Rabu, 16 Januari 2013

Jokowi Mati Lantaran Banjir


Jurnalis Independen: Jokowi dituduh lakukan pencitraan, Jokowi dihujat, Jokowi dibunuh, Jokowi mati lantaran banjir dan macet di DKI. Entah sirik, meri dan akhirnya Jokowi dilarang blusukan. Itulah nada yang terlontar dari banyak kalangan di Jakarta. Semuanya bermuara pada banjir dan kemacetan yang ada sejak puluhan tahun lalu dan belum juga bisa teratasi bahkan oleh Jokowi.

  
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta, Dani Anwar mendesak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) lebih optimal dalam melakukan advokasi terhadap warga korban banjir.

Menurut Dani, optimalisasi advokasi korban banjir sangat dibutuhkan karena sebagian besar korban banjir di DKI Jakarta belum mendapat bantuan makanan, tenaga medis dan lokasi-lokasi penampungan yang lebih manusiawi.

"Masih banyak diantara korban banjir di DKI Jakarta yang belum mendapat advokasi berupa bantuan pemerintah DKI Jakarta berupa makanan, pelayanan kesehatan dan bahkan lokasi penampungan yang lebih manusiawi," kata Dani Anwar, saat dihubungi JPNN, Rabu (16/1).

Advokasi lanjut Dani, merupakan hak warga dan menjadi satu kewajiban bagi Pemprov DKI Jakarta untuk melakukannya secara optimal. Kalau advokasi dilakukan hanya sekedar basa-basi, ini bisa menimbulkan masalah sosial baru lagi dari sisi hukum.

"Kalau terus-menerus masyarakat dibiarkan sendiri dalam menghadapi masalah banjir, warga bisa saja melakukan class action ke Pengadilan karena merasa tidak diurus secara layak oleh Pemprov DKI Jakarta," tegas Dani Anwar.

Menurut Dani, untuk kepentingan yang lebih luas, tindakan class action memang tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi kalau advokasi dari pihak Pemprov tidak optimal terhadap korban banjir, maka class action dengan sendirinya menjadi sangat berarti.

"Tapi secara pribadi dan anggota DPD dapil DKI Jakarta, saya lebih memilih untuk mendesak Pemprov melakukan advokasi secara sungguh-sungguh sehingga masyarakat merasakan bahwa memang ada pemerintah turut meringankan beban warga terkenan musibah banjir," ujar Dani.

Jokowi tak Usah Neko-neko, Disarankan Lanjutkan Konsep Foke
Sementara itu Ketua Departemen Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DPP Partai Demokrat, Didik Mukriyanto mengatakan Pemda DKI Jakarta harusnya sudah mempunyai hasil study komprehensif dan paham cara mengatasi banjir yang rutin melanda Kota Jakarta.

Dengan hasil study komprehensif, maka pemetaan masalah serta penanggulannganya, menurut Didik, tidak perlu neko-neko lagi.

“Langkah yang diambil para gubernur terdahulu sangat komprehensif dengan membangun banjir kanal timur dan pembenahan kanal barat sebagai langkah strategisnya menuju Jakarta bebas banjir. Sistem Polder yang diterapkan gubernur sebelum Jokowi juga bagian penting dari integrasi solusi penanganangan banjir,” ujar Didik ketika dihubungi wartawan, Rabu (16/1).

Dalam menangani pengendalian banjir kiriman dan atau lokal, lanjut Didik, berkisar pada tiga hal saja yakni mengurangi volume air yang lewat, memperbesar daya tampung alur sungai, dan menurunkan potensi banjir lokal.

Caranya antara lain perbaikan alur sungai, tanggul atau tembok banjir untuk menampung banjir dalam alur; saluran pengelak banjir untuk membelokkan sebagian atau seluruh air dari alur alami sungai; waduk penampung di hulu atau kolam retensi dan sistem Polder.

"Konsep tersebut di atas bahkan sebagian dari rencana komprehensif itu sudah dilaksanakan oleh Fauzi Bowo semasa jadi Gubernur DKI Jakarta. Harusnya karya besar Foke itu dijadikan blue print oleh Jokowi untuk menangani banjir di DKI Jakarta," saran Didik.

Banjir Kanal dan Sistem Polder, lanjutnya, terbukti berkontribusi positif meminimalisir banjir. Akan lebih baik bila Jokowi membuat solusi dan gerakan yang terintegrasi dengan program sebelumnya sehingga mendatangkan manfaat besar buat Jakarta.

Kalau masalah Jakarta diselesaikan secara instan dan case by case berdasarkan temuan blusukan Jokowi, menurut Didik, seorang Jokowi akan kehabisan energi untuk mengatasinya.

Apalagi, lanjut dia, kalau instanisasi itu tidak berbasis program/blue print yang tidak terintegratif maka bisa dipastikan penataan Jakarta akan semakin jauh dari harapan sebagai kota yang bebas banjir dan macet.

Secara teori, kata Didik, pemetaan dan penanganan masalah harusnya didasarkan pada data dan dihitung secara matematika sehingga kebijakan tidak berbasis kepada instanisasi solusi yang akhirnya tujuan besar untuk menata Jakarta menjadi jauh dari harapan.

Adrinof: Wajar Masyarakat Hujat Jokowi
Sisi lain pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago mengatakan yang paling realistis dilakukan untuk mengatasi masalah Jakarta adalah memindahkan pusat pemerintahan. Jakarta menurut Andrinof, tidak bisa berbenah jika pusat pemerintahan masih ada di dalamnya.

“Saya mendukung berbagai upaya untuk memindahkan ibukota, karena itu yang paling realistis untuk dilaksanakan guna mengatasi masalah Jakarta. Tanpa dipindahkan maka masalah Jakarta tidak akan bisa diselesaikan. Bagaimana mungkin berbenah dengan benar sementara kegiatan masih terus berlangsung. Ini harus jadi prioritas jangka panjang,” kata Andrinof, Rabu (16/1) .

Untuk program jangka menengah menurut Andrinof, Jokowi harus segera mengindentifikasi masalah dengan sistemik karena selama ini identifikasi masalah Jakarta belum benar-benar mendalam. ”Identifikasi dan laksanakan langsung programnya jangan ditunda jika memang anggaran sudah disetujui,” tegas dia.

Di saat Jakarta sedang mengalami banjir ini, saran dia, Jokowi harus benar-benar mampu membantu para korban banjir. ”Para korban banjir harus benar-benar diperhatikan seperti kesehatan, makanan dan juga obat-obatan. Ini tidak bisa ditunda dan harus segera dilaksanakan,” imbuhnya.

Soal banyaknya warga masyarakat termasuk yang telah memilihnya kecewa dengan Jokowi lantaran dianggap belum bisa melakukan terobosan, Andrinof menganggap wajar karena memang kondisi masyarakat sedang stres akibat banjir dan macet yang menggila.

“Saya rasa wajar saja, jika masyarakat menghujat Jokowi, mereka stress sehingga melimpahkan kekesalan pada Jokowi. Tapi kita juga harus ingat bahwa tidak semua kritikan itu harus diambil hati karena banyak juga kritik yang tidak realistis. Seperti menghilangkan banjir jelas itu kritikan yang tidak realistis, tapi kalau masalah pembangunan situ untuk menampung air tidak juga dilaksanakan padahal anggaran sudah tersedia, maka itu (hujatan, red) realistis dan Jokowi harus merespon dengan kerja,” tegasnya.

Mana Terobosan Jokowi?
Nada sedikit membela  dari wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso pada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mungkin cukup melegakan. Priyo percaya, jokowi mampu melakukan terobosan mengatasi banjir. Priyo meminta masyarakat menunggu saja terobosan yang akan dilakukan mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu.

"Saya yakin akan ada terobosan. Terobosannya apa, ya kita tunggu saja apakah Jokowi akan berhasil menyelesaikan masalah menahun yang mendera Jakarta ini,” kata Priyo di Jakarta, Rabu (16/1).

Priyo tak sependapat dengan Ketua DPR Marzuki Alie terkait gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta. Menurutnya,  yang realistis saat ini adalah menata ibukota dan bukan memindahkannya.

"Lebih mungkin menata ibukota daripada memindahkannya,” kata politisi Partai Golkar itu.

Sebelumnya Marzuki menyatakan bahwa masalah Jakarta tidak mungkin bisa diselesaikan, siapapun gubernurnya. Karenanya, ia mengusulkan lebih baik ibukota dipindahkan dari Jakarta.
                         
Blusukan Sudah tak Penting!
Anggota Komisi V DPR Marwan Jafar mengaku prihatin masalah banjir yang mendera DKI Jakarta tak juga kunjung teratasi.

Padahal, kata Marwan, masalah ini sudah bertahun-tahun terjadi, bahkan sejak zaman Belanda. Namun, ia menyesalkan sampai saat ini tidak ada jalan keluarnya.

"Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang action bukan sekedar wacana. Blusukan sudah tidak penting lagi," kata Marwan Jafar, yang phobi pada gaya blusukan Jokowi.

Dijelaskan Marwan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus duduk bersama dan segera bertindak nyata. "Harusnya duduk bersama, (berpikir) besok melakukan apa. Bukan zaman lagi bahas renstra (rencana strategi). Blue print sudah ada, tinggal pelaksanaan," kata Marwan.

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR itu mendesak birokrasi yang berbelit-belit untuk penanganan banjir harus dipangkas. "Kalau soal anggaran tidak ada persoalan. Kita semua setuju untuk atasi banjir," katanya.

Marwan mengatakan, blue print, renstra, perkumpulan gubernur Banten, gubernur Jawa Barat, dan gubernur Jakarta, itu dari dulu sudah ada. Bahkan, kata dia, sejak zaman Sutiyoso, Fauzi Bowo hal-hal seperti ini sudah pernah dilakukan.

"Yang belum pernah dilakukan sampai hari ini adalah (berpikir) besok melakukan apa," katanya lagi.

Menurutnya, rencana-rencana baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang yang sudah ada harus dilakukan segera. Misalnya, kata dia, untuk pengerukan kali Ciliwung apakah sudah dilakukan atau belum dan solusi lain apakah sudah dijalankan atau belum.

"Nah, sekarang itu butuh action, bukan rapat koordinasi, bukan wacana, bukan blusukan. Rakor jalan terus, tapi banjir bukan makin berkurang, malah makin bertambah," sesalnya.

Dia mengatakan, sampai saat ini tidak ada action nyata mengatasi banjir. "Oleh karena itu dibutuhkan terobosan spektakuler dan revolusioner mengatasi banjir," ungkap Marwan.

Tegasnya, tidak penting lagi mencari-cari pencitraan dalam kondisi seperti sekarang yang sudah parah ini. "Pemerintah pusat, pemerintah daerah DKI tidak boleh berpaku tangan. Segera lakukan action, lakukan tindakan ketimbang wacana," kata Marwan.

Selain banjir, Marwan juga menegaskan, pemerintah harus segera action mengatasi kemacetan di ibukota. "Di Jakarta ini macetnya luar biasa. Makin hari macetnya makin parah. Harusnya berpikir besok lakukan apa, action biar tidak tambah ruwet," pungkasnya.@jpn/ji


Tidak ada komentar: