Bertemu
Putri Kerajaan dan Panglima Aul Siluman Rawa Onom
"Bendara,
jangan sembarangan membunuh!" teriak Lendra menepuk paha kuda yang
ditunggangi majikannya sehingga kuda itu sedikit melonjak. Panah yang sudah
dipasang di busur melesat jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu
oleh lonjakan kaki kuda.
"Kau mengigau, Jendra
..." gumam R Bratanagara namun sambil sedikit melamun. Lendra tak
memperhatikan omongan tuannya, sebab dia lebih tertarik kepada cekikikan
belasan gadis cantik yang tengah mempermainkan kuda-kuda milik rombongan.
Kuda-kuda itu ada yang diganggu hidungnya dengan ujung rumput. Ada juga yang
digelitik pantatnya oleh ujung ranting. Jadi pantas kalau kuda-kuda itu banyak
yang meronta-ronta karena geli dan kaget. Itu pula yang membuat Lendra tertawa
karena baginya itu adalah pandangan sangat lucu. Apalagi para gadis pengganggu
itu, selain usianya nampak masih muda-muda, juga ratarata punya kecantikan yang
sangat khas dibandingkan dengan gadis-gadis di dusun sekitar Kewedanaan Rancah.
Tubuh mereka molek-molek dan
kulitnya putih dan halus. Mereka berpakaian kebaya warna hitam dan kain hitam
pula. Beberapa di antaranya sengaja menggeraikan rambutnya sebatas pinggul.
Jadi sementara mereka meloncat kesana-kemari untuk mempermainkan kuda milik
rombongan, rambut terurai panjang itu bergerak bergelombang.
Selesai mempermainkan kuda,
rombongan para gadis belia ini segera berlarian sambil tertawa cekikikan.
Ketika itu pulalah, terdengar suara Bendara Wedana Bratanagara untuk melakukan
pengejaran. Lendra merasa heran, mengapa rombongan para gadis itu musti
dikejar. Keheranannya bahkan tergantikan oleh rasa kaget manakala Bendara
Wedana mencabut busur dan melakukan ancang-ancang untuk melepas anak-panah.
Lendra panik. Benarkah majikannya akan melakukan kekejaman, membunuh rombongan
gadis-gadis itu dengan anakpanah?
"Bendara, jangan sembarangan
membunuh!" teriak Jendra menepuk paha kuda yang ditunggangi majikannya
sehingga kuda itu sedikit melonjak. Panah yang sudah dipasang di busur melesat
jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu oleh lonjakan kaki kuda.
"Engkau gila, Jendra!" teriak Bendara Wedana gusar. "Lihat,
buruan kita kabur ke daerah rawa! " kata Bendara Wedana gemas. Lendra
memindahkan pandangannya ke arah tempat yang ditampilkan oleh majikannya.
Dengan amat jelas, pemuda itu
melihat, betapa beberapa ekor Menjangan berlarian ke semak-semak berawa. Dan
semakin menghilang sementara Akses daerah rimbun dan gelap oleh pepohonan.
Namun Bendara Wedana tak sempat memarahi Jendra sebab ia sudah menginstruksikan
anak-panahnya ke sebuah sasaran. Jendra kembali merasa kaget, sebab dilihatnya
di ujung sana ada seorang gadis berlari lamban mengikuti arah Menjangan dan akan
jadi sasaran panah. Sebelum Jendra mencegahnya, anak-panah sudah dilepas oleh
Bendara Wedana. "Crep ..." anak-panah menancap di bahu gadis itu.
Gadis itu terjatuh. Bendara
Wedana memerintahkan pegawainya untuk ramai-ramai memburu tangkapannya. Namun
sebelum mereka sampai, gadis malang itu sudah terbangun dan dengan
terhuyung-huyung mencoba menjauhkan diri. Dia segera masuk ke kegelapan
rimbunnya hutan.
"Cepat susul! susul!"
teriak Bendara Wedana. Yang diperintahkan ternyata tak berani masuk ke semak
belukar yang gelap-pekat. Kata Mang Sajum, di daerah berhutan itu ada banyak
rawa dengan kedalaman amat tinggi. "Bila membenamkan sebatang bambu
Gombong, maka bambu itu lenyap saking dalamnya dasar rawa ... " katanya
memperingatkan R.Bratanagara. "Biar saya yang susul ..." kata Jendra
menerima perintah majikannya. "Ya. Tapi hati-hatilah!" sahut Bendara
Wedana.
Jendra menyanggupi perintah,
sebab dia khawatir akan nasib gadis malang itu. Makanya, tanpa memperhitungkan
bahaya yang disebutkan Mang Sajum, dia mau menerima tugas itu. Tanpa ragu-ragu,
Jendra meloncat ke semak-semak, lantas masuk ke wilayah hutan. Namun setelah
melangkah beberapa saat, Jendra berkata sendirian bahwa ucapan Mang Sajum
ternyata bohong. Di daerah ini tak ada rawa. Bahkan tanahnya subur dengan
hamparan rumput hijau. Gelapnya pepohonan pun hanya ada di sisi-sisinya saja,
sebab semakin Jendra berjalan ke tengah, suasana semakin lapang dan terkesan
asri. Jendra akan betah tinggal di sana kalau saja dia tak mendengar suara
erangan halus di sudut rumpunrumpun. Dan sementara dia tiba di tempat itu,
seorang gadis tengah telungkup dengan anakpanah menancap di bahunya.
"Tenanglah ... biar saya
menolongmu, Nyai ..." kata Jendra menghampiri gadis itu. Untung saja,
anak-panah tidak tepat menancap, hanya menoreh sisi bahu. Kendati darah
bercucuran tapi rupanya nyawa gadis itu masih bisa ditolong.
Dengan pelahan, Jendra mencoba
menarik ujung anak-panah. Anak-panah sudah tercerabut namun matanya mengait di
kain kebaya gadis itu dan susah melepasnya. "Nyai ... rupanya mata kail
itu mengait pada kebayamu ..." gumam Jendra. "Robek saja pakaianku,
Kang ..." jawab gadis itu tanpa ragu. Justru yang meragu adalah Jendra.
Bagaimana mungkin dia segera merobeki kebaya gadis itu. Kalau dipaksakan,
punggung gadis itu akan telanjang. Rupanya gadis itu mengerti akan keraguan Jendra.
Buktinya dia tetap berkata. "Jangan pakai basa-basi. Kalau mau nolong,
tolonglah segera! "Katanya setengah memaki akan keraguan Jendra.
Akhirnya dengan dada berdebar,
pemuda itu merobek kebaya gadis itu tepat di bagian punggungnya. Setiap
terdengar suara kain terobek, setiap itu pula dada Jendra berdegup kencang.
Bagaimana tak begitu sebab setiap kain terobek, semakin terlihat kulit punggung
gadis itu yang putih halus. Dan tangan Jendra bergetar seperti mendadak kena
demam sedangkan tangannya sempat bersentuhan dengan kulit punggung gadis itu.
Akhirnya anakpanah terlepas sudah
dari sobekan kain kebaya. Sang gadis masih tetap tertelungkup dan sang pemuda
masih tetap terdiam memperhatikan kemulusan punggung gadis itu. "Apakah
aku akan kau diamkan terus begini, Kang?" Jendra terkesiap malu sementara
gadis itu menegurnya. tololnya aku. Mengapa membiarkan gadis itu dengan
lukanya, sementara mataku melotot saja melihat kemolekan tubuh itu, tutur hati
Jendra sebal terhadap dirinya.
Setelah menyadari akan hal ini,
maka Jendra segera berjingkat dan berlari kesana-kemari mencari dedaunan yang
bisa dipakai penawar luka. Kebetulan di sebuah gundukan rumpun ada sejumput
pohon sirih . "Ini akan saya tempelkan tumpukan daun sirih agar lukamu tak
terus mengeluarkan darah ... " kata Jendra setelah mengunyah daun sirih
dan ditempelkannya ke bagian luka di punggung gadis itu. Beberapa saat
terdengar erangan halus gadis itu, namun Jendra terus mencobanya meenempelkan
obat itu. "Daun sirih ini terasa hangat, Kang ..." kata gadis itu
lirih. "Memang, daun sirih itu punya rasa hangat." "Maksudku,
ada kehangatan yang khas. Barangkali karena lama terkulum di mulutmu, Kang ...
"gadis itu menegaskan maksud kata-katanya, membuat wajah Jendra menjadi
merah. "Maafkan saya, Nyai. Daun sirih itu memang lama saya kunyah ...
" kata Jendra menunduk malu.
Terdengar suara tawa lirih dari
gadis itu. Serta-merta gadis itu bangun dan duduk seraya membalikkan tubuhnya
menghadap ke arah Jendra. Untuk kedua kalinya dada pemuda itu berdebar kencang.
Betapa tak begitu, sebab dada bagian atas gadis itu sedikit terbuka karena
kebayanya yang tercamping-camping tadi. Gadis itu sadar akan posisinya, maka
sepasang tangannya yang mungil halus segera melindungi sepasang buah dadanya
yang ranum. Jendra bergetar malu. Dia menunduk lama-lama. Lama
saling berdiam diri, Akhirnya Jendra
berani buka percakapan. "Mari ku antar ke rumahmu, Nyai ..." katanya
bangun dari duduknya. "Tidak perlu. Di saat suasana tak aman seperti ini,
orang asing akan dicuriga masuk ke kampung kami. " "Tidak aman?"
"Ya, engkau pulanglah dulu. Lain kali kita bertemu lagi, "sahut gadis
itu sama-sama bangkit dari duduknya. "Maafkan kesalahan kami ..."
gumam Jendra kembali menunduk.
"Mengapa engkau minta maaf ?
Engkau bukan kelompok mereka, Kang. Asalkan engkau tak ikut-campur terhadap
permasalahan yang tengah kami hadapi, maka kau tak punya salah apapun ...
"kata gadis itu membingungkan perasaan Jendra. "Nyai ... engkau
terluka oleh panah yang dilepas majikan saya, "kata Jendra mengaku
terusterang.
"Apakah kau salah seorang
ponggawa dari Kerajaan Galuh?" tanya gadis itu menatap curiga. "Pemerintah
Galuh? Saya ini wong Dermayu. Majikan saya adalah Bendara Wedana Rancah, namanya
Raden Bratanagara, "kata Jendra sambil seterusnya bertanya mengapa gadis
itu menganggap dia orang Galuh.
"Kami tengah bercengkrama
dengan para gadis di kampung ini. Lalu datang serangan dari para Prajurit
Kerajaan Galuh. Kami dikejar hendak ditangkap, "tutur gadis manis
berlesung pipit ini amat membingungkan Jendra.
"Sudahlah. Kau kembalilah ke
kampung halamanmu, sebab teman-temanmu pasti menunggu lama. Tapi kalau kau
kembali nanti, ingat-ingat, jangan tengok ke belakang. Paham? "Kata gadis
itu. Setelah berpesan seperti itu, gadis itu melangkah pergi. Jendra terpana
dan mencoba menahannya. "Namaku Nyai Indangwati. Nanti kita bertemu lagi,
ya? " Gadis Indangwati berlari-lari kecil menjauhi Jendra dan menghilang
di kelokan jalan setapak. Tinggallah Jendra mematung seorang diri. Sukma pemuda
itu seperti terbetot ikut berlari kesana. Yang dia bayangkan adalah ikut
lari-lari kecil di jalan setapak berhamparan lumut tebal sambil bergandengan
tangan dengan ... siapa nama gadis itu? Oh, ya, Nyi Indangwati. Tapi dari
kampung mana Nyi Indangwati? Ah, tololnya aku. Mengapa tak aku tanya sekalian
alamatnya, tutur hati Jendra dengan penuh sesal dan penasaran.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar