Jurnalis Independen: Boediono, kini Wakil Presiden,
ternyata adalah seorang kriminal murni. Jika dicermati, rekam jejak Wakil
Presiden itu adalah penanggungjawab atas terbakarnya gedung Bank Indonesia (BI)
pada Desember 1997 lalu. Selain Menghanguskan file-file Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), kebakaran itu juga menewaskan 15 orang. Pertanyaannya, apakah
kebakaran itu disengaja?
Skandal bantuan likuidasi Bank
Indonesia (BLBI) merupakan kejahatan kerah putih yang paling dahsyat, yang
diduga melibatkan para direksi BI saat itu, yang di antarannya adalah Boediono,
yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
"Kenapa Mabes Polri tidak periksa
Boediono," tanya Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M
Massardi, dalam diskusi dengan tema "Penjara dan Pemakzulan Terkait Fakta
Hukum Keterlibatan Langsung Boediono dalam Skandal BLBI" di Gallery Cafe,
Taman Ismail Marzuki, Jakarta (Minggu, 27/1).
Saat Boediono menjabat direksi BI,
kata Adhie, terjadi kebakaran di Gedung BI pada 8 Desember 1997, setelah
sebelumnya ada kebakaran di gedung Badan Perenancanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Dan di gedung BI tersebut ada dokumen-dokumen yang terbakar.
"Dibakarnya gedung BI lantai 23
dan 24 harus kembali diusut karena ada korban tewas 15 orang. Kala diungkap
kembali, Boediono diprediksi akan lebih mudah diusut karena kriminal murni.
"Memang harus masuk lewat jalur
kriminal, siapa yang bakar gedung BI. Dan yang bertanggungjawab saat itu,
Boediono," kata Adhie.
Secara khusus, keterlibatan Bodiono di
balik pengucuran danatalangan BLBI terungkap dalam Putusan Kasasi MA No.
981/K/PID/2004.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa
pada tanggal 21 Agustus 1997 bersama Paul Soetopo, Boediono yang kini adalah
Wakil Presiden RI menyetujui dan memberikan fasilitas saldo debet kepada tiga
bank, yakni Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional.
Dalam putusan itu juga disebutkan
bahwa Paul Soetopo telah dipidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda
sebesar Rp 20 juta atas perbuatannya itu. Sementara Boediono yang menjadi
koleganya, hingga kini masih bisa melenggang bebas, bahkan menjadi orang
terkuat kedua di Indonesia.
BLBI merupakan skema pinjaman yang
dikucurkan BI untuk sejumlah bank yang sedang mengalami persoalan likuiditas
ketika Indonesia diterjang krisis moneter yang berkembang menjadi krisis
ekonomi di tahun 1998. Skema bantuan ini didasarkan pada perjanjian antara
Indonesia dan International Monetary Fund (IMF).
Setidaknya, sampai 1998 BI telah
menyalurkan dana segar sebesar Rp 147,7 triliun dana BLBI kepada 48 bank.
Belakangan audit yang dilakukan BPK menemukan potensi penyimpangan sebesar Rp
138 triliun.
BHS, salah satu dari tiga bank yang
diselamatkan Boediono dan Paul Sutopo adalah milik Hendra Raharja alias Tan
Tjoe Hing. Sejak awal, modus operandi bank ini sudah mengkhawatirkan. BHS
membangun cabang di banyak tempat dengan menggunakan model franchise. Hal ini
sebenarnya tidak diperolehkan dan melanggar hukum. Namun BI menutup mata,
bahkan tetap mengucurkan bantuan sekitar Rp 2 triliun untuk BHS.
Setelah BI mengucurkan danatalangan,
Hendra Rahardja membobol BHS dan melarikan diri ke Australia. Dalam pengadilan
in absentia di bulan Maret 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan
hukuman penjara seumur hidup untuk Hendra Rahardja. Dia diwajibkan membayar
denda sebesar Rp 30 juta dan mengganti kerugian sebesar Rp 1 triliun.
Selain Hendra, dua direksi BHS, Eko
Adi Putranto dan Sherly Konjogian divonis 20 tahun penjara. Keduanya pun sudah
lebih dahulu kabur ke negeri kanguru.
Modus operandi pembobolan bank yang
dilakukan Hendra Rahardja terbilang canggih. Belakangan setelah kasus BHS
mencuat diketahui bank itu bodong, sebodong-bodongnya. Dapat dikatakan, BHS tak
punya aset sama sekali, atau bisa jadi asetnya sudah dipindahtangankan
jauh-jauh sebelum kasus ini meruak ke permukaan.
Kantor-kantor yang selama ini menggunakan
banner BHS ternyata kantor sewaan. Bukan cuma kantor, bahkan komputer dan mobil
operasional BHS pun barang sewaan yang tak bisa disita negara.
Alhasil, ketika BHS resmi ditutup,
negara masih harus merogoh kocek untuk "membantu" BHS, misalnya membayar
gaji karyawan yang di-PHK serta kewajiban dengan pihak ketiga lainnya.
Yang lebih menyakitkan, modus operandi
BHS dan Hendra Rahardja ini seakan melintas begitu saja di depan mata Boediono
dan Paul Sutopo.
Hampir setahun setelah vonis penjara
seumur hidup dijatuhkan untuk dirinya, Hendra Rahardja dikabarkan meninggal
dunia pada Februari 2003 di Australia.
Hendra Rajahardja adalah kakak dari
maestro pembobolan bank kelas kakap pertama di Indonesia, Edy Tansil alias Tan
Tjoe Hong alias Tan Tju Fuan. Nama Edy Tansil sangat populer di Indonesia pada
tahun 1996 setelah ia melarikan diri dari LP Cipinang di Jakarta tepatnya pada
4 Mei 1996.
Ketika melarikan diri, Edy Tansil
tengah menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atas perbuatannya menggelapkan
uang sebesar 565 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,6 triliun. Uang ini
diperoleh bos Golden Key Group itu dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Di tahun 1999 Bapindo dimerger bersama tiga bank lainnya, yakni, Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor, menjadi Bank Mandiri.
Keberadaan Edy Tansil sampai kini
masih misteri. Tahun 1999 sempat tersebar kabar dia mendapatkan lisensi dari
produsen bir Jerman, Becks Beer Company, dan membangun pabrik bir di Pu Tian,
sebuah kota di Provinsi Fujian, Republik Rakyat China.
Hendra Rahardja dan Edy Tansil adalah
anak Hary Tansil alias Tan Tek Hoat, seorang bankir di Makassar, Sulawesi
Selatan, yang terkenal pada era 1960an.
Awalnya Hary Tansil mendirikan Bank
Banteng. Tetapi belakangan, ia mulai bermasalah hingga akhirnya Bank Banteng
bangkrut. Tidak diketahui bagaimana proses penyelesaian kewajiban Tansil Sr.
Gagal dengan Bank Banteng, Hary Tansil
tak menyerah begitu saja. Dia mendirikan Bank Pembangunan Sulawesi yang umurnya
sangat pendek. Untuk menghindari nasabah yang marah, Hary Tansil angkat koper
dan melarikan diri ke Hongkong.
Salah satu nasabah Hary Tansil adalah
koperasi polisi. Itulah sebabnya, setelah peristiwa G30S, rumah keluarga Tansil
di Botolempangan diambil alih mahasiswa dan diserahkan kepada kepolisian.
Hingga kini rumah Tansil itu menjadi mess Polwan
Kementerian Keuangan kewalahan menjual
aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset sitaan yang berhasil
diuangkan masih jauh dari target.
Akibat krisis moneter 1997/1998,
pemerintah telah menyuntik dana ratusan triliun kepada bank-bank yang
terancam bangkrut itu, sepanjang tiga rezim.
Mulai dari era Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid.
Berdasarkan hasil audit investigasi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000, jumlah bantuan yang dicairkan
sebesar Rp 144,5 triliun. Sebesar 95,7 persen atau Rp 138,4 triliun disebabkan
penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian.
BPK menyimpulkan, penyaluran dan
penggunaan BLBI terdapat penyimpangan yang menimbulkan dugaan tindak pidana
dan merugikan keuangan negara.
Setelah 14 tahun berlalu, pemerintah
masih mengejar para penerima BLBI yang sebagian besar berstatus buron.
Satu-satunya jaminan yang dimiliki pemerintah adalah, aset para obligor. Aset
yang kemudian dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itulah yang
terus dilelang untuk mengganti uang negara yang telah dikucurkan.
Upaya recovery
Upaya recovery alias pengembalian
uang negara eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dilakukan Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu). Total aset
yang berhasil dilelang hanya Rp 350 miliar.
“Terakhir, Juli-Agustus lalu sudah masuk Rp
350 miliar. Tapi, proses recovery terus dilakukan melalui lelang aset-aset
yang dulu dikuasai BPPN,” kata Dirjen DJKN, Hadiyanto di Jakarta, akhir pekan
lalu.
Ditjen Kekayaan Negara dituntut bisa
menjual aset tersebut di atas NJOP, tapi tidak gampang. Selain masih banyak
yang terbelit masalah hukum, harganyapun banyak yang di bawah NJOP.
Menurutnya, pemerintah sulit mencari
untung. Makanya diprioritaskan bagaimana agar recovery aset bisa dilakukan
secepatnya, sehingga dana recovery bisa masuk ke kas negara.
“Yang kita lakukan sekarang lebih
pada pengembalian uang yang dulu sudah dikeluarkan negara,” ucapnya.
Diungkapkan, November ini Ditjen
Kekayaan Negara kembali melelang aset eks BPPN yang sebagian besar berupa
properti dalam bentuk bangunan atau tanah. “Ada yang belum terjual, makanya
kita lelang lagi,” ujarnya.
Selain melalui DJKN, upaya recovery
aset eks BPPN juga dilakukan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Upaya
recovery yang dilakukan PPA antara lain aset eks BPPN di PT Bank Permata, PT
Bank Panin, PT Jemblo Cable Company, dan PT Asia Natural Resources Rp 850
miliar, serta aset Grup Texmaco yang mencapai Rp 30 triliun.
Jumlah tersebut menjadi beban negara,
karena setiap tahunnya pemerintah harus membayar bunga kepada BI 3 persen.
Sedangkan, sampai saat ini, bank-bank
penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah. Akibatnya, anggaran negara selama puluhan
tahun tersandera untuk membayar kewajiban para obligor BLBI.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kemenkeu, Robert Pakpahan
mengungkapkan, pemerintah akan membayar kewajiban surat utang dan
obligasi negara, baik pokok maupun imbal hasil pada saat jatuh tempo.
Hal tersebut dalam rangka memenuhi
ketentuan Undang-Undang No.24/2002 Tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang
No.19/2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara. Selain itu, juga menjaga
kepercayaan pelaku pasar atau investor terhadap kredibilitas pemerintah.
“Pemerintah setiap tahun menalokasikan
dana dalam APBN untuk membayar pokok dan bunga/imbalan SBN yang jatuh tempo
sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut,” ungkapnya.
Terbebani Bunga Obligasi 60 Triliun
Abdilla Fauzi Achmad, Anggota Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara DPR
BPK menyatakan pencatatan aset eks
BPPN masih amburadul akibat kelemahan
perhitungan dan penilaian aset.
Aset eks BPPN yang telah diserahkan
kepada Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) senilai Rp 11,18 triliun tidak didukung dokumen valid.
Selain itu, aset eks BPPN berupa
tagihan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Rp 8,68 triliun belum didukung
dokumen kesepakatan dengan pemegang saham.
“Ini sangat memprihatikankan, karena
aset eks BPPN itu benar-benar hilang tak berbekas. Padahal, kalau aset negara yang lenyap bisa kembali, saya
kira bisa memberikan dampak positif bagi APBN.”
Sampai saat ini, pemerintah terbebani
bunga obligasi setiap tahun sekitar 60 triliun rupiah. Akibatnya, kondisi APBN
tidak sehat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
BLBI dalam jumlah besar yang sudah
dikucurkan menjadi beban seluruh rakyat, karena untuk menutupinya, pemerintah
menerbitkan obligasi pokok dan bunganya
dibayar APBN. “Ini jelas tidak adil.”
Pemerintah harus segera mengusut
tuntas hilangnya aset ini. Bahkan, KPK harus mulai ikut menuntasan kasus BLBI.
Apalagi, pengusutan kasus korupsi semakin terbuka lebar setelah dunia
internasional menyatakan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Sebaiknya langkah penuntasan
penanganan BLBI dibarengi dengan
upaya menuntut kekurangan pembayaran
sejumlah obligor BLBI, yang nilai asetnya ternyata lebih rendah dari nilai
aset yang tercantum ketika aset tersebut diserahkan.
Sama Saja Merestui Tindak Kejahatan
Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi
Politik
APBN selalu defisit, antara lain
terbebani utang warisan BLBI dari krisis 1997/1998. Jumlahnya sangat besar,
sehingga butuh waktu lama melunasinya.
“Selama ini, pemerintah membiarkan
piutang BLBI menjadi utang. Itu sebuah kesalahan besar yang dilakukan negara,
karena akan menyengsarakan masyarakat Indonesia.”
APBN yang seharusnya untuk mensejahterakan
rakyat digunakan membayar kewajiban para obligor BLBI. Beredar kabar para
obligor itu kini justru lebih kaya raya ketimbang sebelum krisis. “Pemerintah
justru membuat orang kaya makin kaya.”
Pemerintah harus berani dengan tegas
menyatakan moratorium atau penghentian pembayaran bunga BLBI. “Mengorbankan
kepentingan rakyat demi pengemplang BLBI sama dengan negara merestui tindak
kejahatan yang dilakukan para penjahat itu.”@Bung Merdeka
2 komentar:
de nature obat gatal
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar