidak mungkin ibu (demokrasi) lahir dari anak
(sekulerisme), Jika demikian, bagaimana menjelaskan bahwa demokrasi lahir dari
aqidah sekulerisme?”
Memang benar Demokrasi itu lahir
lebih awal, yaitu pada abad ke 5 SM. Sementara Sekulerisme lahir sesudah abad
ke 14 M. Namun dalam sejarah, Demokrasi itu ternyata sudah masuk liang kubur,
karena tidak bertahan lama setelah kelahirannya.
Ini dibuktikan bahwa setelah
negara kota Athena, tidak ditemukan lagi satu negarapun yang menerapkan sistem
ini. Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarchi yang berkolaborasi
dengan Gereja, yang disebut dengan Theokrasi atau yang juga disebut dengan
negara agama.
Konsep theokrasi kemudian
menimbulkan pergolakan karena adanya dua kubu, kubu pertama yaitu tunduk kepada
dominasi gereja yang dipimpin oleh para bangsawan, sedangkan kubu kedua
penolakan total terhadap gereja yakni Agama Katolik yang dimpin oleh para kaum
borjouis dan filosof. Ini terjadi karena selama dominasi gereja, telah 300 ribu
ilmuan yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuan dibakar hidup-hidup karena tidak
sesuai dengan doktrin gereja. Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan
raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan
Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya.
Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun
tidak digugat.
Sebaliknya, pihak kedua
menawarkan konsep sekulerisme yakni menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat
pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya konsep sekulerisme ini mengeluarkan 3 teori,
pertama yakni liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat
hendaknya terserah rakyat sendiri. Ketiga yakni Demokrasi. Disaat aturan agama
ditolak tentu manusia butuh aturan baru, disinilah kemudian Demokrasi digali
kembali dari liang kuburnya setelah terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi
pilihan ideal, karena Demokrasi itu memang sistem yang menyerahkan segala
sesuatunya kepada keinginan manusia. Itulah kemudian kenapa dikatakan bahwa
demokrasi lahir dari aqidah sekulerisme. Akhirnya diambillah jalan tengah
(al-hall al wasath) yang merupakan langkah pragmatis bukan hasil berfikir yang
memuaskan akal dan menentramkan hati.
Sebagian besar manusia sudah
terbius oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang
selalu “didakwahkah” oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem
demokrasi akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera
dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Demokrasi yang katanya bisa
menjadi ‘alat’ untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, pada faktanya juga
bohong. Yang terjadi, demokrasi sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat
(elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya
diri mereka sindiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat. Hal tersebut
wajar, karena hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat
sebagai penentu keinginan.
Sejarah AS sendiri menunjukkan
hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi
adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln
meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan
bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by
company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk
perusahaan).
Sejak awal kelahirannya,
kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan
rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat
dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi,
bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak
memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para
pemilik modal. Ada sebagian kaum muslim berkata bahwa itu adalah konsep
demokrasi barat, sedangkan di dalam Islam kedaulatan berada di tangan rakyat
(suara mayoritas) bukan di tangan pemilik modal. Ini jelas pernyataan yang
keliru dan menyesatkan pola berfikir umat. Bahkan bisa mengancam dan merusak
aqidah umat Islam. Kenapa? Karena jika dikatakan kedaulatan berada di tangan
rakyat melalui wakil-wakil nya di sistem politik demokrasi, maka demokrasi
telah merampas hak Allah swt untuk membuat hukum dan menyerahkan kepada hawa
nafsu manusia.
Allah SWT berfirman :
“Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah.” (TQS. Al An’aam: 57)
Bahkan jika seseorang secara
sadar dan terang-terangan menolak satu saja hukum syariah Islam, menolak dalam
arti mengingkari kewajiban akan berhukum dengan hukum Allah tersebut maka ia
bisa termasuk kategori orang yang kafir.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir (Q.S Al-Maidah
[5]: 44)
Status kafir atau murtad itu
tidak disebabkan karena tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan hukum
Allah, namun karena pengingkarannya terhadap suatu perkara telah dipastikan
oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika sudah pada taraf pengingkaran, masalahnya
bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syara’, namun sudah masuk
dalam wilayah aqidah. Sementara aqidah inilah yang menjadi pembeda antara orang
mukmin dengan orang kafir.
Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan
Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:
وقد أمر الله
السلطان والحاكم أن يحكم بما أنزل الله على رسوله, وجعل من يحكم بما بغير ما أنزل
الله كافرا إن اعتقد به, أو اعتقد بعدم صلاحية ما أنزل الله على رسوله, وجعل عاصيا
وفاسقا وظالما إن حكم به ولم يعتقده
Dan sungguh Allah telah
memerintahkan sultan dan penguasa untuk berhukum dengan apa yang Allah Swt
turunkan kepada rasul-Nya; dan menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini
tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang
maksiat, fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah
turunkan) dan tidak meyakininya.
Disamping itu, walaupun negara
yang menganut sistem demokrasi memberikan tempat bagi kelompok yang menyuarakan
syariah Islam, namun demokrasi tidak memberikan tempat agar syariah Islam
tersebut dapat diterapkan. Hal ini karena demokrasi telah menetapkan dengan
garis tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur masalah publik.
Demokrasi tidak bisa dilepaskan
dari ide liberalisme/al-hurriyah (kebebasan), sebab kebebasan merupakan
prasyarat agar rakyat dapat melaksanakan kedudukannya sebagai sumber kedaulatan
dan sumber kekuasaan. Kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat.
Dengan itu, mereka dapat melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri,
serta melaksanakan haknya dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau
paksaan. Karena pemilik kedaulatan adalah manusia maka manusia memiliki
kebebasan dalam segala hal. Kebebasan itu tidak boleh dilanggar dan harus
dijamin keberadaan dan pengekspresiannya.
Paham kebebasan (liberalisme)
yang menjadi salah satu pilar sistem sekuler demokrasi menjadikan pengaturan
urusan manusia harus menjamin kebebasan manusia. Peraturan dan kebijakan
politik yang dikeluarkan tidak boleh melanggar kebebasan ini. Lahirlah
peraturan dan kebijakan yang bersifat permisif. Ide ini telah membawa bencana
paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia. Ide ini telah
mengakibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat
masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih
hina daripada derajat segerombolan binatang.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh
kebebasan ide demokrasi bisa kita urai sebagai berikut :
1. Kebebasan beragama/Aqidah
(freedom of religion)
Dalam demokrasi, seseorang bebas
untuk beragama ataupun tidak beragama (atheis). Mereka juga bebas untuk berpindah-pindah
agama (baca : murtad), tentu hal semacam ini adalah kebebasan yang kebablasan,
aqidah atau agama seolah menjadi sesuatu yang tidak prinsip sehingga seolah
menjadi permainan. Ini terjadi karena dalam demokrasi bahwa semua agama itu
sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Dengan
pandangan yang rusak ini, mengakibatkan perilaku yang menyimpang bagi sebagian
kaum muslim, misalnya wanita muslimah tidak merasa berdosa ketika menikah
dengan laki-laki kafir dengan alasan persamaan agama (semua agama itu sama,
red.).
2. Kebebasan berpendapat (fredom
of speech)
Di Belanda, tahun 2004, Theo van
Gogh membuat film yang melecehkan Islam. Masih di Belanda, Geert Wilders,
anggota Parlemen Belanda dari Partai Kebebasan, juga menghina Islam melalui
berbagai pernyataan, tulisan dan film yang dibuatnya. Kita tentu juga masih
ingat ketika surat kabar Jyland Posten
memuat kartun Nabi diterbitkan
pada 30 September 2005. Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar di Denmark.
Gambar kartun nabi Muhammad saw tersebut di buat oleh Kurt Westergaard. 2 tahun
kemudian yakni tahun 2007, muncul kartunis lain dari Negara Swedia yakni Lars
Vilks menggambar nabi Muhammad saw sebagai satwa haram. Kemudian setelahnya
muncul film Innocence of Muslims, sebuah video yang di buat oleh Sam Bacile.
Terkait film Innocence of Muslims, Amerika Serikat sebagai pengusung utama ide
demokrasi, walaupun mereka mengecam
pembuatan video tersebut dan mengatakan bahwa video tersebut tidak ada
hubungannya dengan Negara Amerika, namun yang aneh adalah ketika menteri luar
negerinya Hilary Clinton berkata : “Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya
tradisi panjang kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan
hukum kami, dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang
mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai,” imbuhnya. Di
Amerika Serikat, dua tahun lalu, dalam rangka peringatan tragedi WTC 9/11,
sekte kecil agama Kristen di Florida, pimpinan Pastor Terry Jones dari Gereja
World Outreach Center, membakar al-Quran. Sementara itu di bulan Oktober lalu
film kartun South Park juga menampilkan sosok Nabi saw dalam salah satu
episodenya. Ironinya, semua serangan terhadap Islam dan kaum Muslim di Barat
terjadi dengan alasan demokrasi dan kebebasan. Contoh, editor Charlie Hebdo,
Stephane Charbonnier mengatakan,“Kami pikir mungkin akan ada rasa hormat yang
lebih untuk pekerjaan satir kami, hak kami untuk mengejek. Kebebasan untuk
memiliki tawa yang baik adalah sama pentingnya dengan kebebasan berbicara.”
Semua itu menampakkan dengan jelas kepada kita bahwa demokrasi selalu
menerapkan standar ganda, khususnya untuk Islam dan kaum Muslim. Dengan dalih
kebebasan, Barat beramai-ramai melecehkan ajaran Islam dan menghina Rasulullah
saw. Di sisi lain, mereka melarang tulisan atau propaganda yang menyerang
Yahudi dan Israel dengan dalih anti-Semit. Jika terkait Islam dan kaum Muslim,
maka demokrasi dan kebebasan berpendapat bahkan kebebasan beragama, tiba-tiba
saja menjadi tidak ada.
3. Kebebasan kepemilikan (freedom
of ownership)
Ide kebebasan kepemilikan yang
dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, mengakibatkan lahirnya para kapitalis
yang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan
membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya.
Hal ini bisa kita lihat dari salah satu alasan kenapa Perancis menyerang negara
Mali di Afrika adalah karena faktor ekonomi yakni kekayaan negara Mali. Mali
adalah negeri yang kaya bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin, bauksit,
besi, uranium dan banyak lainnya. Tidak
mengherankan kalau Eropa khususnya Perancis dan Amerika saling berebut kekayaan
alam Mali. Keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis yang luar biasa,
telah mengakibatkan berkobarnya bencana dan peperangan di antara bangsa
terjajah. Dengan begitu, negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan
produk-produk industrinya, sekaligus mengembangkan industri militernya yang
bisa menghasilkan keuntungan besar.
4. Kebebasan bertingkah laku
(personal freedom)
Kebebasan berperilaku, juga telah
menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi kapitalisme melalui perhelatan
Miss Universe, Miss World dan sejenisnya. Perempuan hanya dianggap sebagai
komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Kebebasan semacam ini sama
artinya dengan meligitimasi kemaksiatan. pacaran misalnya, merupakan kebebasan
berperilaku yang harus dilindungi hak nya, bahkan ada sebagian orang tua yang
malu jika anak nya belum punya pacar. Kebebasan ini juga melahirkan perilaku seks
yang menyimpang, kita bisa melihat bagaimana sekarang manusia sudah tidak malu
lagi memperkenalkan dirinya dihadapan umum sebagai pasangan homo/lesbi dan juga
waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari binatang. Liberalisme sama
dengan binatang, bahkan lebih rendah dan hina. Bagaimana Liberal tidak lebih
rendah dan hina daripada binatang? Seekor ayam saja yang tidak berakal
mengetahui bahwa jantan tidak boleh mengawini jantan dan betina tidak boleh
mengawini betina, lalu ada manusia Liberal yang katanya berakal cerdas dan
tinggi pula pendidikannya hingga “bergelar profesor doktor” tidak paham soal
sesederhana itu, sehingga ia menghalalkan homosexual dan lesbianisme. Bahkan
gilanya, Dewan HAM PBB melegalkan Homosex dan Lesbi sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).
democracy is an illusion.
Kebebasan berperilaku juga menyuburkan kejahatan tindakan asusila. Harian The
Guardian (10/1) menambahkan potret rusak negara kampiun demokrasi Inggris.
Berdasarkan sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di Inggris dan
Wales menjadi korban serangan seksual sejak berusia 16 tahun. Studi ini juga
menunjukkan ada sekitar 473 ribu orang dewasa yang menjadi korban kejahatan
seksual setiap tahun, termasuk di dalamnya ada 60 ribu sampai 95 ribu korban
perkosaan. Kondisi yang sama terjadi di negara demokratis lain di luar Amerika
dan Eropa, seperti India. Negara ini tergoncang dengan meninggalnya mahasiswi
kedokteran India berusia 23 tahun yang menjadi korban dari serangan pemerkosaan
brutal (16/12) oleh enam orang laki-laki
di dalam bis di New Delhi.
Segala kerusakan yang dibawa oleh
sistem demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang
memang sudah cacat sejak lahir. Aqidah sekulerisme yang melahirkan demokrasi
merupakan aqidah hasil jalan tengah atau kompromi. Karena itu, sudah saatnya
umat islam mulai sekarang segera mencampakkannya. Kaum Muslim harus kembali
pada sistem Islam, kembali pada syariah, kembali dalam naungan Khilafah
Islamiyah; sebagaimana selama berabad-abad pernah dialami oleh generasi kaum
Muslim terdahulu. Hanya dengan itulah, kemuliaan kaum Muslim di dunia maupun di
akhirat bisa diraih. Wallahu A’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar