Selasa, 15 Januari 2013

Kiai Kholil, Waliyullah Kesebelas Tanah Jawa (I)


Kacaukan Tentara Penjajah dengan Pasukan Lebah Gaib

Kiai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawanpun menjadi lengah.


Kiai kharismatik ini merupakan seorang tokoh agama yang lahir di Bangkalan, Madura. Nasabnya, bertemu dengan Jamaluddin Al Kubra dan tersambung dengan nasab ahlul bait. KH Kholil termasuk golongan dari sebelas waliyullah tanah jawa termuda atau terakhir. Kewara’annya pada duniawi membuat kewaliannya banyak diakui masyarakat awam maupun ulama lain di nusantara.  

KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Camp (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta'lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar tahun1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Kholil. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan (tata bahasa arab), seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu beliau juga seorang hafizun Al-Quran. Beliau mampu membaca alqur'an dalam Qira'at sab'ah (tujuh cara membaca Al-Quran). Pada 1276 Hijrah atau tahun1859 Masehi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah.

Di Mekkah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar bersama Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah adalah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis juga diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy'ari, Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan. Ulama-ulama dahulu memiliki kebiasaan memanggil guru sesama rekannya. Dan Kh.Muhammad Kholil yang dituakan dan dimuliakan diantara mereka dan menerima panggilan guru..

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para siswa. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun metode penulisan huruf Pegon. Huruf pegon adalah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda.

Huruf pegon tidak ubahnya tulisan Melayu atau Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli / pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.

Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH Muhammad Khalil al -Maduri adalah seorang ulama yang bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, negeri ini masih terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan seluruh suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah adalah bangsa kafir. Bangsa yang tidak percaya akan islam sebagai agama yang diridhoi Sang Khaliq.

Sesuai dengan kondisi beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak terlibat dalam medan perang. Walau tidak terlibat langsung dalam perang fisik dan mengangkat senjata, Kiai Kholil terlibat aktif mengkader para pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya . Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh kolonial Belanda karena dituduh melindungi beberapa pejuang yang menjadi buronan penjajah Belanda. Pondok pesantrennya, dikenal sebagai tempat persembunyian yang paling aman oleh para pejuang. Dan hal itu diketahui oleh tentara penjajah Belanda. Hingga berakibat ditahannya Kiai Kholil lantaran menyembunyikan para pejuang dan setelah tentara Penjajah Belanda menggeleda pesantren Kiai Kholil, ternyata tidak menemukannya. Hal itu terjadi lantaran karomah yang dimiliki KH Kholil menyelimuti para pejuang di pesantrennya. Sehingga tidak terlihat oleh tentara penjajah Belanda.

Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri. Menurut  keterangan Kh.Ghozi, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syamsuri, Hasyim Asy'ari, Wahab Kasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak tinggi. Tak ketinggalan, Kiai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawanpun menjadi lengah. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kemerdekaan ganti menyerang lawan yang kafir itu. "Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaib itu, tak banyak dipublikasikan, "papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Kasbullah ini.

“Kesaktian” lain yang dimiliki Kiai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantrennya. Saat sedang memberikan pelajaran kepada para santrinya, tiba-tiba Kiai Kholil melakukan gerakan yang tidak ada hubungannya tema ceramahnya. Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. “Beberapa saat kemudian baju dan sarung beliau basah kuyub," cerita KH Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor pergi dan masuk rumah mengganti bajunya. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Setelah ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut beberapa hari lalu, mendapat pertolongan dari Mbah Kholil yang saat itu juga sedang melakukan ceramah pada santrinya. "Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah tersapu ombak besar dan menghantam karang. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap ia bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu, "cerita KH Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

Di antara sekian banyak murid KH Muhammad Khalil al Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia adalah Kh Hasyim Asy'ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pendiri NU Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma'shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma'shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As'ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).@bersambung

Tidak ada komentar: