Minggu, 27 Januari 2013

Siluman Rawa Onom Pulau Majeti (2)


Bertemu Putri Kerajaan dan Panglima Aul Siluman Rawa Onom

"Bendara, jangan sembarangan membunuh!" teriak Lendra menepuk paha kuda yang ditunggangi majikannya sehingga kuda itu sedikit melonjak. Panah yang sudah dipasang di busur melesat jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu oleh lonjakan kaki kuda.


"Kau mengigau, Jendra ..." gumam R Bratanagara namun sambil sedikit melamun. Lendra tak memperhatikan omongan tuannya, sebab dia lebih tertarik kepada cekikikan belasan gadis cantik yang tengah mempermainkan kuda-kuda milik rombongan. Kuda-kuda itu ada yang diganggu hidungnya dengan ujung rumput. Ada juga yang digelitik pantatnya oleh ujung ranting. Jadi pantas kalau kuda-kuda itu banyak yang meronta-ronta karena geli dan kaget. Itu pula yang membuat Lendra tertawa karena baginya itu adalah pandangan sangat lucu. Apalagi para gadis pengganggu itu, selain usianya nampak masih muda-muda, juga ratarata punya kecantikan yang sangat khas dibandingkan dengan gadis-gadis di dusun sekitar Kewedanaan Rancah.

Tubuh mereka molek-molek dan kulitnya putih dan halus. Mereka berpakaian kebaya warna hitam dan kain hitam pula. Beberapa di antaranya sengaja menggeraikan rambutnya sebatas pinggul. Jadi sementara mereka meloncat kesana-kemari untuk mempermainkan kuda milik rombongan, rambut terurai panjang itu bergerak bergelombang.

Selesai mempermainkan kuda, rombongan para gadis belia ini segera berlarian sambil tertawa cekikikan. Ketika itu pulalah, terdengar suara Bendara Wedana Bratanagara untuk melakukan pengejaran. Lendra merasa heran, mengapa rombongan para gadis itu musti dikejar. Keheranannya bahkan tergantikan oleh rasa kaget manakala Bendara Wedana mencabut busur dan melakukan ancang-ancang untuk melepas anak-panah. Lendra panik. Benarkah majikannya akan melakukan kekejaman, membunuh rombongan gadis-gadis itu dengan anakpanah?

"Bendara, jangan sembarangan membunuh!" teriak Jendra menepuk paha kuda yang ditunggangi majikannya sehingga kuda itu sedikit melonjak. Panah yang sudah dipasang di busur melesat jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu oleh lonjakan kaki kuda. "Engkau gila, Jendra!" teriak Bendara Wedana gusar. "Lihat, buruan kita kabur ke daerah rawa! " kata Bendara Wedana gemas. Lendra memindahkan pandangannya ke arah tempat yang ditampilkan oleh majikannya.

Dengan amat jelas, pemuda itu melihat, betapa beberapa ekor Menjangan berlarian ke semak-semak berawa. Dan semakin menghilang sementara Akses daerah rimbun dan gelap oleh pepohonan. Namun Bendara Wedana tak sempat memarahi Jendra sebab ia sudah menginstruksikan anak-panahnya ke sebuah sasaran. Jendra kembali merasa kaget, sebab dilihatnya di ujung sana ada seorang gadis berlari lamban mengikuti arah Menjangan dan akan jadi sasaran panah. Sebelum Jendra mencegahnya, anak-panah sudah dilepas oleh Bendara Wedana. "Crep ..." anak-panah menancap di bahu gadis itu.

Gadis itu terjatuh. Bendara Wedana memerintahkan pegawainya untuk ramai-ramai memburu tangkapannya. Namun sebelum mereka sampai, gadis malang itu sudah terbangun dan dengan terhuyung-huyung mencoba menjauhkan diri. Dia segera masuk ke kegelapan rimbunnya hutan.

"Cepat susul! susul!" teriak Bendara Wedana. Yang diperintahkan ternyata tak berani masuk ke semak belukar yang gelap-pekat. Kata Mang Sajum, di daerah berhutan itu ada banyak rawa dengan kedalaman amat tinggi. "Bila membenamkan sebatang bambu Gombong, maka bambu itu lenyap saking dalamnya dasar rawa ... " katanya memperingatkan R.Bratanagara. "Biar saya yang susul ..." kata Jendra menerima perintah majikannya. "Ya. Tapi hati-hatilah!" sahut Bendara Wedana.

Jendra menyanggupi perintah, sebab dia khawatir akan nasib gadis malang itu. Makanya, tanpa memperhitungkan bahaya yang disebutkan Mang Sajum, dia mau menerima tugas itu. Tanpa ragu-ragu, Jendra meloncat ke semak-semak, lantas masuk ke wilayah hutan. Namun setelah melangkah beberapa saat, Jendra berkata sendirian bahwa ucapan Mang Sajum ternyata bohong. Di daerah ini tak ada rawa. Bahkan tanahnya subur dengan hamparan rumput hijau. Gelapnya pepohonan pun hanya ada di sisi-sisinya saja, sebab semakin Jendra berjalan ke tengah, suasana semakin lapang dan terkesan asri. Jendra akan betah tinggal di sana kalau saja dia tak mendengar suara erangan halus di sudut rumpunrumpun. Dan sementara dia tiba di tempat itu, seorang gadis tengah telungkup dengan anakpanah menancap di bahunya.

"Tenanglah ... biar saya menolongmu, Nyai ..." kata Jendra menghampiri gadis itu. Untung saja, anak-panah tidak tepat menancap, hanya menoreh sisi bahu. Kendati darah bercucuran tapi rupanya nyawa gadis itu masih bisa ditolong.

Dengan pelahan, Jendra mencoba menarik ujung anak-panah. Anak-panah sudah tercerabut namun matanya mengait di kain kebaya gadis itu dan susah melepasnya. "Nyai ... rupanya mata kail itu mengait pada kebayamu ..." gumam Jendra. "Robek saja pakaianku, Kang ..." jawab gadis itu tanpa ragu. Justru yang meragu adalah Jendra. Bagaimana mungkin dia segera merobeki kebaya gadis itu. Kalau dipaksakan, punggung gadis itu akan telanjang. Rupanya gadis itu mengerti akan keraguan Jendra. Buktinya dia tetap berkata. "Jangan pakai basa-basi. Kalau mau nolong, tolonglah segera! "Katanya setengah memaki akan keraguan Jendra.

Akhirnya dengan dada berdebar, pemuda itu merobek kebaya gadis itu tepat di bagian punggungnya. Setiap terdengar suara kain terobek, setiap itu pula dada Jendra berdegup kencang. Bagaimana tak begitu sebab setiap kain terobek, semakin terlihat kulit punggung gadis itu yang putih halus. Dan tangan Jendra bergetar seperti mendadak kena demam sedangkan tangannya sempat bersentuhan dengan kulit punggung gadis itu.

Akhirnya anakpanah terlepas sudah dari sobekan kain kebaya. Sang gadis masih tetap tertelungkup dan sang pemuda masih tetap terdiam memperhatikan kemulusan punggung gadis itu. "Apakah aku akan kau diamkan terus begini, Kang?" Jendra terkesiap malu sementara gadis itu menegurnya. tololnya aku. Mengapa membiarkan gadis itu dengan lukanya, sementara mataku melotot saja melihat kemolekan tubuh itu, tutur hati Jendra sebal terhadap dirinya.

Setelah menyadari akan hal ini, maka Jendra segera berjingkat dan berlari kesana-kemari mencari dedaunan yang bisa dipakai penawar luka. Kebetulan di sebuah gundukan rumpun ada sejumput pohon sirih . "Ini akan saya tempelkan tumpukan daun sirih agar lukamu tak terus mengeluarkan darah ... " kata Jendra setelah mengunyah daun sirih dan ditempelkannya ke bagian luka di punggung gadis itu. Beberapa saat terdengar erangan halus gadis itu, namun Jendra terus mencobanya meenempelkan obat itu. "Daun sirih ini terasa hangat, Kang ..." kata gadis itu lirih. "Memang, daun sirih itu punya rasa hangat." "Maksudku, ada kehangatan yang khas. Barangkali karena lama terkulum di mulutmu, Kang ... "gadis itu menegaskan maksud kata-katanya, membuat wajah Jendra menjadi merah. "Maafkan saya, Nyai. Daun sirih itu memang lama saya kunyah ... " kata Jendra menunduk malu.

Terdengar suara tawa lirih dari gadis itu. Serta-merta gadis itu bangun dan duduk seraya membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Jendra. Untuk kedua kalinya dada pemuda itu berdebar kencang. Betapa tak begitu, sebab dada bagian atas gadis itu sedikit terbuka karena kebayanya yang tercamping-camping tadi. Gadis itu sadar akan posisinya, maka sepasang tangannya yang mungil halus segera melindungi sepasang buah dadanya yang ranum. Jendra bergetar malu. Dia menunduk lama-lama. Lama

saling berdiam diri, Akhirnya Jendra berani buka percakapan. "Mari ku antar ke rumahmu, Nyai ..." katanya bangun dari duduknya. "Tidak perlu. Di saat suasana tak aman seperti ini, orang asing akan dicuriga masuk ke kampung kami. " "Tidak aman?" "Ya, engkau pulanglah dulu. Lain kali kita bertemu lagi, "sahut gadis itu sama-sama bangkit dari duduknya. "Maafkan kesalahan kami ..." gumam Jendra kembali menunduk.

"Mengapa engkau minta maaf ? Engkau bukan kelompok mereka, Kang. Asalkan engkau tak ikut-campur terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi, maka kau tak punya salah apapun ... "kata gadis itu membingungkan perasaan Jendra. "Nyai ... engkau terluka oleh panah yang dilepas majikan saya, "kata Jendra mengaku terusterang.

"Apakah kau salah seorang ponggawa dari Kerajaan Galuh?" tanya gadis itu menatap curiga. "Pemerintah Galuh? Saya ini wong Dermayu. Majikan saya adalah Bendara Wedana Rancah, namanya Raden Bratanagara, "kata Jendra sambil seterusnya bertanya mengapa gadis itu menganggap dia orang Galuh.

"Kami tengah bercengkrama dengan para gadis di kampung ini. Lalu datang serangan dari para Prajurit Kerajaan Galuh. Kami dikejar hendak ditangkap, "tutur gadis manis berlesung pipit ini amat membingungkan Jendra.

"Sudahlah. Kau kembalilah ke kampung halamanmu, sebab teman-temanmu pasti menunggu lama. Tapi kalau kau kembali nanti, ingat-ingat, jangan tengok ke belakang. Paham? "Kata gadis itu. Setelah berpesan seperti itu, gadis itu melangkah pergi. Jendra terpana dan mencoba menahannya. "Namaku Nyai Indangwati. Nanti kita bertemu lagi, ya? " Gadis Indangwati berlari-lari kecil menjauhi Jendra dan menghilang di kelokan jalan setapak. Tinggallah Jendra mematung seorang diri. Sukma pemuda itu seperti terbetot ikut berlari kesana. Yang dia bayangkan adalah ikut lari-lari kecil di jalan setapak berhamparan lumut tebal sambil bergandengan tangan dengan ... siapa nama gadis itu? Oh, ya, Nyi Indangwati. Tapi dari kampung mana Nyi Indangwati? Ah, tololnya aku. Mengapa tak aku tanya sekalian alamatnya, tutur hati Jendra dengan penuh sesal dan penasaran.@bersambung

Tidak ada komentar: