Jurnalis Independen: Merdeka, itulah
tujuan akhir perjuangan dan propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM). Untuk itu,
OPM resmi dan sangat berani membuka kantor perwakilannya di Oxford Inggris. Tentu
saja rakyat dan Pemerintah Indonesia berang dan memprotes Inggris melalui duta
besarnya di Jakarta.
Dan dengan entengnya aktivis Pro
Papua Merdeka menilai pemerintah Indonesia terlalu emosional menyikapi hadirnya
kantor tersebut. Para pejuang yang menjadi begundal Lembaga Swadaya Masyarakat
asing itu tanpa rasa bersalah dan bernada menghina pemerintah dan rakyat
Indonesia dengan menyatakan rakyat dan pemerintah terlalu emosional menyikapi
masalah itu.
"Pemerintah Indonesia jangan
terlalu emosional, mestinya menghargai hak demokrasi. Kecuali begitu kantor OPM
berdiri, kami langsung merdeka, itu yang
luar biasa, jadi sepatutnya jangan terlalu berlebihan menanggapinya," kata
Ketua Parlemen Nasional Papua Barat Buchtar Tabuni saat ditemui, Senin, 6 Mei.
Lanjut Buchtar, peluncuran Kantor
OPM di Oxford merupakan cerminan bahwa Inggris sangat mendukung demokrasi.
"Inggris menghormati sistem
demokrasi serta menghargai penentuan nasib sendiri. Mereka juga menilai
Indonesia belum melaksanakan Perjanjian New York serta hukum internasional,
guna sebuah bangsa menentukan nasibnya sendiri melalui referendum yakni one man
one vote," ujarnya.
Buchtar mengungkapkan, Ketua
Internasional Parlemen Papua Barat Benny Wenda yang selama beberapa tahun ini
berjuang untuk Papua Merdeka di Inggris, sudah memberitahukan rencana peluncuran
kantor OPM di Oxford sebulan yang lalu.
"Satu bulan sebelumnya, Tuan
Benny sudah sampaikan ke parlemen Papua akan ada peluncuran kantor OPM di
Oxford. Bahkan walikota setempat sangat mendukung dengan menjadi
pembinanya," ujar Buchtar.
Seperti diberitakan sebelumnya,
pada 28 April lalu kelompok OPM di Inggris yang dipimpin oleh Benny Wenda,
membuka kantor perwakilan di kota Oxford. Dengan titel Koordinator Free West
Papua Campaign, Benny turut mengundang Walikota Oxford, Mohammad Niaz Abbasi,
mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin dan satu anggota parlemen Inggris,
Andrew Smith untuk hadir.
Hal ini membuat Indonesia
kebakaran jenggot dan memprotes keras. Protes ini disampaikan oleh Kemlu RI
kepada Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning.
Terkait pembukaan perwakilan
kantor OPM Oxford di Inggris, Anggota DPR Papua, Ruben Magai, menilai sikap
pemerintah terlalu berlebihan saat menanggapi hal itu. Menurutnya, Inggris
hanya menginginkan penegakan demokrasi dan HAM di Papua, namun tetap
mengakuinya sebagai bagian dari NKRI.
"Pemerintah Inggris
menyetujui pembukaan kantor OPM di Oxford, karena melihat dari sudut pandang
penegakan HAM dan demokrasi yang selalu mereka junjung tinggi, bukan seperti di
Indonesia yang diatur oleh oknum atau institusi tertentu," ujar Ketua
Komisi A DPR Provinsi Papua, Senin, 6 Mei 2013.
"Inggris tidak menyetujui
adanya kelompok separatis, tapi mereka ingin demokrasi dan HAM benar-benar
dijalankan di Papua," lanjutnya lagi.
Ruben mengatakan bahwa pemerintah
Indonesia selalu memandang segalanya dari sisi politik, sehingga kerap muncul
rasa ketakutan. "Inilah cerminan pemerintah pusat yang selalu berpandangan
curiga kepada Papua dan kerap menstigma orang Papua separatis. Akibatnya ketika
negara lain memberikan kebebasan berekspresi, Indonesia kelabakan dan paranoid
sendiri," ujarnya.
Ruben melanjutkan, pemerintah
Indonesia jangan lagi menganggap peradaban saat ini sama seperti zaman orde
baru yang segala sesuatu bisa ditutupi dan dibungkam.
"Ini sudah zaman modern
dengan segala teknologi yang cukup canggih, kalau era Orde Baru orang Papua
dibunuh masih bisa ditutup-tutupi, sekarang tidak lagi seperti itu. Jarum jatuh
saja di Papua, seluruh dunia akan tahu. Begitu pun Inggris, mereka menganggap
demokrasi dan penegakan HAM belum dijalankan di Papua, sehingga menyetujui
pembukaan kantor OPM di negaranya," ucap Ruben.
Jadi, tambah Ruben, pemerintah
Indonesia jangan selalu menginterpretasikan perjuangan penegakan HAM dan
demokrasi di Papua berkaitan dengan isu Papua Merdeka. "Inggris hanya
mendukung HAM dan demokrasi benar-benar tegak di Papua, jangan malah
disalahartikan. Dunia akan selalu menyoroti Papua jika HAM dan demokrasi terus
dibungkam," tegasnya.
Entah karena apa orang ini bisa
menjadi anggota dewan di Papua yang dulu bernama Irian Barat itu. Apalagi ia
bahkan menjabat sebagai Ketua Komisi A di Parlemen Propinsi, namun tidak
mengerti sejarah Irian atau Papua.
Bahkan lebih lanjut Ruben
mencercah pemerintah Indonesia dimana selama ini dirinya menikmati banyak
fasilitas dari Negara Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebenarnya, jika pemerintah Indonesia
bersungguh-sungguh ingin menegakan HAM dan demokrasi di Papua atau Irian Barat,
negara lain pasti tidak menyorotinya. Segera buka ruang dialog serta luruskan
sejarah yang sebenarnya mengenai Papua.
Padahal, memang sengaja ada tangan-tangan
jahil internasional yang bermain dalam banyak kasus di Irian atau Papua ini,
termasuk orang seperti Ruben Magai Anggota Dewan Komisi A Propinsi Papua atau
Irian Barat ini.Zoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar