Jurnalis Independen: Gebrakan PT Transindo Multi Prima
(TMP) mengakuisisi Bentoel Putra Prima bagaikan kodok yang melahap seekor
gajah. Siapa di belakang sang kodok? Di alam nyata, kodok memang tak mungkin
melahap gajah. Tapi, di dunia pasar modal analogi semacam itu bisa saja
terjadi. Contohnya adalah apa yang terjadi pada akuisisi Bentoel
Prima oleh PT Transindo Multi Prima.
Bayangkan, total
aset TMP tak lebih dari Rp 7 miliar. Tapi, perusahaan ini bisa mengakuisisi
Bentoel Prima yang beraset lebih dari Rp 1 triliun. "Itulah cerita kodok
memakan gajah," ujar seorang investor, enteng.
Bagi investor di pasar modal,
akuisisi seperti itu tidaklah terlalu merisaukan. Malah, mereka akan bersenang
hati bila mendapat gain dari fluktuasi harga saham perseroan. Apalagi, diakui,
tak banyak yang mampu melakukan itu. Praktik begini hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang
punya nyali besar dan kemampuan
rekayasa finansial tinggi.
Gebrakan TMP tidak saja
mengejutkan, tapi juga memunculkan tanda tanya. Bagaimana perusahaan yang tak
terlalu diperhitungkan ini bisa melahap perusahaan yang jauh lebih besar. Dan,
bukan hanya satu, tapi dua sekaligus. Selain Bentoel, TMP juga mengakuisisi PT
Lestariputra Wirasejati (LW). Padahal, berdasarkan catatan keuangan per Oktober
1999, total aset TMP hanya Rp 6,84 miliar. Nilai aset ini jauh lebih kecil dari
aset BP mencapai Rp 1,02 triliun dan aset LW sekitar Rp 99,11 miliar.
Bagaimanapun, pemegang saham
Transindo telah menyetujui akuisisi saham Bentoel dan Lestariputra
masing-masing 75 persen saham. Setelah akuisisi, nama Transindo Multi Prima
lalu berubah menjadi Bentoel International Investama. Sebelumnya, santer
diperdebatkan bahwa spekulan kelas kakap George Soros bakal menguasai Bentoel.
Tak heran, ketika Transindo berhasil mengakuisisi dua perusahaan itu, orang
mengaitkannya dengan Soros. Meski pada kenyataannya Bentoel diambil oleh
Transindo, tapi orang tetap melihat ada jejak-jejak Soros di sini.
Bagaimana alur penguasaan itu
berjalan? Rencana pengalihan saham dua perusahaan itu diawali dengan right
issue senilai Rp 349,13 miliar lembar. Sebesar Rp 315 miliar digunakan untuk mengakuisisi
saham Bentoel dan sisanya Rp 35 miliar untuk saham Lestari.
Dalam aksi itu, PT Bhakti
Investama bertindak sebagai pembeli siaga. Kita tahu, Bhakti inilah yang
menjadi jembatan petualangan Soros. Sudah bukan rahasia lagi kalau Soros telah
mengantongi 14,5 persen saham Bhakti, sebagaimana diakui sang dirut Bambang
Harry Tanoesoedibjo.
Apakah Soros mengambil bagian
selaku pembeli siaga? Harry tidak membantah kemungkinan itu. "Yang jelas,
di belakang kami ada banyak investor asing, termasuk Soros. Tidak tertutup
kemungkinan Soros mengambil bagian dalam tanggung jawab kami sebagai pembeli
siaga," ujar
Harry, diplomatis. Bhakti yang
menjadi mitra Soros di Indonesia tampaknya punya kepentingan
yang serius di balik cerita kodok
memangsa gajah itu. Paling tidak, rapat pemegang saham telah menempatkan Harry
di posisi presiden komisaris. Adik kandung Harry, Rudy Tanoesoedibjo menempati
posisi wakil presiden direktur.
Jauh-jauh hari, Harry telah
menegaskan, Bhakti Investama memang sedang diarahkan untuk menjadi perusahaan
investasi. Sinyalemen yang lebih seru mengatakan, Bentoel International
Investama bakal jadi anak perusahaan Bhakti Investama. Ini klop dengan rencana
Harry untuk menjadikan Bhakti sebagai perusahaan investasi. Benarkah demikian?
Harry tak mau berkomentar. Sinyalemen keberadaan si raja portofolio di balik
akuisisi itu pun makin kuat.
PT Bentoel Prima (BP)
sesungguhnya merupakan salah satu anak perusahaan obligor kakap Grup Rajawali,
milik pengusaha Peter Sondakh. BP mengantongi kewajiban senilai Rp 214,29
miliar dari total utang macet Rp 2,14 triliun. Celakanya, pemegang saham
mayoritas atas nama PT Amanat Surya Kudus juga terjerat petaka yang sama.
Perusahaan investasi ini masih harus berurusan dengan BPPN karena tunggakan
utang senilai Rp 8,20 miliar. Nilai akuisisi 75 persen saham Bentoel senilai Rp
315 miliar, paling tidak, bisa menutupi kewajiban dua perusahaan itu senilai Rp
222,49 miliar.
Selain berganti nama, Transindo
dikenal getol mengganti core business. Semula, dengan nama Rimba Niaga Idola,
perusahaan ini bergerak di bidang tekstil. Tahun 1997, perusahaan ini beralih
ke bisnis perdagangan umum dan namanya pun berganti menjadi Transindo Multi
Prima. Tak puas di bisnis ini, manajemen perusahaan melirik bisnis distribusi
rokok.
Dari sini pula Transindo menjadi
kendaraan beberapa pemodal untuk menguasai saham Bentoel Prima yang kebetulan
sedang punya problem keuangan. Namanya pun berganti menjadi Bentoel
International Investama. Nama Bentoel mengekspresikan peralihan konsentrasi
bisnis, sedangkan
investama, boleh jadi berkaitan
dengan kehadiran Bhakti Investama di sana.
Soal nama Bentoel yang
mendompleng, sempat mengundang perdebatan. "Praktik seperti itu, de facto
merupakan back door listing," ujar seorang analis asing. Hanya saja, itu
masih disiasati dengan penguasaan portofolio melalui perusahaan lain. Toh,
menurut dia, yang paling diandalkan adalah bisnis rokok. Sinyalemen lain
mengatakan, hal itu dilakukan untuk memuluskan niat Soros yang lebih tertarik
menguasai portofolio. Maksudnya, agar ada saluran lewat perusahaan publik.
Dengan begitu, bila kondisi kurang menguntungkan, saham akan bisa diguyur ke
pasar.
Skenario pembelian saham dua
perusahaan itu (Bentoel dan Lestariputra), sontak menggelembungkan kinerja
perseroan. Asetnya membengkak dari Rp 6,8 miliar (per Oktober 1999) menjadi Rp
1,38 triliun. Transindo mendadak jadi perusahaan besar. Bahkan aset PT
Lestariputra pun jauh mengungguli Transindo yakni sebesar Rp 99,11 miliar.
Selain memproduksi rokok, Bentoel
Prima masih memiliki beberapa divisi penunjang seperti pengemasan, printing
serta transportasi. Lestariputra pun masih di sektor yang sama dengan Bentoel.
Perusahaan ini memproduksi dan memperdagangkan rokok kretek. Salah satu merek
yang terkenal adalah Star Mild. Di bursa, sebelum rencana akuisisi itu
diembuskan, saham Transindo sesungguhnya tergolong tak aktif diperdagangkan.
Belakangan, pergerakan
saham ini tampak sangat tidak
wajar. Sejak November 1999 hingga 14 Januari 2000, saham ini sama sekali tak
diperdagangkan dan terpaku di posisi Rp 1.600 per lembar. Tak lebih sebulan
kemudian, tepatnya 8 Februari, harga sahamnya telah melambung ke posisi Rp
19.000 per lembar. Atas lonjakan dahsyat itu, Harry punya jawaban. "Ya,
kalau harga saham Gudang Garam bisa di angka belasan ribu, mengapa tidak untuk
Bentoel International Investama," ujar Harry Tanoesoedibjo, enteng.
Anehnya, belum juga berakhir
bulan Februari, pada tanggal 18 Februari 2000, saham ini telah terjerembab ke
posisi Rp 7.750 per lembar. Rupanya, tak mudah untuk menyaingi Gudang Garam.
Seorang analis mengatakan, upaya Bentoel International Investama menyaingi
harga saham Gudang Garam tak bakal terwujud. Selain size-nya kecil, pangsa
pasar Bentoel dan Star Mild jauh di bawah produk Gudang Garam. Apalagi, akuisisi
itu baru langkah awal untuk konsolidasi. Jadi, perusahaan ini masih harus
membuktikan dulu kinerjanya.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar