Jurnalis Independen: Gunung
Mujarod menyimpan banyak misteri karena gunung ini dikenal hanya oleh para Wali
khususnya di Indonesia. Jika gunung Mujarod memunculkan sinar terang benderang
itu artinya sebagai pertanda lahirnya sosok waliyulloh. Dan Wali Allah itu menyebarkan ajaran doktrin “martabat tujuh” yang
kelak mempengaruhi pemikiran Tasawuf di Pulau Jawa. Dan inilah kisah
sang wali yang dituturkan oleh Imam
Mudofar, seorang santri asal Jawa Barat.
Gunung Mujarod
adalah menyimpan banyak misteri karena gunung ini dikenal hanya oleh para Wali
khususnya di Indonesia. Jika gunung Mujarod memunculkan sinar terang benderang
itu artinya sebagai pertanda lahirnya sosok waliyulloh juru penyelamat di bumi
tanah Jawa.
Konon lebih dari
350 tahun yang lampau gunung ini raib dari pandangan mata manusia biasa,
seperti halnya cerita dari kisah perjalanan hidup Habib Muh, Tegal Rejo
Magelang Jateng, yang pernah kami ketahui sewaktu masih dipesantrennya pada
tahun 1987 lalu.
Beliau bercerita
bahwa dirinya pernah masuk kedalam goa Mujarod atas panggilan yang empunya
yaitu, Syekh Sanusi, disaat beliau kedapatan anugerah di syahid menjadi
Waliyulloh Abdal, pada tahun 1982 lalu, dan lewat kisahnya ini yang menyatakan
bahwa disaat beliau baru masuk kedalam goa tersebut, beliau langsung disambut
oleh ratusan kalajengking yang sangat besar. Masya Alloh!!! Yaitu berkisar 40
cm.
Bukan hanya
sebatas itu saja beliau di uji dalam keyakinannya saat berada di dalam goa Mujarod,
beliau juga sempat melihat secara mata telanjang, beberapa ekor ular raksasa
yang besarnya melebihi badan mobil siap menghadangnya.
Dan ini bersifat
riil bukan hanya sekedar fatamorgana dari sifat lelembut atau binatang jejadian
yang hanya sekilas pandang. Sebab semua binatang yang telah mendiami gunung
tadi telah berusia lebih dari ratusan tahun dan tidak pernah terusik oleh
manusi yang berani masuk. Terangnya.
Juga kisah yang
pernah dialami oleh Habib Nur Ali yang pernah masuk kedalamnya disaat mendapat
panggilan dari Syekh Sanusi atas pengangkatan dirinya sebagai Waliyulloh bangsa
Rijal.
Beliau bercerita
"Tidak ada syafaat yang lebih besar di seluruh wilayah yang ada di
Indonesia ini kecuali goa gunung Mujarod. Dan tidak ada suatu pengangkatan
waliyulloh yang diakui oleh wali lainnya kecuali lewat tangan Syekh Sanusi
sendiri sebagai makom tertinggi yang telah mendapatkan kefadholan dari Alloh
SWT, dengan diberikannya umur panjang sampai hari kiamat tiba karena
kemustajabahan air Mujarod yang dimilikinya dan tidak ada satupun wali di dunia
ini yang tidak butuh rohmatnya, karena sesungguhnya beliau tercipta sebagai
raja dari semua waliyulloh"
"Jangan
sesekali masuk kedalamnya sebelum yang empunya datang sendiri memanggil anda,
sebab lebih dari seabad yang lalu para manusia yang mengaku dirinya ahli bathin
tinggi, lebih dari 77 orang telah raib dan tidak bisa diketahui jasad dan
rimbanya". Lanjutnya.
Dari beberapa
kisah yang pernah dituturkan oleh para masyaikh ini membuat siapapun yang
mendengar akan bergidik dan berfikir seratus kali untuk bisa masuk kedalam goa
Gunung Mujarod yang penuh akan karomah juga sebaliknya penuh misteri yang
sangat mengerikan.
Mungkin pembaca
sekalian masih bertanya dengan kisah ini, sebenarnya dimana letak sesungguhnya goa
Gunung Mujarod tersebut?
Menurut cerita
para masyaikh tadi bahwa, gunung Mujarod ini terletak disalah satu areal
pesarean Ki Muhyi Pamijahan atau yang dikenal dengan Syekh Abdul Muhyi, Tasik,
Jawa Barat yang sangat kondang akan derajat kewaliyannya dan banyak diziarohi
oleh berbagai lapisan masyarakat lokal maupun dari manca negara.
Namun bila anda
pernah datang ke sana dan membeli buku sejarah yang banyak dijual bebas di
sepanjang toko kaki lima seputar areal pesarean Ki Muhyi Pamijahan, dengan
judul bukunya "Sejarah perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyulloh
Pamijahan" yang di tulis oleh, Drs, H. AA. Khaerussalam, disitu tidak
dituliskan sama sekali tentang letak goa gunung Mujarod yang membawa banyak
rohmat dan maghfiroh untuk seluruh pengangkatan waliyulloh sedunia.
Mungkin bisa
jadi mereka memandangnya tidak perlu membesarkan nama dan letak goa Mujarod,
yang dianggapnya tidak menguntungkan sama sekali dari pihak peziarah atau tidak
bisa di komersilkan, alasannya keluarga mereka juga tidak ada yang berani
sampai masuk kedalamnya, sehingga dengan ini pula para keturunannya tidak
sampai mencantumkan perihal goa gunung Mujarod yang sebenarnya.
Nah, dari kisah
ini pula diawal bulan Syawal 1429,H, lalu, guruku mengundangku yang intinya
menyuruh Saya datang ke goa gunung Mujarod, karena sebuah panggilan darinya (Syekh
Sanusi).
Seperti
hallintar menyambar disiang bolong, hatiku kaget dan langsung bergetar keras
mendengar apa yang barusan di ucapkan oleh guruku tadi, siapa yang tidak takut
dengan nama goa gunung Mujarod yang penuh dengan kengerian dan fenomena gaib
yang bisa membawa badan kita seketika raib disaat baru masuk kedalamnya.
Namun sepertinya
guruku tidak mau ambil pusing dan mengharuskan aku secepatnya datang ke sana.
"Ini perintahnya dan bukan kamu yang pinta, lakukan apa yang aku ucapkan"
kata sang guru dengan tegas.
Sepulang dari
kediaman sang guru hatiku terus bergemuruh antara siap dan tidak, untuk sampai
bisa melaksanakan datang ke goa gunung Mujarod dan mulai hari itu pula aku
diwajibkan puasa sampai hatiku benar benar merasa tenang dan siap dengan segala
keyakinannya untuk sampai datang ke goa gunung Mujarod.
Setengah bulan
telah berlalu, hatiku semakin mantap untuk sesegera mungkin melaksanakan tugas
mulia yang di embankan oleh sang guru, dan tanpa menunggu waktu lebih lama lagi
akupun langsung pamit minta restunya.
Namun sebelum
keberangkatanku ke gunung goa Mujarod, guruku langsung mengijazahkan amaliyah
khususiah yaitu berupa, Hizib Jabarut dan
Uluhiyyah, "Bawalah santrimu
yang banyak untuk mendampingimu sampai tujuan dan pilihlah mereka yang hatinya
telah memahami keikhlasan," dan setelah itu beliau juga memberikan
beberapa tata cara dan kunci disaat akan masuk ke goa gunung Mujarod, yang
intinya agar selamat dari segala binatang buas dan bangsa lelembut yang sengaja
menghadang dan menyesatkan perjalanan mulia ini.
Selepas dari
sang guru, aku langsung mengumpulkan beberapa teman Jam’ul Ijazah yang akan
mendampingi pemberangkatanku nanti dan ternyata tidak semua Jam’ul Ijazah masuk
dalam kategori yang aku inginkan, sehingga waktu itu hanya 15 orang saja yang
aku bawa ikut serta.
Sampailah kita
semua didepan pintu goa gunung Mujarod, lewat panduan dari salah satu
kepercayaan santri sang guru. Ternyata apa yang aku takutkan selama ini tidak
sampai terjadi, sebab goa yang semestinya gelap gulita itu ternyata terang
benderang karena ternyata didalamnya sudah lebih dulu ada dua orang sebelum
golongan kita datang, dua orang ini berbadan tinggi besar dan sepertinya bukan
dari bangsa kita, keduanya memakai pakaian dan sorban serba putih yang disaat
kita masuk keduanya menutup wajahnya dengan sorban yang dipakainya.
Nah, dari sorban
merekalah cahaya terang benderang itu berasal, sehingga dengan pancaran sinar
yang teramat terang ini kita semua akhirnya bisa melihat seisi ruangan goa yang
ternyata semuanya terbuat dari marmer asli.
Namun
sebelumnya, aku mohon maaf kepada pembaca sekalian, karena tidak bisa
menceritakan secara keseluruhan apa yang terjadi didalam goa tersebut sebab
bersifat sirri atau rahasia, hanya saja di dalam goa tersebut banyak fenomena
dan keganjilan yang tidak masuk diakal yang kami rasakan secara nyata, sehingga
semua yang ikut serta masuk ikut pula menyaksikannya secara takjub dan ajib
yang mungkin menurut mereka tidak bisa hilang dari ingatannya selama umur masih
dikandung badan.
Mustika
Hut
Kami lanjutkan
lagi ke cerita seputar dunia mistik yang aku peroleh. Lewat panduan sang guru
yang telah diajarkan padaku, alhamdulillah akhirnya kita semua selamat dan bisa
pulang kembali tanpa sedikitpun ada kendala, walau dalam perjuangan yang
sebenarnya penuh haru dan tangisan bahagia yang tidak bisa dilukiskan oleh
bentuk apapun juga.
Dari kisah
inilah alhamdulillah aku sempat bertemu dengan sosok yang selama ini kami cari
dan sempat pula mencium tangannya, yaitu, Sulthonul Bahri atau penjaga laut
sedunia, Nabiyulloh Hidir AS, dan demi tulisan ini pula kami sempatkan untuk
berkata, Demi Alloh, demi Alloh, demi Alloh, apa yang aku dapatkan selama ini
adalah barang terbaik yang aku miliki, yaitu, mustika Hut Nabiyulloh Yunus As,
atau mustika ikan hutt sewaktu Nabiyulloh Yunus As, dalam perut ikan Hut selama
41 hari lamanya (secara hikayat yang tercantum dalam Al Quran atau tafsirnya).
Sebelum sampai
di penghujung cerita, saya atas nama pribadi mohon maaf yang sebesarnya apabila
ulasan ini terlalu fulgar dan sangat transparan. Bukan maksud menggurui
siapapun, kami hanya ingin menceritakan yang sebenarnya atas apa yang pernah
aku peroleh sewaktu datang kedalam goa gunung Mujarod yang sangat membawa
pengaruh besar bagi umat manusia, wabil khusus tentang perputaran zaman yang
selalu ditandai beragam fenomena langka yang selalu diawali dari karomah gunung
Mujarod.
Tentunya bagi
para ahlillah dan ahli bathin khosois lainya, tidak ada yang tidak paham
tentang siapa jati diri, Syekh Sanusi sesungguhnya dan apa pula yang dimaksud
dari maul Mujarod yang disebut sebagai keluhuran derajat seluruh desa
Pamijahan, juga bagaimana Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, sampai bisa datang dari
negaranya, Bagdad, hanya sekedar ingin disyahkan derajat kewaliyannya, sehingga
beliau mau sampai berlama menetap di daerah Pamijahan sebagai muridnya.
Kini koleksi
dari Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, masih bisa anda nikmati disalah satu areal
Pamijahan, yaitu goa Safar Wadi, yang telah dibuatnya sendiri, bahkan dalam
sejarah Wali Songo goa ini sempat dijadikan tempat bermusyawarohnya para
waliyulloh. Semoga kisah ini membawa rohmat bagi para pemimpin bangsa dan
selebihnya untuk keselamatan seluruh umat pada umumnya.
Bagi yang
penasaran dengan letak goa gunung Mujarod yang konon tidak ada dalam daftar
peta maupun buku panduan, Saya akan sedikit memberi jalan kepada anda sekalian.
Apabila anda sudah pernah ke goa Safar Wadi, tentunya anda juga tahu betul akan
jalan lurus yang sebelumnya belok ke kanan sebelum arah menuju goa Safar Wadi.
ah, kalau goa
gunung Mujarod sendiri belok ke kiri dan berlawanan arah dengan jalan menuju goa
Safar wadi, yaitu naik ke atas bukit lewat jalan setapak yang sama sekali tidak
pernah dijamah oleh kaki manusia.
Apabila kita sudah
sampai kesebuah bukit paling atas, berputarlah kearah kanan dan nanti disitu
ada sebuah jurang yang sangat dalam, masuklah dengan jalan agak merangkak
karena sangat licin dan juga terjal, turunlah sampai mentok kesebuah cadas
berair, disitu anda bisa melihatnya secara jelas sebuah mulut goa kecil yang
bila anda melihat kedalamnya tidak akan tembus pandang karena terlalu gelap.
Berhati hatilah
bagi yang kurang persiapan mental, karena anda akan di sambut saat akan masuk goa
oleh beberapa kalajengking raksasa dengan panjang berkisar antara 30 sampai 40
cm. semoga pembaca puas adanya.
Ajaran
dan Karamah
Selain menjadi
Mursyid Tarekat Syattariyyah, Syekh Abdul Muhyi juga mengajarkan Tarekat
Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah – beliau menulis risalah Tarekat ini yang
berjudul Kitab Tariqah Qadriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Sebagaimana
Mursyid Tarekat pada umumnya, Syekh Abdul Muhyi mementingkan penanaman zikir,
agar tidak sekedar lisan, tetapi juga merasuk dan tertanam kuat dalam hati.
Syekh Abdul Muhyi menyebutkan tujuh prinsip perjalanan spiritual yang
didasarkan pada zikir kalimat Tauhid.
Pertama adalah
mendekatkan diri secara lahir dan batin. Kedua adalah mengisi lathaif (organ
batin) dengan kalimat laa ilaha illa Allah. Ketiga adalah menyatukan
penglihatan mata batin dengan “rasa” Tuhan.
Selalu menyadari
kekuasaan, otoritas dan kekekalan Allah. Unsur indera jasmani harus bersatu
dengan indera ruhani dan hati. Keempat adalah menyatukan kalimat thayyibah
dengan diri keseluruhan: indera, pikiran, perasaan, hati. Kelima adalah
mengaktualkan kalimat thayyibah dalam perbuatan, yakni mempraktikkannya secara
rinci. Ada empat modal utama dalam hal ini, yakni yakin, iman, islam dan sabar.
Keenam adalah menjauhi semua perbuatan dosa. Dan ketujuh adalah menyatukan diri
dalam kodrat dan iradat Ilahi.
Menurut Syekh
Abdul Muhyi, orang Islam harus khusyuk mentafakuri makna kalimat laa ilaha illa
Allah ini. Orang Islam tidak cukup hanya beribadah hanya karena ganjaran, hanya
karena takut siksa. Yang lebih utama dari itu adalah ibadah sebagai tindak
kepatuhan dan kebaktian kepada Allah, mengikuti perintah Rasulullah.
Mengenai
zikirnya, Syekh Abdul Muhyi menyebut ada tujuh tingkatan zikir. Pertama zikir
lisan dengan kalimat thayyibah atau zikir nafy-itsbat. Kedua adalah zikir ism
al-dzat, menyebut kalimat Allah huwa Allah huwa, yang akan berlanjut ke zikir
ism al-ghaib (hu hu).
Ketiga adalah
zikir al-sirr, zikir pelan dalam hati. Keempat adalah zikir syughul al-insan
al-kamil, yakni zikir dengan menggambarkan rupa guru sambil “mengukir” tanda
kekuasaan Allah di dalam hati. Kelima adalah zikir syughul al-ibrah, zikir
dengan niat menerakan asma Allah di dalam segala yang maujud. Keenam adalah
zikir syughul al-mir’ah, yakni zikir dengan niat berkaca dalam cermin Allah.
Dan ketujuh
adalah zikirsyughul al-isti’la, yakni semacam upaya menyaksikan dengan bashirah
Allah, melihat di dalam kehendak-Nya, sehingga mampu melihat Ruh Muhammad dan
seisi langit dan bumi. Sedangkan lathaif yang mesti dikenai zikir ada tujuh
macam, yakni lathifah al-qalab, lathifah al-qalbi, lathifah al-khauf, lathifah
al-akhfa, lathifah al-khafi, lathifah al-nafsi dan lathifah al-sirr.
Syekh Abdul
Muhyi juga mengajarkan “martabat alam tujuh,” sebuah ajaran tentang tajalli
Tuhan, yang bersumber dari ajaran sufi besar Syekh Muhammad ibn Fadlullah
Burhanpuri yang dituangkan dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Ajaran ini berkembang dan diajarkan di banyak tempat di Nusantara dengan
sedikit variasi versi – seperti oleh Syekh Abdurrauf, Hamzah Fansuri, Nuruddin
Raniri, dalam serat Centhini karya pujangga Yasadipura II, dan serat Wirid
Hidayat Jati karangan Ronggowarsito.
Versi Syekh
Abdul Muhyi tidak jauh berbeda. Martabat pertama adalah Ahadiyyah – tahap ketika
hanya ada Allah yang tanpa deskripsi,
tanpa ungkapan, tanpa arah, tanpa tempat, pendeknya keadaan yang ghaib dari
yang ghaib (ghaib al-ghuyub). Ini adalah ketersembunyian mutlak yang tak
terjangkau bahkan oleh para Nabi, yakni “perbendaharaan tersembunyi.”
Martabat kedua
adalah Alam al-Wahdah, atau ta’ayyun awal yang kadang disebut jauhar awal, atau
cahaya pertama, yang dinamakan pula Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad, atau
a’yan tsabitah, entitas permanen, semacam “cetak biru” azali bagi eksistensi ciptaan,
namun dalam bentuk global, belum ada rincian. Martabat ketiga adalah Alam
al-Wahidiyyah, atau ta’ayyun tsani.
Alam ini
bersumber dari al-Wahdah yang dipancarkan menjadi empat cahaya: merah, kuning,
putih dan hitam. Ketiga martabat pertama bersifat qadim dan baqa. Martabat
keempat adalah Alam al-Arwah, yang dibuat dari cahaya dengan esensi. Martabat
kelima adalah Alam al-Mitsal, adalah dunia “perantara,” di mana yang ruhani di
materialkan dan yang material diruhanikan.
Martabat keenam
adalah Alam al-Ajsam, yang merupakan wujud yang telah tersusun rapi. Tetapi ia
bukan pelengkap bagi ruh, melainkan bentuk derajat yang lebih rendah dan kasar
dalam gradasi hirarki eksistensi. Dan martabat ketujuh adalah Insan Kamil,
yakni tujuan dari penciptaan, untuk memantulkan “perbendaharaan tersembunyi”
dalam Keagungan dan Keindahannya-Nya.
Dalam kitab
Istigal Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah
karamahnya. Diantara adalah sebagai berikut. Suatu hari ada orang yang
dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi.
Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah
bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh
manusia lahir dan batin ada lathaif laa ilaha illa Allah!” Lebah-lebah itu
langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Ia selamat tanpa bekas
luka apapun.
Seorang pria membawa
istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul untuk minta
kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak membaca kalimat tahlil
sebanyak 163 kali (atau mungkin 165 kali) di masjid. Tak berapa lama orang itu
pun sembuh. Di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke,
tubuhnya mati separuh.
Kemudian diajak
berzikir dengan tahlil sebanyak 163 kali hingga sembuh total. Adalagi orang
yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi.
Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 163 atau 165 kali dan sembuh.
Syekh Abdul
Muhyi juga menolong orang lewat karamahnya untuk memperbanyak hasil panen dan
ternak kerbau. Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan
dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya.@
Boks
Bukti Kesaktiannya Bisa Sembuhkan Wanita
Buta
Makamnya yang berada di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi salah
satu pusat ziarah utama. Banyak yang berziarah kesanaterutama pada bukan maulid
(Rabiul Awwal) untuk mengharapkan berkah dan tujuan-tujuan keduniawian.
Tidak diketahui pasti kapan Syekh Abdul Muhyi dilahirkan – setidaknya ada
dua versi, yakni tahun 1640 dan atau 1650. Salah satu riwayat menyatakan beliau
lahir di Kartasura. Ibundanya, Nyi R. Ajeng Tangenjiah, masih keturunan
Rasulullah, sedangkan ayahandanya, Sembah Lebe Wartakusumah adalah keturunan
Raja Galuh. Syekh Abdul Muhyi menghabiskan masa remajanya di Gresik, Jawa
Timur.
Kemudian, pada
usia 19 tahun, beliau pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdur Rauf
Singkel selama kurang lebih delapan tahun (1669-1677). Kemudian, dalam usia 27
tahun, beliau diajak gurunya menziarahi makam Sulthan al-Awliya Syekh Abdul
Qadir al-Jilani.
Beliau sempat
bermukim di Baghdad selama dua tahun untuk mendalami Islam, terutama Tasawuf.
Kemudian bersama gurunya pula beliau menunaikan ibadah haji. Di Mekah inilah
Syekh Abdur Rauf menerima ilhami rabbani yang menyatakan bahwa salah satu
muridnya akan menjadi wali besar.
Menurut ilham
ini, jika nanti Syekh Abdur Rauf sudah mengetahuinya, maka si murid harus
segera disuruh pulang ke Jawa untuk menyebarluaskan ajaran yang diperolehnya di
suatu tempat tertentu. Tempat yang dimaksud bercirikan sebuah goa yang konon
bekas tempat Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjalani tawajjuh dalam menerima ilmu
dari gurunya, Syekh Imam Sanusi.
Sebelum mencari
tempat dimaksud, Syekh Abdul Muhyi pulang terlebih dahulu untuk mohon doa restu
orang tuanya. Tetapi orang tuanya menyarankan agar beliau menikah terlebih
dahulu. Beliau kemudian menikah dengan Ayu Bakta. Tak lama setelah menikah
Syekh Abdul Muhyi berangkat menuju sebuah tempat yang kini disebut Darma di
Kuningan Jawa Barat. Di sini beliau menetap selama tujuh tahun dan mendakwahkan
ajaran Islam.
Sembari mengajar
dan berdakwah beliau selalu mencari-cari goa yang diisyaratkan oleh ilham
gurunya itu. Salah satu tanda lokasinya adalah jika beliau menanam padi satu,
maka hasilnya juga satu, artinya tidak menambah penghasilan. Tetapi selama
beberapa tahun menanam padi, hasilnya selalu melimpah-ruah.
Setelah tujuh tahun
mencari tidak ketemu, beliau kemudian mengembara lagi, kali ini ke daerah Pameungpeuk,
Garut Selatan. Kepergiannya ditemani sanak-keluarganya, termasuk kedua orang
tuanya. Di sini beliau harus menghadapi lawan berat – para dukun ilmu hitam dan
penjahat. Di sini pula ayahandanya meninggal dunia, dan dimakamkan di Kampung
Dukuh.
Setelah setahun,
beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Batuwangi, dan Lebaksiuh. Dalam berdakwah
di daerah-daerah ini beliau harus menghadapi tantangan dari penganut Hindu yang
memusuhinya dan menyerangnya baik itu dengan ilmu gaib (sihir) maupun secara
fisik.
Tetapi karena
selama menanam padi di sini hasilnya juga melimpah, beliau melanjutkan
perjalanan ke lembah di gunung Cilumbu, sebuah lembah yang indah. Gunung ini
kelak dinamakannya “Gunung Mujarod,” tempat menenangkan diri atau dalam bahasa
Sunda “nyirnakeun manah.” Di kawasan inilah padi yang ditanam Syekh Abdul Muhyi
hanya berbuah satu. Dan pada 1690 M beliau, yang sudah berumur 40 tahun,
menemukan goa yang kelak dikenal sebagai Goa Pamijahan.
Goa inilah yang
kemudian menjadi pusat dakwahnya, dan merupakan tempat yang keramat, karena
sering dipakai oleh Syekh Abdul Muhyi untuk melakukan riyadhah spiritual. Konon
Syekh Abdul Muhyi bisa langsung ke Mekah melalui salah satu lorong sempit di di
sekitar goa itu.
Saat itu tempat
itu masih dinamakan Goa Safar Wadi. Nama Pamijahan adalah sebagai perlambang –
karena banyak orang berdatangan berduyun-duyun ke goa, laksana ikan yang akan
bertelur (mijah), maka ia kemudian disebut “Pamijahan.”
Kharisma dan
keilmuannya menyebabkan nama Syekh Abdul Muhyi terkenal di mana-mana. Bahkan
banyak ulama yang datang untuk berguru kepadanya. Yang terkenal adalah Syekh
Maulana Mansur (putra Sultan Abdul Fatah Tirtayasa Banten) dan Syekh Ja’far
Shadiq dari Garut.
Konon mereka
bertiga sering pergi ke Mekah lewat sebuah lorong sempit di goa. Bahkan Sultan
Mataram saat itu (Paku Buwana I) secara khusus meminta Syekh Abdul Muhyi untuk
mengajari putra-putrinya, dengan imbalan daerah Pamijahan akan dibebaskan dari
pajak, atau dijadikan tanah perdikan yang otonom. Syekh Abdul Muhyi meninggal
pada tahun 1715 atau menurut riwayat lain tahun tanggal 8 Jumadil Awwal 1151 H
atau 1730 M.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar