Selasa, 15 Januari 2013

Jonggring Saloka Naga Biru Gunung Semeru


Jurnalis Independen: Sore itu Suriwa tidak ikut mencari kayu bakar dikarenakan sakit ibunya semakin parah. Sudah tujuh hari demamnya tak reda-reda. Suriwa tidak memiliki kakak maupun adik, ia hidup berdua bersama ibunya, ayahnya meninggal sembilan tahun lalu ketika Suriwa masih berumur enam tahun.


"Sebaiknya kita ke tempat tabib, Bu!" Ucap Suriwa sambil mengompres dahi ibunya. "Panas Ibu semakin tinggi. Sekarang kita ke rumah tabib saja, Bu! Biar cepat diobati."

"Tidak perlu, Nak! Ibu baik-baik saja. Cuma demam biasa. Nanti juga sembuh." "Apanya yang biasa? Tiap hari panasnya makin bertambah. Aku khawatir. Kalau tidak cepat diobati nanti semakin parah"

Setelah dibujuk dan dipaksa, akhirnya ibu Suriwa mau berobat ke tabib. Bukannya tidak ingin diobati, ibu Suriwa tidak tega kepada anaknya jika harus berobat ke tabib. Untuk mendatangi seorang tabib harus pergi ke kampung sebelah yang jaraknya seperempat hari perjalanan, karena di kampungnya tidak ada tabib.

Berbekal sepiring nasi putih tanpa lauk yang di bungkus daun pisang, Mereka pun berangkat. Suriwa menggendong ibunya. Di tengah perjalanan, mereka melihat sebuah gubuk kecil tempat para petani beristirahat.

"Nak, lihat ada gubuk petani! Kita istirahat sejenak di sana!" Ucap ibunya sambil menunjuk ke arah gubuk itu. "Baik, Bu. Kita istirahat sebentar. Aku mau membuat obor. Hari sudah mulai gelap." Ucap Suriwa sambil berjalan menuju gubuk.

Tak selang berapa lama saat Suriwa dan ibunya duduk beristirahat di gubuk, muncul seorang kakek berjanggut putih dan panjang bersama pemuda yang kalau di perhatikan mukanya agak mirip dengan kakek tua itu. Pemuda itu membawa bungkusan dari sarung.

"Hari sudah mulai gelap begini kalian masih di sini?" Tanya kakek itu kepada Suriwa dan ibunya. "Kami dari kampung Wanuagede mau ke kampung sebelah." Jawab Suriwa.

"Wanita ini ibumu? Kelihatannya dia tidak sehat." Kata si kakek tua sambil menatap pada ibu Suriwa yang terlihat lesu. "Iya, dia ibuku. Sudah seminggu ini badannya panas Sekali. Kami ke desa sebelah bermaksud ke rumah tabib." Jawab Suriwa

"Kalian beruntung. Aku tabib itu. Kalian tak perlu berjalan jauh lagi ke desa sebelah." Tutur sang kakek sambil tersenyum tipis. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Aku dan anakku ini sedang mencari tanaman obat di sekitar sini." "Kalau Kakek berkenan, tolong periksa dan juga obati ibu saya. Saya akan berterima kasih sekali."

Kakek tabib langsung memeriksa ibu Suriwa. Ia kaget saat memeriksa ibu Suriwa. "Panasnya tinggi sekali. Aku tak punya obat untuk meredakan panas setinggi ini." Pikir si kakek tabib. Kalau tetap dibiarkan ibu Suriwa bisa meninggal. Dengan berat hati, kakek tabib menceritakan kondisi ibu Suriwa. Kondisi ibunya sangat buruk. Hanya bunga anggrek merah yang bisa mengobati sakit ibu Suriwa. Bunga anggrek merah hanya tumbuh di puncak gunung.

Selain perjalanan yang memakan waktu dua hari, naik ke puncak gunung Semeru sangat berbahaya. Jarang sekali yang bisa pulang dengan selamat. Menurut cerita para penduduk, di puncak gunung ada seekor naga biru pemakan manusia.

Tanpa pikir panjang, Suriwa langsung naik ke puncak gunung. Ia mengesampingkan rasa takutnya. Tidak peduli apa yang akan terjadi. "Saat melahirkan aku, ibuku mempertaruhkan nyawanya, kini saatnya aku melakukan hal yang sama untuknya." Pikir Suriwa dalam hati.

Suriwa pergi dengan berbekal sebuah obor dan sebungkus nasi putih yang belum sempat dibuka karena keburu datang sang kakek tabib. Sedangkan ibunya dititipkan pada si kakek tabib. Ia digendong oleh anak si kakek tabib untuk dirawat sementara di rumahnya.

Suriwa berjalan sendiri menelusuri gelapnya rimba malam hanya dengan disinari cahaya api obor. Ia berjalan terus tanpa henti. Satu malam telah dilaluinya. Matahari sudah kembali terbit di timur sana. Rasa lapar dan lelah mulai menyerang Suriwa. Suriwa istirahat sejenak di bawah pohon beringin yang sangat besar, lalu ia melahap habis bekal yang ia bawa.

Satu hari telah berlalu, Suriwa sudah mendekat ke puncak gunung. Selagi tenang-tenang bersandar pada sebuah pohon besar sambil mendengarkan kicau merdu burung-burung hutan, Suriwa dikejutkan oleh gerombolan-gerombolan hewan dari atas gunung yang turun menuju lereng. Macan kumbang, kijang, ular berbisa dan binatang-binatang lainnya berbondong-bondong turun gunung. "Ada apa ini? Mengapa binatang-binatang turun gunung? Macan kumbang yang biasanya berburu kijang sekarang berjalan berdampingan?" Pikir Suriwa aneh.

Suriwa menyimpan pertanyaan itu di benaknya. Ia melanjutkan kembali perjalanan ke puncak gunung. Di sepanjang jalan Suriwa melihat lebih banyak lagi gerombolan binatang yang turun dari puncak gunung. Pertanyaan bertambah lagi dibenaknya ketika melihat pohon-pohon banyak yang kering. Tanpa terasa Suriwa sudah berada di puncak gunung.

Suriwa mulai mencari anggrek merah di hutan yang sangat sepi. Tak ada burung-burung yang menyanyikan lagu rimba. Hutan di puncak gunung itu sangat sepi, hutan itu menjadi hutan kosong yang di tinggalkan para penghuninya. Hari mulai gelap tapi Suriwa masih belum menemukan apa yang dicarinya. "Kalau sampai malam aku tidak menemukannya, aku harus bermalam lagi." Pikir Suriwa yang khawatir pada kondisi ibunya jika ia tidak segera menemukan anggrek merah.

Di tengah-tengah kesunyian hutan, samar-samar Suriwa mendengar jeritan yang mirip dengan tangisan. Suriwa mencoba mengikuti Suara jeritan itu. Semakin dekat suara itu semakin terdengar jelas. Suara tangisan yang pilu seperti tangisan seorang anak yang ditinggal pergi oleh ibunya. Suriwa mendekati suara itu.

Suriwa terkejut. Ternyata suara itu keluar dari mulut seekor naga raksasa ukuran tubuhnya lima kali lipat dari ukuran Kerbau hutan, panjangnya sekitar tiga puluh kaki. Tubuhnya berwarna biru tua. Matanya yang merah menyala dan cakar-cakar tajam di keempat pasang kakinya membuat naga itu terlihat sangat menakutkan. "Mungkin, ini naga biru pemakan manusia yang sering diceritakan para penduduk desa." Pikir Suriwa dalam hati.

Naga itu mengetahui kehadiran Suriwa. Mata merah sang naga menatap tajam ke arah Suriwa. Seluruh tubuh Suriwa menggigil ketakutan melihat tatapan mengerikan dari naga itu. Ia berniat membalik badan berlari turun, naga itu berkata, "Hey, Anak kecil, tidak perlu takut! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu."

Langkah Suriwa terhenti mendengar ucapan sang naga. Sambil masih diselimuti ketakutan, Suriwa kembali membalik badannya dan mendekati sang naga.

"Kau bisa bicara?" Tanya Suriwa kepada sang naga. "Ya, aku bisa bicara. Kau tidak perlu takut kepadaku! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu." "Tapi menurut penduduk desa, Kau naga pemakan manusia. Apakah itu benar?" "Dahulu Aku memang pemakan manusia, tapi itu sebelum aku berada di puncak gunung ini." Jawab sang naga.

"Jadi Kau bukan berasal dari sini?" "Bukan. Aku dari Khayangan. Aku dulu adalah tunggangan para dewa di Khayangan untuk turun ke bumi." Tutur sang naga.

Lalu sang naga menceritakan mengapa dia bisa berada di puncak gunung Semeru. Nama naga biru itu adalah Jonggring Saloka. Naga itu tinggal di Khayangan bersama naga-naga lainnya. Naga adalah tunggangan para dewa saat turun ke bumi. Naga biru Jonggring Saloka merasa bosan tinggal di Khayangan dan menjadi tunggangan para dewa. Dia lalu melarikan diri dari Khayangan turun ke bumi. Para dewa mencarinya ke bumi. Jika tertangkap Naga itu akan dihukum.

Naga biru terus lari dan bersembunyi dari pengejaran para dewa. Bertahun tahun menjadi pengungsi, naga biru merasa bosan. Naga biru memutuskan pergi menuju Kota Paris, naga biru memakan api abadi yang berada di Kota Paris. Setelah memakan api abadi, naga biru memiliki napas api yang sangat mematikan.

Dengan napas apinya naga biru melawan para dewa yang mencoba menangkapnya. Naga biru lalu bergabung bersama para iblis membuat kekacauan di muka bumi. Ia membakar hutan dan pemukiman, ia juga memakan manusia.

Suatu hari dewa Wisnu dan dewa Shiwa sedang dalam perjalanan memindahkan gunung Meru dari India ke pulau Jawa, untuk memaku pulau Jawa yang terapung-apung di lautan dan bertemu dengan naga biru Jonggring Saloka bersama para iblis yang sedang membuat kekacauan. Dewa Wisnu dan dewa Shiwa menghentikan kekacauan itu. Para iblis langsung lari tunggang langgang ketika melihat dewa Wisnu dan dewa Shiwa. Para iblis sudah tahu bagaimana kehebatan kedua dewa itu. Hanya naga biru yang tidak lari, ia merasa mampu mengalahkan kedua dewa itu dengan napas apinya. Ternyata naga biru salah menilai. Kedua dewa itu mampu mengalahkan naga biru dengan sangat mudah. Naga biru lalu dirantai menggunakan rantai emas milik dewa Shiwa dan memaku naga biru di puncak gunung Meru. Agar tidak bisa kabur dengan cara membakar rantai emas, dewa Wisnu mengambil api abadi dari perut naga dan menyimpan api itu di perut gunung Meru. Di atas gunung itu naga biru merenungkan kesalahannya dan bertobat.

"Kalau bukan Kau, lalu siapa yang mencelakai orang-orang yang naik ke gunung ini?" Tanya Suriwa setelah mendengar cerita dari sang naga. "Mereka mati terbunuh oleh binatang buas. Hari ini Kau beruntung. Binatang-binatang buas tidak sedang berniat berburu." "Kenapa?"

"Apa Kau melihat binatang-binatang yang turun gunung dan pohon-pohon banyak yang kering?" tanya sang naga pada Suriwa. "Ya, aku melihatnya."Jawab Suriwa.

"Gunung ini sebentar lagi akan meletus. Mereka turun menyelamatkan diri. Mereka bisa merasakan udara panas yang mulai naik dari perut gunung." Ucap sang naga. "Jika gunung ini meletus para penduduk lereng gunung tidak akan selamat. Para binatang yang belum sempat pergi jauh semuanya akan mati. Aku sedih. Semua ini gara-gara aku."

"Memang apa yang Kau perbuat?"

"Api abadi yang aku makan adalah penyebabnya. Api abadi yang ditanam di perut gunung ini
sedikit demi sedikit membakar tanah dan batuan yang ada dalam perut gunung, semakin lama semakin banyak dan semakin panas. Pada akhirnya akan meletus keluar. Kalau saja aku bisa lepas, mungkin aku bisa menyelamatkan mereka semua. Dengan kondisi seperti ini jangankan menyelamatkan penduduk, aku pun akan mati oleh kesalahanku sendiri "tutur sang naga sebelum akhirnya keluar air mata dari kedua matanya.

Naga biru termenung. Suriwa duduk dekat sang naga sambil memikirkan ibunya. "Sekarang bukan saja ibuku yang terancam, tapi seluruh penduduk desa sekitar gunung pun terancam nyawanya." Pikir Suriwa.

Suriwa tidak merasa perjuangannya mencari obat untuk ibunya sia-sia. Meskipun ibunya, bahkan seluruh penduduk desa dan juga dirinya tidak akan selamat dari kematian, Suriwa tetap bangga telah berusaha mencarikan obat untuk ibunya. Untuk Suriwa berusaha adalah hal yang lebih penting dari berhasil.

"Berapa umurmu Nak?" Tanya sang naga setelah teringat ucapan dewa Shiwa. "Bulan depan aku genap berumur lima belas tahun." "Apa kau masih memiliki orang tua."

"Ayahku sudah meninggal tapi ibuku masih ada. "Memang ada apa?"Tanya Suriwa. "Sebelum meninggalkanku di sini dewa Shiwa berkata kepadaku, 'Tidak ada yang bisa melepaskan rantai ini kecuali aku dan anak berumur kurang dari lima belas tahun yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya.' aku baru ingat lagi kata-kata itu "Ucap sang naga.

"Tapi ibumu masih ada."
"Kita coba saja siapa tahu bisa." ujar Suriwa.

Suriwa lalu mencoba mencabut paku emas yang terkait pada ujung rantai pengikat naga biru. Ukuran paku emas yang ditancapkan pada sebuah batu besar itu tidak terlalu besar, ukurannya tidak lebih besar dari gelang tangan Suriwa. Suriwa terus mencoba tapi tidak berhasil, sampai akhirnya Suriwa menyerah dan duduk termenung menanti keluarnya gumpalan larva panas yang akan mencabut nyawanya.

Tanah mulai bergetar, terdengar suara gemuruh dari dalam tanah. Saat Suriwa termenung berharap datangnya keajaiban yang bisa menyelamatkan Ibunya dan seluruh warga desa,
tiba-tiba ada dorongan kuat yang memaksa Suriwa untuk mencabut paku emas itu sekali lagi. Suriwa berdiri lalu mencoba mencabut paku itu. Sekarang Suriwa berhasil mencabut paku itu.

"Kau bisa melepaskan?" Tanya sang naga, terkejut.

"Ya, aku tidak tahu mengapa aku bisa melepaskan. Sebaiknya kita simpan dulu pertanyaan itu! Sekarang bagaimana cara menyelamatkan penduduk desa?"

"Sekarang Kau cepat naik ke punggungku! Aku akan membawamu pulang terlebih dahulu."

"Aku harus menemukan anggrek merah untuk mengobati ibuku."

"Ibumu biar aku yang mengobati. Air liur milikku ini bisa menyembuhkan segala penyakit. Sekarang cepat naik ke punggungku!"

Suriwa pun naik di atas punggung naga. Sang naga, terbang mengantarkan Suriwa ke rumah kakek tabib. Dari atas langit Suriwa melihat orang-orang berkerumun di rumah kakek tabib. "Banyak sekali orang yang minta diobati kakek tabib." Pikir Suriwa yang menyangka orang-orang yang berkerumun itu orang-orang sakit yang minta diobati.

Orang-orang yang berkerumun langsung lari ketakutan ketika melihat sang naga turun mendekati rumah kakek tabib.

"Jangan takut! Aku tidak akan mencelakai kalian."

Orang orang itu tetap lari mengabaikan kata-kata sang naga.

Suriwa turun dari punggung sang naga berjalan menuju pintu rumah kakek tabib yang juga dipenuhi banyak orang. Orang-orang di dalam rumah berkumpul berdesak-desak ketakutan melihat sang naga biru.

"Jangan takut! Naga ini tidak jahat." Tutur Suriwa sambil berjalan masuk ke rumah kakek tabib.

Ketika di dalam rumah, kakek tabib yang melihat Suriwa, langsung merangkul Suriwa sambil berucap dan air mata mengalir di pipinya yang keriput, "Nak, sabar ya, Nak! Kau sudah berusaha. Ibumu pasti bangga memiliki anak berbakti seperti dirimu. Dia akan tenang di sana. "

"Ada apa ini, Kek? Kenapa, Kakek bicara seperti itu?" Tanya Suriwa.

"Ibumu meninggal, Nak." Jawab sang kakek sembari menoleh ke arah seorang perempuan yang terbujur kaku di tengah rumahnya.

Suriwa tak mampu berkata-kata. Air mata kesedihan mengalir deras tak terbendung. Sekarang Suriwa mengerti, mengapa ia bisa mencabut paku itu. Saat mencabut paku, ia sudah menjadi anak tanpa orang tua. Ternyata orang-orang yang berkerumun itu bukan orang sakit, tapi orang-orang yang melayat jenazah ibunya.

"Ibu ...." Tangis Suriwa pun meledak dengan keras.

"Hey, Anak kecil, mengapa kau menangis? Kemari Nak!" Suara menggelegar keluar dari mulut naga yang menunggu di luar rumah kakek tabib.

Suriwa keluar menghadap sang naga sambil isak tangis tak henti terdengar.

"Tak perlu menangis, Nak! Aku akan menolongmu." Ucap sang naga dan selanjutnya sang naga mengeram. Suaranya berat, mulut sang naga terbuka lebar seperti akan memuntahkan sesuatu. Tak lama kemudian terlihat cahaya biru yang sangat besar keluar dari mulutnya. Sang naga menangkap cahaya itu. Dalam genggaman tangan sang naga cahaya itu mulai redup lalu menghilang.

Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah pil berwarna biru yang ukuran kira-kira sebesar biji lengkeng.

"Nak, ambil ini! Masukan pada mulut ibumu! Ini adalah pil kehidupan yang membuat para naga berumur panjang." Tutur sang naga.

Tidak lama kemudian terdengar suara menggelegar di puncak gunung. Petir seperti keluar dari puncak Semeru. Gemuruh isi perut Semeru mulai terdengar keras. Para penduduk desa berhamburan keluar rumah, mereka ketakutan mendengar gelegar perut gunung yang siap memuntahkan isinya.

Melihat hal seperti itu, sang naga lalu berucap, "Hey, para manusia, kalian tak perlu lari! Kalian di sini akan baik-baik saja. Aku akan menghentikan ledakan itu." "Kalau nanti kalian ingin berterima kasih, berterima-kasih sajalah pada anak ini! Jika dia tidak melepas rantai yang mengikat aku di puncak sana, aku tidak bisa membantu kalian." Ucap sang naga sambil menunjuk ke arah Suriwa.

"Ingat, masukan pil itu di mulut ibumu. Aku akan segera naik ke puncak."
Ucap sang naga yang langsung terbang menuju puncak gunung.

Suriwa memasukkan pil tadi ke mulut ibunya. Pil biru itu mulai bercahaya lagi, perlahan pil itu masuk ke dalam perut ibu Suriwa. Pil itu berputar dalam perut ibu Suriwa terus dan terus hingga akhirnya pil itu hancur disertai keluarnya cahaya biru di setiap lubang dan pori-pori di tubuh ibu Suriwa. Selang berapa detik terdengar erangan kecil keluar dari mulut ibu Suriwa. Air mata bahagia tak tertahan. Suriwa menangis bahagia melihat ibunya hidup kembali.

Sementara itu, gemuruh dari perut Semeru semakin keras dan akhirnya suara ledakan yang sangat keras, terdengar di puncak gunung. Sang naga yang sedari tadi berada jauh di atas puncak Semeru membuka mulutnya lebar-lebar tubuhnya membesar. Saat ledakan keras disertai keluarnya isi perut Semeru, sang naga melesat turun menyambut lahar panas yang dimuntahkan Semeru dengan mulutnya. Sang naga yang tubuhnya telah tumbuh dan sangat panjang itu melesat masuk ke dalam gunung Semeru. Sambil tetap membuka mulutnya lebar-lebar, memasukkan isi perut gunung kedalam perutnya. Isi perut Sumeru masuk kembali ke dalam gunung bersama tubuh sang naga.

Karena pil kehidupan sang naga telah diberikan pada ibu Suriwa, sang naga tidak kuat menahan panasnya perut Semeru dan akhirnya tubuhnya hangus terbakar dan masuk ke dalam perut gunung Semeru.

Berkat sang naga para penduduk desa aman, rimba-rimba tidak hangus dan para binatang bisa kembali menempatinya. Ledakan itu tidak membuahkan apa-apa kecuali sebuah kawah dan kematian sang naga.

Untuk mengenang jasa Sang naga kawah itu dinamai dengan nama sang naga, yaitu Jonggring Saloka.@ 

Tidak ada komentar: