Rabu, 23 Januari 2013

Mengingat Jurus Kodok Telan Gajah Harry Tanoesoedibjo danYahudi George Soros Kuasai Bentoel


Jurnalis Independen: Gebrakan PT Transindo Multi Prima (TMP) mengakuisisi Bentoel Putra Prima bagaikan kodok yang melahap seekor gajah. Siapa di belakang sang kodok? Di alam nyata, kodok memang tak mungkin melahap gajah. Tapi, di dunia pasar modal analogi semacam itu bisa saja terjadi. Contohnya adalah apa yang terjadi pada akuisisi Bentoel Prima oleh PT Transindo Multi Prima.
Bayangkan, total aset TMP tak lebih dari Rp 7 miliar. Tapi, perusahaan ini bisa mengakuisisi Bentoel Prima yang beraset lebih dari Rp 1 triliun. "Itulah cerita kodok memakan gajah," ujar seorang investor, enteng.

Bagi investor di pasar modal, akuisisi seperti itu tidaklah terlalu merisaukan. Malah, mereka akan bersenang hati bila mendapat gain dari fluktuasi harga saham perseroan. Apalagi, diakui, tak banyak yang mampu melakukan itu. Praktik begini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
punya nyali besar dan kemampuan rekayasa finansial tinggi.

Gebrakan TMP tidak saja mengejutkan, tapi juga memunculkan tanda tanya. Bagaimana perusahaan yang tak terlalu diperhitungkan ini bisa melahap perusahaan yang jauh lebih besar. Dan, bukan hanya satu, tapi dua sekaligus. Selain Bentoel, TMP juga mengakuisisi PT Lestariputra Wirasejati (LW). Padahal, berdasarkan catatan keuangan per Oktober 1999, total aset TMP hanya Rp 6,84 miliar. Nilai aset ini jauh lebih kecil dari aset BP mencapai Rp 1,02 triliun dan aset LW sekitar Rp 99,11 miliar.

Bagaimanapun, pemegang saham Transindo telah menyetujui akuisisi saham Bentoel dan Lestariputra masing-masing 75 persen saham. Setelah akuisisi, nama Transindo Multi Prima lalu berubah menjadi Bentoel International Investama. Sebelumnya, santer diperdebatkan bahwa spekulan kelas kakap George Soros bakal menguasai Bentoel. Tak heran, ketika Transindo berhasil mengakuisisi dua perusahaan itu, orang mengaitkannya dengan Soros. Meski pada kenyataannya Bentoel diambil oleh Transindo, tapi orang tetap melihat ada jejak-jejak Soros di sini.

Bagaimana alur penguasaan itu berjalan? Rencana pengalihan saham dua perusahaan itu diawali dengan right issue senilai Rp 349,13 miliar lembar. Sebesar Rp 315 miliar digunakan untuk mengakuisisi saham Bentoel dan sisanya Rp 35 miliar untuk saham Lestari.

Dalam aksi itu, PT Bhakti Investama bertindak sebagai pembeli siaga. Kita tahu, Bhakti inilah yang menjadi jembatan petualangan Soros. Sudah bukan rahasia lagi kalau Soros telah mengantongi 14,5 persen saham Bhakti, sebagaimana diakui sang dirut Bambang Harry Tanoesoedibjo.

Apakah Soros mengambil bagian selaku pembeli siaga? Harry tidak membantah kemungkinan itu. "Yang jelas, di belakang kami ada banyak investor asing, termasuk Soros. Tidak tertutup kemungkinan Soros mengambil bagian dalam tanggung jawab kami sebagai pembeli siaga," ujar
Harry, diplomatis. Bhakti yang menjadi mitra Soros di Indonesia tampaknya punya kepentingan
yang serius di balik cerita kodok memangsa gajah itu. Paling tidak, rapat pemegang saham telah menempatkan Harry di posisi presiden komisaris. Adik kandung Harry, Rudy Tanoesoedibjo menempati posisi wakil presiden direktur.

Jauh-jauh hari, Harry telah menegaskan, Bhakti Investama memang sedang diarahkan untuk menjadi perusahaan investasi. Sinyalemen yang lebih seru mengatakan, Bentoel International Investama bakal jadi anak perusahaan Bhakti Investama. Ini klop dengan rencana Harry untuk menjadikan Bhakti sebagai perusahaan investasi. Benarkah demikian? Harry tak mau berkomentar. Sinyalemen keberadaan si raja portofolio di balik akuisisi itu pun makin kuat.
PT Bentoel Prima (BP) sesungguhnya merupakan salah satu anak perusahaan obligor kakap Grup Rajawali, milik pengusaha Peter Sondakh. BP mengantongi kewajiban senilai Rp 214,29 miliar dari total utang macet Rp 2,14 triliun. Celakanya, pemegang saham mayoritas atas nama PT Amanat Surya Kudus juga terjerat petaka yang sama. Perusahaan investasi ini masih harus berurusan dengan BPPN karena tunggakan utang senilai Rp 8,20 miliar. Nilai akuisisi 75 persen saham Bentoel senilai Rp 315 miliar, paling tidak, bisa menutupi kewajiban dua perusahaan itu senilai Rp 222,49 miliar.

Selain berganti nama, Transindo dikenal getol mengganti core business. Semula, dengan nama Rimba Niaga Idola, perusahaan ini bergerak di bidang tekstil. Tahun 1997, perusahaan ini beralih ke bisnis perdagangan umum dan namanya pun berganti menjadi Transindo Multi Prima. Tak puas di bisnis ini, manajemen perusahaan melirik bisnis distribusi rokok.

Dari sini pula Transindo menjadi kendaraan beberapa pemodal untuk menguasai saham Bentoel Prima yang kebetulan sedang punya problem keuangan. Namanya pun berganti menjadi Bentoel International Investama. Nama Bentoel mengekspresikan peralihan konsentrasi bisnis, sedangkan
investama, boleh jadi berkaitan dengan kehadiran Bhakti Investama di sana.

Soal nama Bentoel yang mendompleng, sempat mengundang perdebatan. "Praktik seperti itu, de facto merupakan back door listing," ujar seorang analis asing. Hanya saja, itu masih disiasati dengan penguasaan portofolio melalui perusahaan lain. Toh, menurut dia, yang paling diandalkan adalah bisnis rokok. Sinyalemen lain mengatakan, hal itu dilakukan untuk memuluskan niat Soros yang lebih tertarik menguasai portofolio. Maksudnya, agar ada saluran lewat perusahaan publik. Dengan begitu, bila kondisi kurang menguntungkan, saham akan bisa diguyur ke pasar.

Skenario pembelian saham dua perusahaan itu (Bentoel dan Lestariputra), sontak menggelembungkan kinerja perseroan. Asetnya membengkak dari Rp 6,8 miliar (per Oktober 1999) menjadi Rp 1,38 triliun. Transindo mendadak jadi perusahaan besar. Bahkan aset PT Lestariputra pun jauh mengungguli Transindo yakni sebesar Rp 99,11 miliar.

Selain memproduksi rokok, Bentoel Prima masih memiliki beberapa divisi penunjang seperti pengemasan, printing serta transportasi. Lestariputra pun masih di sektor yang sama dengan Bentoel. Perusahaan ini memproduksi dan memperdagangkan rokok kretek. Salah satu merek yang terkenal adalah Star Mild. Di bursa, sebelum rencana akuisisi itu diembuskan, saham Transindo sesungguhnya tergolong tak aktif diperdagangkan. Belakangan, pergerakan
saham ini tampak sangat tidak wajar. Sejak November 1999 hingga 14 Januari 2000, saham ini sama sekali tak diperdagangkan dan terpaku di posisi Rp 1.600 per lembar. Tak lebih sebulan kemudian, tepatnya 8 Februari, harga sahamnya telah melambung ke posisi Rp 19.000 per lembar. Atas lonjakan dahsyat itu, Harry punya jawaban. "Ya, kalau harga saham Gudang Garam bisa di angka belasan ribu, mengapa tidak untuk Bentoel International Investama," ujar Harry Tanoesoedibjo, enteng.

Anehnya, belum juga berakhir bulan Februari, pada tanggal 18 Februari 2000, saham ini telah terjerembab ke posisi Rp 7.750 per lembar. Rupanya, tak mudah untuk menyaingi Gudang Garam. Seorang analis mengatakan, upaya Bentoel International Investama menyaingi harga saham Gudang Garam tak bakal terwujud. Selain size-nya kecil, pangsa pasar Bentoel dan Star Mild jauh di bawah produk Gudang Garam. Apalagi, akuisisi itu baru langkah awal untuk konsolidasi. Jadi, perusahaan ini masih harus membuktikan dulu kinerjanya.@

Tidak ada komentar: