Jurnalis Independen: Sore itu Suriwa tidak ikut
mencari kayu bakar dikarenakan sakit ibunya semakin parah. Sudah tujuh hari
demamnya tak reda-reda. Suriwa tidak memiliki kakak maupun adik, ia hidup
berdua bersama ibunya, ayahnya meninggal sembilan tahun lalu ketika Suriwa
masih berumur enam tahun.
"Sebaiknya kita ke tempat
tabib, Bu!" Ucap Suriwa sambil mengompres dahi ibunya. "Panas Ibu
semakin tinggi. Sekarang kita ke rumah tabib saja, Bu! Biar cepat
diobati."
"Tidak perlu, Nak! Ibu
baik-baik saja. Cuma demam biasa. Nanti juga sembuh." "Apanya yang
biasa? Tiap hari panasnya makin bertambah. Aku khawatir. Kalau tidak cepat
diobati nanti semakin parah"
Setelah dibujuk dan dipaksa,
akhirnya ibu Suriwa mau berobat ke tabib. Bukannya tidak ingin diobati, ibu
Suriwa tidak tega kepada anaknya jika harus berobat ke tabib. Untuk mendatangi
seorang tabib harus pergi ke kampung sebelah yang jaraknya seperempat hari
perjalanan, karena di kampungnya tidak ada tabib.
Berbekal sepiring nasi putih
tanpa lauk yang di bungkus daun pisang, Mereka pun berangkat. Suriwa menggendong
ibunya. Di tengah perjalanan, mereka melihat sebuah gubuk kecil tempat para
petani beristirahat.
"Nak, lihat ada gubuk
petani! Kita istirahat sejenak di sana!" Ucap ibunya sambil menunjuk ke
arah gubuk itu. "Baik, Bu. Kita istirahat sebentar. Aku mau membuat obor.
Hari sudah mulai gelap." Ucap Suriwa sambil berjalan menuju gubuk.
Tak selang berapa lama saat
Suriwa dan ibunya duduk beristirahat di gubuk, muncul seorang kakek berjanggut
putih dan panjang bersama pemuda yang kalau di perhatikan mukanya agak mirip
dengan kakek tua itu. Pemuda itu membawa bungkusan dari sarung.
"Hari sudah mulai gelap
begini kalian masih di sini?" Tanya kakek itu kepada Suriwa dan ibunya.
"Kami dari kampung Wanuagede mau ke kampung sebelah." Jawab Suriwa.
"Wanita ini ibumu?
Kelihatannya dia tidak sehat." Kata si kakek tua sambil menatap pada ibu
Suriwa yang terlihat lesu. "Iya, dia ibuku. Sudah seminggu ini badannya
panas Sekali. Kami ke desa sebelah bermaksud ke rumah tabib." Jawab Suriwa
"Kalian beruntung. Aku tabib
itu. Kalian tak perlu berjalan jauh lagi ke desa sebelah." Tutur sang
kakek sambil tersenyum tipis. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Aku
dan anakku ini sedang mencari tanaman obat di sekitar sini." "Kalau
Kakek berkenan, tolong periksa dan juga obati ibu saya. Saya akan berterima
kasih sekali."
Kakek tabib langsung memeriksa
ibu Suriwa. Ia kaget saat memeriksa ibu Suriwa. "Panasnya tinggi sekali.
Aku tak punya obat untuk meredakan panas setinggi ini." Pikir si kakek
tabib. Kalau tetap dibiarkan ibu Suriwa bisa meninggal. Dengan berat hati,
kakek tabib menceritakan kondisi ibu Suriwa. Kondisi ibunya sangat buruk. Hanya
bunga anggrek merah yang bisa mengobati sakit ibu Suriwa. Bunga anggrek merah
hanya tumbuh di puncak gunung.
Selain perjalanan yang memakan
waktu dua hari, naik ke puncak gunung Semeru sangat berbahaya. Jarang sekali
yang bisa pulang dengan selamat. Menurut cerita para penduduk, di puncak gunung
ada seekor naga biru pemakan manusia.
Tanpa pikir panjang, Suriwa
langsung naik ke puncak gunung. Ia mengesampingkan rasa takutnya. Tidak peduli
apa yang akan terjadi. "Saat melahirkan aku, ibuku mempertaruhkan
nyawanya, kini saatnya aku melakukan hal yang sama untuknya." Pikir Suriwa
dalam hati.
Suriwa pergi dengan berbekal
sebuah obor dan sebungkus nasi putih yang belum sempat dibuka karena keburu
datang sang kakek tabib. Sedangkan ibunya dititipkan pada si kakek tabib. Ia
digendong oleh anak si kakek tabib untuk dirawat sementara di rumahnya.
Suriwa berjalan sendiri
menelusuri gelapnya rimba malam hanya dengan disinari cahaya api obor. Ia
berjalan terus tanpa henti. Satu malam telah dilaluinya. Matahari sudah kembali
terbit di timur sana. Rasa lapar dan lelah mulai menyerang Suriwa. Suriwa
istirahat sejenak di bawah pohon beringin yang sangat besar, lalu ia melahap
habis bekal yang ia bawa.
Satu hari telah berlalu, Suriwa
sudah mendekat ke puncak gunung. Selagi tenang-tenang bersandar pada sebuah
pohon besar sambil mendengarkan kicau merdu burung-burung hutan, Suriwa
dikejutkan oleh gerombolan-gerombolan hewan dari atas gunung yang turun menuju
lereng. Macan kumbang, kijang, ular berbisa dan binatang-binatang lainnya
berbondong-bondong turun gunung. "Ada apa ini? Mengapa binatang-binatang turun
gunung? Macan kumbang yang biasanya berburu kijang sekarang berjalan
berdampingan?" Pikir Suriwa aneh.
Suriwa menyimpan pertanyaan itu
di benaknya. Ia melanjutkan kembali perjalanan ke puncak gunung. Di sepanjang
jalan Suriwa melihat lebih banyak lagi gerombolan binatang yang turun dari puncak
gunung. Pertanyaan bertambah lagi dibenaknya ketika melihat pohon-pohon banyak
yang kering. Tanpa terasa Suriwa sudah berada di puncak gunung.
Suriwa mulai mencari anggrek
merah di hutan yang sangat sepi. Tak ada burung-burung yang menyanyikan lagu
rimba. Hutan di puncak gunung itu sangat sepi, hutan itu menjadi hutan kosong
yang di tinggalkan para penghuninya. Hari mulai gelap tapi Suriwa masih belum
menemukan apa yang dicarinya. "Kalau sampai malam aku tidak menemukannya,
aku harus bermalam lagi." Pikir Suriwa yang khawatir pada kondisi ibunya
jika ia tidak segera menemukan anggrek merah.
Di tengah-tengah kesunyian hutan,
samar-samar Suriwa mendengar jeritan yang mirip dengan tangisan. Suriwa mencoba
mengikuti Suara jeritan itu. Semakin dekat suara itu semakin terdengar jelas.
Suara tangisan yang pilu seperti tangisan seorang anak yang ditinggal pergi
oleh ibunya. Suriwa mendekati suara itu.
Suriwa terkejut. Ternyata suara
itu keluar dari mulut seekor naga raksasa ukuran tubuhnya lima kali lipat dari
ukuran Kerbau hutan, panjangnya sekitar tiga puluh kaki. Tubuhnya berwarna biru
tua. Matanya yang merah menyala dan cakar-cakar tajam di keempat pasang kakinya
membuat naga itu terlihat sangat menakutkan. "Mungkin, ini naga biru
pemakan manusia yang sering diceritakan para penduduk desa." Pikir Suriwa
dalam hati.
Naga itu mengetahui kehadiran
Suriwa. Mata merah sang naga menatap tajam ke arah Suriwa. Seluruh tubuh Suriwa
menggigil ketakutan melihat tatapan mengerikan dari naga itu. Ia berniat
membalik badan berlari turun, naga itu berkata, "Hey, Anak kecil, tidak
perlu takut! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu."
Langkah Suriwa terhenti mendengar
ucapan sang naga. Sambil masih diselimuti ketakutan, Suriwa kembali membalik
badannya dan mendekati sang naga.
"Kau bisa bicara?"
Tanya Suriwa kepada sang naga. "Ya, aku bisa bicara. Kau tidak perlu takut
kepadaku! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu." "Tapi menurut
penduduk desa, Kau naga pemakan manusia. Apakah itu benar?" "Dahulu
Aku memang pemakan manusia, tapi itu sebelum aku berada di puncak gunung
ini." Jawab sang naga.
"Jadi Kau bukan berasal dari
sini?" "Bukan. Aku dari Khayangan. Aku dulu adalah tunggangan para
dewa di Khayangan untuk turun ke bumi." Tutur sang naga.
Lalu sang naga menceritakan
mengapa dia bisa berada di puncak gunung Semeru. Nama naga biru itu adalah
Jonggring Saloka. Naga itu tinggal di Khayangan bersama naga-naga lainnya. Naga
adalah tunggangan para dewa saat turun ke bumi. Naga biru Jonggring Saloka
merasa bosan tinggal di Khayangan dan menjadi tunggangan para dewa. Dia lalu
melarikan diri dari Khayangan turun ke bumi. Para dewa mencarinya ke bumi. Jika
tertangkap Naga itu akan dihukum.
Naga biru terus lari dan
bersembunyi dari pengejaran para dewa. Bertahun tahun menjadi pengungsi, naga
biru merasa bosan. Naga biru memutuskan pergi menuju Kota Paris, naga biru
memakan api abadi yang berada di Kota Paris. Setelah memakan api abadi, naga
biru memiliki napas api yang sangat mematikan.
Dengan napas apinya naga biru
melawan para dewa yang mencoba menangkapnya. Naga biru lalu bergabung bersama
para iblis membuat kekacauan di muka bumi. Ia membakar hutan dan pemukiman, ia
juga memakan manusia.
Suatu hari dewa Wisnu dan dewa
Shiwa sedang dalam perjalanan memindahkan gunung Meru dari India ke pulau Jawa,
untuk memaku pulau Jawa yang terapung-apung di lautan dan bertemu dengan naga
biru Jonggring Saloka bersama para iblis yang sedang membuat kekacauan. Dewa
Wisnu dan dewa Shiwa menghentikan kekacauan itu. Para iblis langsung lari
tunggang langgang ketika melihat dewa Wisnu dan dewa Shiwa. Para iblis sudah
tahu bagaimana kehebatan kedua dewa itu. Hanya naga biru yang tidak lari, ia
merasa mampu mengalahkan kedua dewa itu dengan napas apinya. Ternyata naga biru
salah menilai. Kedua dewa itu mampu mengalahkan naga biru dengan sangat mudah.
Naga biru lalu dirantai menggunakan rantai emas milik dewa Shiwa dan memaku
naga biru di puncak gunung Meru. Agar tidak bisa kabur dengan cara membakar
rantai emas, dewa Wisnu mengambil api abadi dari perut naga dan menyimpan api
itu di perut gunung Meru. Di atas gunung itu naga biru merenungkan kesalahannya
dan bertobat.
"Kalau bukan Kau, lalu siapa
yang mencelakai orang-orang yang naik ke gunung ini?" Tanya Suriwa setelah
mendengar cerita dari sang naga. "Mereka mati terbunuh oleh binatang buas.
Hari ini Kau beruntung. Binatang-binatang buas tidak sedang berniat
berburu." "Kenapa?"
"Apa Kau melihat
binatang-binatang yang turun gunung dan pohon-pohon banyak yang kering?" tanya
sang naga pada Suriwa. "Ya, aku melihatnya."Jawab Suriwa.
"Gunung ini sebentar lagi
akan meletus. Mereka turun menyelamatkan diri. Mereka bisa merasakan udara
panas yang mulai naik dari perut gunung." Ucap sang naga. "Jika
gunung ini meletus para penduduk lereng gunung tidak akan selamat. Para binatang
yang belum sempat pergi jauh semuanya akan mati. Aku sedih. Semua ini gara-gara
aku."
"Memang apa yang Kau
perbuat?"
"Api abadi yang aku makan
adalah penyebabnya. Api abadi yang ditanam di perut gunung ini
sedikit demi sedikit membakar
tanah dan batuan yang ada dalam perut gunung, semakin lama semakin banyak dan
semakin panas. Pada akhirnya akan meletus keluar. Kalau saja aku bisa lepas,
mungkin aku bisa menyelamatkan mereka semua. Dengan kondisi seperti ini
jangankan menyelamatkan penduduk, aku pun akan mati oleh kesalahanku sendiri
"tutur sang naga sebelum akhirnya keluar air mata dari kedua matanya.
Naga biru termenung. Suriwa duduk
dekat sang naga sambil memikirkan ibunya. "Sekarang bukan saja ibuku yang
terancam, tapi seluruh penduduk desa sekitar gunung pun terancam
nyawanya." Pikir Suriwa.
Suriwa tidak merasa perjuangannya
mencari obat untuk ibunya sia-sia. Meskipun ibunya, bahkan seluruh penduduk
desa dan juga dirinya tidak akan selamat dari kematian, Suriwa tetap bangga
telah berusaha mencarikan obat untuk ibunya. Untuk Suriwa berusaha adalah hal
yang lebih penting dari berhasil.
"Berapa umurmu Nak?"
Tanya sang naga setelah teringat ucapan dewa Shiwa. "Bulan depan aku genap
berumur lima belas tahun." "Apa kau masih memiliki orang tua."
"Ayahku sudah meninggal tapi
ibuku masih ada. "Memang ada apa?"Tanya Suriwa. "Sebelum
meninggalkanku di sini dewa Shiwa berkata kepadaku, 'Tidak ada yang bisa
melepaskan rantai ini kecuali aku dan anak berumur kurang dari lima belas tahun
yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya.' aku baru ingat lagi kata-kata itu
"Ucap sang naga.
"Tapi ibumu masih ada."
"Kita coba saja siapa tahu
bisa." ujar Suriwa.
Suriwa lalu mencoba mencabut paku
emas yang terkait pada ujung rantai pengikat naga biru. Ukuran paku emas yang
ditancapkan pada sebuah batu besar itu tidak terlalu besar, ukurannya tidak
lebih besar dari gelang tangan Suriwa. Suriwa terus mencoba tapi tidak
berhasil, sampai akhirnya Suriwa menyerah dan duduk termenung menanti keluarnya
gumpalan larva panas yang akan mencabut nyawanya.
Tanah mulai bergetar, terdengar
suara gemuruh dari dalam tanah. Saat Suriwa termenung berharap datangnya
keajaiban yang bisa menyelamatkan Ibunya dan seluruh warga desa,
tiba-tiba ada dorongan kuat yang
memaksa Suriwa untuk mencabut paku emas itu sekali lagi. Suriwa berdiri lalu
mencoba mencabut paku itu. Sekarang Suriwa berhasil mencabut paku itu.
"Kau bisa melepaskan?"
Tanya sang naga, terkejut.
"Ya, aku tidak tahu mengapa
aku bisa melepaskan. Sebaiknya kita simpan dulu pertanyaan itu! Sekarang
bagaimana cara menyelamatkan penduduk desa?"
"Sekarang Kau cepat naik ke
punggungku! Aku akan membawamu pulang terlebih dahulu."
"Aku harus menemukan anggrek
merah untuk mengobati ibuku."
"Ibumu biar aku yang mengobati.
Air liur milikku ini bisa menyembuhkan segala penyakit. Sekarang cepat naik ke
punggungku!"
Suriwa pun naik di atas punggung
naga. Sang naga, terbang mengantarkan Suriwa ke rumah kakek tabib. Dari atas
langit Suriwa melihat orang-orang berkerumun di rumah kakek tabib. "Banyak
sekali orang yang minta diobati kakek tabib." Pikir Suriwa yang menyangka
orang-orang yang berkerumun itu orang-orang sakit yang minta diobati.
Orang-orang yang berkerumun
langsung lari ketakutan ketika melihat sang naga turun mendekati rumah kakek
tabib.
"Jangan takut! Aku tidak
akan mencelakai kalian."
Orang orang itu tetap lari
mengabaikan kata-kata sang naga.
Suriwa turun dari punggung sang
naga berjalan menuju pintu rumah kakek tabib yang juga dipenuhi banyak orang. Orang-orang
di dalam rumah berkumpul berdesak-desak ketakutan melihat sang naga biru.
"Jangan takut! Naga ini
tidak jahat." Tutur Suriwa sambil berjalan masuk ke rumah kakek tabib.
Ketika di dalam rumah, kakek
tabib yang melihat Suriwa, langsung merangkul Suriwa sambil berucap dan air
mata mengalir di pipinya yang keriput, "Nak, sabar ya, Nak! Kau sudah
berusaha. Ibumu pasti bangga memiliki anak berbakti seperti dirimu. Dia akan
tenang di sana. "
"Ada apa ini, Kek? Kenapa,
Kakek bicara seperti itu?" Tanya Suriwa.
"Ibumu meninggal, Nak."
Jawab sang kakek sembari menoleh ke arah seorang perempuan yang terbujur kaku
di tengah rumahnya.
Suriwa tak mampu berkata-kata.
Air mata kesedihan mengalir deras tak terbendung. Sekarang Suriwa mengerti,
mengapa ia bisa mencabut paku itu. Saat mencabut paku, ia sudah menjadi anak
tanpa orang tua. Ternyata orang-orang yang berkerumun itu bukan orang sakit,
tapi orang-orang yang melayat jenazah ibunya.
"Ibu ...." Tangis Suriwa
pun meledak dengan keras.
"Hey, Anak kecil, mengapa
kau menangis? Kemari Nak!" Suara menggelegar keluar dari mulut naga yang
menunggu di luar rumah kakek tabib.
Suriwa keluar menghadap sang naga
sambil isak tangis tak henti terdengar.
"Tak perlu menangis, Nak! Aku
akan menolongmu." Ucap sang naga dan selanjutnya sang naga mengeram.
Suaranya berat, mulut sang naga terbuka lebar seperti akan memuntahkan sesuatu.
Tak lama kemudian terlihat cahaya biru yang sangat besar keluar dari mulutnya.
Sang naga menangkap cahaya itu. Dalam genggaman tangan sang naga cahaya itu
mulai redup lalu menghilang.
Ternyata cahaya itu berasal dari
sebuah pil berwarna biru yang ukuran kira-kira sebesar biji lengkeng.
"Nak, ambil ini! Masukan
pada mulut ibumu! Ini adalah pil kehidupan yang membuat para naga berumur
panjang." Tutur sang naga.
Tidak lama kemudian terdengar
suara menggelegar di puncak gunung. Petir seperti keluar dari puncak Semeru.
Gemuruh isi perut Semeru mulai terdengar keras. Para penduduk desa berhamburan
keluar rumah, mereka ketakutan mendengar gelegar perut gunung yang siap
memuntahkan isinya.
Melihat hal seperti itu, sang
naga lalu berucap, "Hey, para manusia, kalian tak perlu lari! Kalian di
sini akan baik-baik saja. Aku akan menghentikan ledakan itu." "Kalau
nanti kalian ingin berterima kasih, berterima-kasih sajalah pada anak ini! Jika
dia tidak melepas rantai yang mengikat aku di puncak sana, aku tidak bisa
membantu kalian." Ucap sang naga sambil menunjuk ke arah Suriwa.
"Ingat, masukan pil itu di
mulut ibumu. Aku akan segera naik ke puncak."
Ucap sang naga yang langsung
terbang menuju puncak gunung.
Suriwa memasukkan pil tadi ke
mulut ibunya. Pil biru itu mulai bercahaya lagi, perlahan pil itu masuk ke
dalam perut ibu Suriwa. Pil itu berputar dalam perut ibu Suriwa terus dan terus
hingga akhirnya pil itu hancur disertai keluarnya cahaya biru di setiap lubang
dan pori-pori di tubuh ibu Suriwa. Selang berapa detik terdengar erangan kecil
keluar dari mulut ibu Suriwa. Air mata bahagia tak tertahan. Suriwa menangis bahagia
melihat ibunya hidup kembali.
Sementara itu, gemuruh dari perut
Semeru semakin keras dan akhirnya suara ledakan yang sangat keras, terdengar di
puncak gunung. Sang naga yang sedari tadi berada jauh di atas puncak Semeru
membuka mulutnya lebar-lebar tubuhnya membesar. Saat ledakan keras disertai
keluarnya isi perut Semeru, sang naga melesat turun menyambut lahar panas yang
dimuntahkan Semeru dengan mulutnya. Sang naga yang tubuhnya telah tumbuh dan
sangat panjang itu melesat masuk ke dalam gunung Semeru. Sambil tetap membuka
mulutnya lebar-lebar, memasukkan isi perut gunung kedalam perutnya. Isi perut
Sumeru masuk kembali ke dalam gunung bersama tubuh sang naga.
Karena pil kehidupan sang naga
telah diberikan pada ibu Suriwa, sang naga tidak kuat menahan panasnya perut
Semeru dan akhirnya tubuhnya hangus terbakar dan masuk ke dalam perut gunung
Semeru.
Berkat sang naga para penduduk
desa aman, rimba-rimba tidak hangus dan para binatang bisa kembali menempatinya.
Ledakan itu tidak membuahkan apa-apa kecuali sebuah kawah dan kematian sang
naga.
Untuk mengenang jasa Sang naga
kawah itu dinamai dengan nama sang naga, yaitu Jonggring Saloka.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar