Asmara
Dua Alam Berbalut Dendam
"Kami
menyebutnya alam siluman ..." kata Nyi Indangwati. "Ini adalah sebuah
alam yang terletak
di antara alam manusia dan alam arwah.
Bagi manusia awam, kami tak
berujud tapi kami bukan bangsa jin. Begitu pun tempat kehidupan kami, tak bisa
dilihat manusia biasa. Keraton Pulo
Majeti menurut mereka hilang lenyap dan berubah menjadi belantara dan rawa,
" sambung lagi Nyi Indangwati. "Tak perlu takut. Kami tetap makhluk
biasa yang memiliki rasa dan perasaan dan yang bisa membedakan mana baik mana
buruk.
Kami juga butuh perkawinan,
keluarga dan keturunan. Kami juga suka makanan enak yang disenangi manusia
biasa dan yang tumbuh di alam nyata. Hanya tentu saja karena tak punya tubuh
kasar, maka untuk memakan makanan yang tumbuh di dunia nyata, kami pinjam tubuh
nyata . Bila ingin sayur, kami masuk ke binatang yang suka sayur, demikian pun
kalau ingin daging, masuk ke tubuh binatang pemakan daging".
"Tetapi kendati perasaan
sebagai manusia tetap ada, bangsa kami tak seserakah seperti manusia
umumnya. Sebagai keturunan Galuh
dan orang Pemerintah Sunda pada umumnya kami
tetap berpegang pada
kesederhanaan, "tutur lagi Nyi Indangwati sambil bersenandung lirih.
“Turunan
ti Karajaan Sunda mahmun nyatu tamba henteu laparmun nginum tamba henteu
hanaangmun
dicangcut tamba henteu dibaju Ulah satenjo-tenjonaari lain tenjokeuneunanaulah
sadenge-dengenaari
lain dengekeuneunanaulah saucap- ucapnaari lain ucapkeunanaulah
sacabak-cabaknaari lain cabakeunana.”
Artinya: “Keturunan dari Kerajaan Sunda bila makan sekadar tak lapar bila minum
sekadar tak dahaga bila memakai celana dalam sekadar tak berpakaian. Jangan
menatap sesuatu yang tak bisa ditatap jangan mendengarkan sesuatu yang tak
pantas didengarkan jangan berbicara sesuatu yang tak pantas diucapkan jangan
meraba sesuatu yang tak pantas untuk diraba.”
"Mengapa bangsamu
menyebutkan diri sebagai keturunan Kerajaan Sunda, Nyai?" tanya
Jendra kemudian.
"Sebab ayahanda adalah
keturunan dari Kerajaan Sunda," kata Nyi Indangwati. Maka Nyi
Indangwati berujar panjang. Ini
dimulai dari Kerajaan Tarumanagara (358-669 Masehi). Pada
tahun 669 Kerajaan Tarumanagara
dibagi dua. Wilayah barat dari Banten sampai batas
Citarum berubah menjadi
Pemerintah Sunda, sementara wilayah timur dari batas Citarum
sampai Brebes menjadi Kerajaan
Galuh. Prabu Lingawarman memiliki seorang putri
bernama Dewi Manasih. Dewi
Manasih bersuamikan Tarusbawa dan melahirkan seorang
putra.
"Keturunan dari Dewi Manasih
dan Tarusbawa ini tak lain adalah kakekku sendiri atau ayah
dari Ki Selang Kuning,
ayahandaku. Hanya karena bukan keturunan dari anak lelaki saja,
yang mengakibatkan kakekku tak
menjadi raja penerus dari Kerajaan Sunda . Namun
demikian, kami tetap merupakan
keturunan langsung dari Prabu Tarumanagara, "tutur lagi
Nyi Indangwati. "Itulah
sebabnya, ayahanda bersikeras ingin menjadi raja di Pulo Majeti sebab
ia punya garis keturunan Raja
Sunda, "kata lagi Nyi Indangwati. Namun kata gadis itu, sampai hari-hari belakangan
ini kegelisahan belum mau sirna. Orang-orang Galuh masih tetap memendam
penasaran.
"Pemerintah Pulo Majeti akan
tetap dihancurkan. Hari-hari belakangan ini, bangsa manusia
sedang berusaha mengeringkan rawa
di sekitar Pulo Majeti. Ini artinya akan mengganggu
kehidupan kami. Kalau kau
mengerti, tolong gagalkan rencana ini, "tutur Nyi Indangwati.
Mendengar ini, Jendra mengerutkan
kening. Rencana mengeringkan Rawa onom, yaitu
sebuah wilayah rawa yang
mengelilingi Pulo Majeti memang tengah dipikirkan Bendara
Wedana. Namun tujuan majikannya
ini, sama sekali tak ada kaitannya dengan keinginan
untuk menghancurkan Kerajaan Pulo
Majeti.
"Rawa onom memang akan
dikeringkan oleh Bendara Wedana. Tapi itu semata-mata untuk
kesejahteraan rakyat di Rancah
dan bukan untuk menghancurkan Kerajaan Pulo Majeti, Nyai
... " kata Jendra. Tapi Nyi Indangwati
menggelengkan kepala. "Dengan bermaksud mengosongkan rawa, artinya akan
membunuh kehidupan rakyat Pulo Majeti, "tuturnya. "Tidak begitu, Nyai
..." "Kau harus bantu kami mencegah tindakan ini." Jendra
terpekur.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar